Jakarta, 12 Mei 1998. Kuintip jam, waktu berjalan meninggalkan pukul 6. Pagi hari.Â
Matahari tipis menerobos masuk dalam kamarku. Ternyata pagi hari belum terlambat datang. Aku pikir, malam telah menghabisi segala periode terhebatnya. Kemarin.
Sinar kecil pagi benar-benar telah membangunkanku. Mataku masih begitu lengket sementara nada dering alam berisik di telinga. Bunyi burung-burung kecil menghardikku berulang. Tanpa harus mencela ayam di kandang yang masih terdiam. Beku.
"Sompreeet! Bangun, Bang!" ah gila. Suara sopran tak beraturan itu benar-benar terdengar tanpa moralitas. "Noh, gue udah siapin sarapan. Ini udah siang, Bang!" kuambil kacamata. Oh, jagat dewa dan para guru nirwana. Ternyata pagi gercep merubah diri menjadi siang. Deadline skripsi semalam menciptakan sebuah delusi.Â
"Abaaaang! Sumpe deh, ntar gue tarik sendiri tuh ojek! Gue udah telat. Hiiiiih, Abaaang!" Komando itu terdengar seperti jeritan Emak enam tahun yang lalu.Â
Teriakan yang selalu membuatku menyerah. Pasrah. Sejauh memori periodikku mengingat, usai frasa tersebut terucap, langkah berikutnya: guyuran air siap membuatku kuyup.
Noh pembaca sekalian, kenalin. Adikku semata wayang. Yang menyayangiku setengah hati. Ya iyalah. Yang setengahnya lagi buat si Udin. Siapa Udin? Kalau Anda penasaran, silakeun diteruskan membacanya, Kisanak.Â
Dialah Riri. Adikku. Sebut saja namanya Riri. Katanya ogah disebut Mawar. Ia sudah berdiri di depan pintu kamar. Mantap. Pertanda, ada satu kemungkinan hukuman selain guyuran air. Bahwa, sekali lagi aku menarik selimut, motor bututku bisa mampir di Depok. Lapangan parkir UI.Â
Lalu aku harus menumpang angkot biru Bang Raiz. Tetangga sebelah. Buset dah. Yang pasti aku ogah. Demi apapun, aku ogah mengulang kejadian 2-3 minggu kemarin. Ogah ngerepotin Bang Raiz terus. Itu saja.Â
Ya, aku bangkit. Berdiri dan menghampiri meja makan. Belum mandi? Ah biarlah. Paling cuci muka. Itu maha cukup, Karibku.Â