"Hanya ada tanah sepetak di belakang rumah," sahut lelaki tua berjenggot tipis. Tentu saja dengan sedikit tergesa. "Akan kutunjukkan bila kalian suka," lanjutnya.Â
Suamiku menoleh lalu tersenyum padaku. Setidaknya ada guratan lega dari raut muka imam yang selama ini menaungiku dengan kasihnya. Paling tidak, ada kabar baik untuk kami berdua setelah letih berkelana dari kampung halaman sepupuku.Â
Tanpa ragu, suamiku mengikuti langkah pria tua pemilik penginapan. Sedang aku mengikuti mereka dari belakang. Sembari mengelus pelan perutku yang terasa mulas semenjak memasuki kota gandum ini.Â
Malam semakin terasa dingin. Aku masih duduk meregang letih. Sekian hari lamanya kami berdua harus menempuh perjalanan jauh. Mungkin sejauh berpuluh-puluh mil panjangnya perjalanan kami.Â
Dari kejauhan, sambil menunggu suamiku menata sebuah gubug dengan dedaunan dingin yang mengering. Sementara punggungku mulai terasa berat. Janin yang ada di perutku sesekali bergerak. Dan rasa mulas ini semakin lama semakin sering.Â
Yang aku tahu, kandungan ku telah matang hari. Mungkin ini saatnya aku melahirkan. Di gubug ini, di tengah badai angin kencang yang meniupi kami.Â
Ah, itu pun cukuplah...Â
Setelah kami berdua melewati masa yang tidak mudah. Kami berdua sempat berada di ambang perpisahan. Dan aku pun tak mungkin berharap terlalu banyak.Â
Jelas aku masih mengingatnya. Kejadian berbulan yang lampau. Di tengah kekalutanku. Di saat aku bersama bayi dalam rahimku ini harus bertahan dari gunjingan orang. Di kala menerima anugerah telah dinilai sebagai kebodohan.Â
"Najis!" Itu seruan yang paling sering kudengar.Â