"Saya layak untuk memiliki kehidupan, saya telah bekerja sepanjang hidup saya. Saya layak beristirahat dua sampai tiga tahun," katanya dalam kesaksian yang emosional selama 20 menit.Â
Begitulah upaya Britney Spears, sang penyayi tersohor untuk bangkit, membebaskan diri dari segala tekanan yang selama ini "dipaksakan" oleh ayah perwaliannya, Jamie Spears. Demikian saya kutip dari bbc.com (24/06/2021).
Seperti kita tahu, tren parenting pada masa kekinian semakin menjadi sorotan baik bagi para pemerhati kesehatan mental anak, para ahli, maupun bagi para orangtua.Â
Dinamika pola pikir ini menepikan idealisme yang berkembang dari masa ke masa bahwa otoritas edukasi keluarga hanya ada di pundak generasi yang lebih tua.Â
Nah, dalam episode kali ini saya akan mengajak kita semua belajar mengenai satu fenomena yang sebenarnya merupakan masalah klasik, namun hingga kini masih saja menjadi isu penting dalam dunia parenting. Parenting? Well....you may say so.Â
Oh, yha. Sebelumnya, saya ingin menyampaikan bahwa konten ini saya unggah bukan untuk tujuan menggurui ataupun mengecilkan salah satu peran orangtua dalam dunia parenting. Pula, yang saya bahas di sini adalah kasus-kasus yang secara umum terjadi di masyarakat. Bila ada yang bertemu dengan kasus tertentu, maka hal tersebut adalah pengecualian.
Father Wound, Father Hunger, dan Dampaknya dalam Relasi Dengan Sesama
Father wound. Izinkan saya menggunakan frasa ini dalam bahasa asing. Bukan supaya terlihat keren, tetapi frasa inilah yang biasa dipakai oleh para ahli untuk menggambarkan kondisi mental seseorang berkaitan dengan relasi antara ayah dengan anak.Â
Father hunger atau kebutuhan sentuhan emosional seorang ayah kepada anak apabila tidak terpenuhi maka lambat laun akan mengakibatkan father wound.Â
Pada dasarnya fenomena father wound merupakan hadirnya luka batin masa kecil.Â
Luka tersebut muncul sebagai sebuah perilaku disfungsional psikologis pada seseorang, salah satu faktor penyebabnya adalah akibat ketidakhadiran sosok ayah dalam keluarga, baik secara fisik, emosional, maupun psikologis.
Kay, saya mempunyai sebuah ilustrasi untuk disimak, saudara....
Sebut saja namanya Sumi. Ia dulu mempunyai kenangan yang buruk dengan ayahnya. Makian, bentakan, dan kalimat-kalimat merendahkan selalu ia terima.Â
Ketika ia tidak lulus pada ujian mata pelajaran ilmu alam, ayahnya selalu memberi dia label bodoh dan pemalas.Â
Pada saat menentukan jurusan kuliah pun, ayahnya yang menentukan ke mana ia harus meneruskan belajarnya.Â
Ayahnya terus saja menuntut prestasi unggulan, baik secara akademik maupun non akademik.
Hingga kemudian saat Sumi dalam dunia kerja, ia memperlakukan bawahannya sama seperti ayahnya memperlakukan dia dulu.Â
Sumi tumbuh menjadi pribadi yang demanding. Penuntut. Dan mempunyai perilaku yang seringkali melukai hati bawahannya. Tetiba marah hanya karena pekerjaan bawahannya dinilai kurang memuaskan. Kemarahan dan segala tuntutan tersebut dilakukan tanpa sadar. Sehingga luka yang yang ada dalam diri Sumi menularkan luka lagi, dan begitu seterusnya, tanpa ia sadari.
Ilustrasi saya di atas menggambarkan dampak father wound yang dialami oleh seorang wanita yang pada masa pengasuhan mengalami verbal abuse, kurangnya apresiasi atas segala capaian, adanya pengabaian, dan segala macam tuntutan dari sang ayah. And,....here we are. Â
Dampak dari kurangnya sentuhan emosional ayah bagi seseorang wanita, biasanya timbul sikap seorang pemarah yang penuntut, penakut, timbulnya depresi, atau sering merasa kehilangan pada hubungan yang sedang dijalani.Â
Sedangkan bagi seorang pria yang mempunyai father wound akan meluapkan kemarahannya untuk menutupi rasa sakit atau ketakutan yang sedang dirasakannya. Waw!Â
So, let us use somebody's shoes, kay. (nah, kan...sok-sok pake bahasa aseng lagi...hehehe.)
Setiap orang mempunyai kenangan tersendiri dengan orang tuanya. Ingatan bisa jadi mengenai hal buruk maupun yang indah.Â
Memori tersebut tercipta sewaktu kanak, kemudian dengan berjalannya waktu menjelma dalam perilaku yang tanpa sadar mempengaruhi jalinan relasi seseorang dengan sesama.Â
Arti Penting Sentuhan Emosional Ayah Bagi Anak
Antara ibu-anak terjalin hubungan emosional sejak dalam kandungan. Maka sentuhan emosional ibu ke anak tidak membutuhkan afirmasi sebesar afirmasi dan afeksi yang harus ditunjukkan ayah kepada anaknya.
Begitu pula dengan arti penting pelukan bagi seorang anak akan menumbuhkan hormon oksitosin yang menenangkan bila anak sedang dalam kondisi marah, kecewa, sedih, takut, atau bingung.Â
Rasa tenang inilah yang apabila diterima secara berulang akan bertumbuh menjadi rasa percaya diri. Ada self acceptance yang bertumbuh dalam diri seorang anak.
Alangkah beruntungnya seorang anak yang bertumbuh dalam indah dan uniknya peluk seorang ayah.Â
Akan tetapi tidak semua anak demikian adanya, bukan? Bagaimana bila orang tua dalam masa perceraian? Atau bagaimana bila seorang ayah harus bekerja dan tinggal berjarak dengan keluarga? Atau bagaimana bila sang Ayah telah meninggal?
Saya sempat tercekat ketika membaca sebuah berita dari  bbc.com (23/06/2021). Sebuah kerinduan seorang anak kecil yang ayahnya meninggal saat ia berusia 4 bulan.Â
Bagaimana ibunya dengan susah payah menjelaskan dan mencoba memvalidasi emosi si anak dengan mengijinkannya mengungkapkan rasa rindu kepada ayahnya dalam bentuk surat sederhana.Â
Sementara jauh di luar sana, ayah yang seharusnya hadir sebagai pelindung, pemberi rasa aman dan nyaman pada anak-anaknya, malahan secara fisik maupun psikis masih terus membebani anak dengan luka yang entah harus dibebat berapa lama.
Tragedi Khatchaturyan bersaudari seperti diungkap dalam  bbc.com- khatchaturyan tersebut mungkin hanya salah satu di antara sekian ragam kasus anak-anak yang membawa trauma masa kecilnya hingga kehidupan dewasa mereka.Â
Berbagai berita mengenai pembunuhan orang tua terhadap anak maupun anak terhadap orang tua semakin marak seiring meningginya tingkat stresor masyarakat selama masa pandemi.Â
Geliat Kiat Ayah-Anak Lebih Dekat
Bagaimana dengan kita? Sudahkah hari ini kita menyapa anak-anak kita dengan pembicaraan yang lebih dalam?Â
Memang tidak mudah bagi seorang laki-laki dengan keterbatasan berbicara -menurut para ahli- dalam sehari hanya mampu mengucapkan rata-rata 7000 kata. Sungguh berbeda dengan kaum hawa yang mempunyai kemampuan untuk menumpahkan 20.000 kata dalam sehari.
Seiring berjalannya waktu, kehadiran sosok ayah secara fisik dalam keluarga pun menjadi samar.Â
Adanya rentang jarak yang disebabkan karena perceraian orangtua, atau pekerjaan yang mengaruskan seorang ayah tinggal jauh dari anak, atau suatu kondisi yang tidak memungkinkan sosok ayah senantiasa ada di sisi anak menambah ruang gap antara ayah-anak.
Afirmasi seorang ayah seringkali hanyalah sebentuk komunikasi yang singkat, padat, dan terbatas. Seperti:Â
"Sudah makan pa belum?"
"Ayo belajar, kerjakan PR-mu"Â
"Tidurlah sudah malam"
"Tadi masuk les ga?"
"Selamat, kau hebat"
Suatu bentuk komunikasi yang hanya akan berakhir dengan jawaban, sudah atau belum; ya atau tidak. Setelah itu, selesai sudah. Tidak ada afirmasi yang melibatkan emosional kita kepada anak. Lalu bagaimana menyiasatinya?
Beri afirmasi yang jelas, sehingga anak-anak mengerti serta paham. Contohnya, "Wah, Ayah bangga Kaka bisa jagain adek. Kaka memang hebat."Â
"Ayah tahu, adek sedih dapat nilai C. Ya, itu bukan berarti adek harus stop berusaha bukan? Kita coba lagi yha."
"Siapa yang sudah berani bikin anak Ayah nangis? Lha wong ayah aja kerja keras biar anak Ayah seneng kok."
Kemampuan seorang ayah untuk melakukan afeksi semacam pelukan tulus kepada anak, atau berolah raga bersama, bermain bersama, membuat konten YouTube bersama anak, bahkan sekadar berguling-guling di lantai bersama anak akan menumbuhkan sensasi tersendiri bagi anak.
Dalam usia dini, sentuhan emosional seorang Ayah yang tulus dan penuh kasih sayang akan menumbuhkan rasa nyaman, hangat,dan aman dalam diri anak.Â
Selain itu, seorang ayah dapat mengajarkan anak untuk membedakan sentuhan yang baik, -mendatangkan sensasi hangat, nyaman, tenang, dan aman- dan sentuhan yang jahat -sentuhan yang menimbulkan perasaan jijik, takut, dan tidak baik. Dengan demikian, anak mampu mewaspadai adanya tindakan pelecehan seksual yang mungkin terjadi.
"bila hati bapa kembali kepada anak-anaknya, dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya, maka selamatlah bumi".Â
Anda sepakat? Selamat menempuh perjalanan relasi Anda.
Sampai jumpa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H