Kay, saya mempunyai sebuah ilustrasi untuk disimak, saudara....
Sebut saja namanya Sumi. Ia dulu mempunyai kenangan yang buruk dengan ayahnya. Makian, bentakan, dan kalimat-kalimat merendahkan selalu ia terima.Â
Ketika ia tidak lulus pada ujian mata pelajaran ilmu alam, ayahnya selalu memberi dia label bodoh dan pemalas.Â
Pada saat menentukan jurusan kuliah pun, ayahnya yang menentukan ke mana ia harus meneruskan belajarnya.Â
Ayahnya terus saja menuntut prestasi unggulan, baik secara akademik maupun non akademik.
Hingga kemudian saat Sumi dalam dunia kerja, ia memperlakukan bawahannya sama seperti ayahnya memperlakukan dia dulu.Â
Sumi tumbuh menjadi pribadi yang demanding. Penuntut. Dan mempunyai perilaku yang seringkali melukai hati bawahannya. Tetiba marah hanya karena pekerjaan bawahannya dinilai kurang memuaskan. Kemarahan dan segala tuntutan tersebut dilakukan tanpa sadar. Sehingga luka yang yang ada dalam diri Sumi menularkan luka lagi, dan begitu seterusnya, tanpa ia sadari.
Ilustrasi saya di atas menggambarkan dampak father wound yang dialami oleh seorang wanita yang pada masa pengasuhan mengalami verbal abuse, kurangnya apresiasi atas segala capaian, adanya pengabaian, dan segala macam tuntutan dari sang ayah. And,....here we are. Â
Dampak dari kurangnya sentuhan emosional ayah bagi seseorang wanita, biasanya timbul sikap seorang pemarah yang penuntut, penakut, timbulnya depresi, atau sering merasa kehilangan pada hubungan yang sedang dijalani.Â
Sedangkan bagi seorang pria yang mempunyai father wound akan meluapkan kemarahannya untuk menutupi rasa sakit atau ketakutan yang sedang dirasakannya. Waw!Â
So, let us use somebody's shoes, kay. (nah, kan...sok-sok pake bahasa aseng lagi...hehehe.)