Usai memarkir mobil, seorang wanita berjalan menuju apartemennya. Tanpa disadarinya seorang pria yang telah lama mengintai tetiba memukul si wanita.Â
Spontan di wanita berteriak meminta tolong. Sedang pria tersebut terus memukul dan memperkosa, si wanita terus berusaha berteriak meminta pertolongan dari penghuni apartemen.
Namun naas bagi sang wanita. Usai memperkosa, pria tersebut menusuk si wanita berulang kali hingga ia meninggal. Selama kejahatan tersebut berlangsung, 38 pasang mata hanya memerhatikan di balik jendela dan pintu rumah tanpa ada yang keluar menolong si wanita.Â
Bagaimana menurut Sobat semua dengan kejadian tersebut? Keterlaluan betul 38 orang yang menyaksikan kejadian itu. Bagaimana mungkin mereka hanya menyaksikan saja, sementara ada kejadian memilukan di depan mereka? Mungkin itulah yang timbul dalam benak kita.
Atau apakah mungkin semua itu hanya cerita fiksi saya? Oh, sayangnya, bukan, Sobatku.Â
Kisah pilu tersebut dialami oleh Kitty Genovese pada tahun 1964 di Queens, New York City, cukup mengguncang dunia, hingga kemudian duo peneliti psikologi sosial Bibb Latane dan John Darley menyebut fenomena ini dengan Bystander Effect.
Suatu fenomena di mana seseorang memilih untuk tidak melakukan tindakan apa pun atas suatu peristiwa berbahaya yang sedang terjadi di sekitarnya.
Saya merasa miris menyadari bahwa sebenarnya fenomena sosial ini jamak terjadi di sekitar kita. Bukan di kalangan orang dewasa, fenomena memudarnya rasa empati ini pun menjamah dunia anak-anak dan remaja, lho Ayah, Bunda.
Sungguh fakta yang semenjak kecil sering muncul dan menjadi pertanyaan dalam benak saya. Saat begitu banyak orang menonton, entah mengagumi atau sekadar ingin tahu sebuah peristiwa "bahaya", seperti kecelakaan lalu lintas atau peristiwa bencana alam.
Gempa Majene, Sulawesi Barat 16 Januari 2021 kemarin, misalnya. Dari beberapa media yang mengabarkan informasi ini terlihat begitu banyak orang (entah apa pun motivasinya) menonton peristiwa mengenaskan ini.