Memperingati hari besar atau Hari Nasional sungguh membuat kita semakin bersemangat. Namun apa yang terjadi bila esensi hari besar tersebut mulai bergeser dari makna dasarnya?
Ya. Hari ini adalah Hari Ibu. Paling tidak, itulah yang semenjak saya SD diperkenalkan sebagai hari istimewa bagi kaum ibu. Tepat hari ini biasanya dulu saya memasak masakan istimewa buat almarhumah ibu saya. Hanya itu pintanya selama dalam saru tahun.
Tapi, tunggu sebentar Sobat Bijak..
Sebelum kita mewarnai akun medsos Kita di jagat maya dengan berjuta untaian kata indah buat sosok ibu, yuk kembali merenungkan awal mula ditetapkannya tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu.
Berawal dari sebuah langkah berani para aktivis perempuan yang tergabung dalam 30 organisasi peduli kesejahteraan perempuan. Perkumpulan tersebut pada awlnya bergerak dalam bidang ekonomi sosial.Â
Namun, motif awal tersebut menipis seiring perkembangan masa. Pergerakan perempuan kemudian menjadi bagian dalam gerakan nasional.
Pergerakan ini muncul ke permukaan, terdorong oleh bidikan anak panah pemuda Indonesia yang bangkit melawan pendidikan kolonial Belanda, dengan mengadakan Kongres Pemuda 28 Oktober 1928.
Mari kita kulik kembali agenda-agenda yang diusung oleh kaum perempuan Indonesia dalam perkembangannya bersama perjuangan masyarakat Indonesia untuk mengangkat harkat kaum wanita di bumi pertiwi.
Tanggal 22-25 Desember 1928, Kongres Perempuan Indonesia I diadakan di Dalem Joyodipuran, Yogyakarta. Kongres ini memutuskan beberapa hal, diantaranya dibentuknya Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) sebagai wujud dari cita-cita R.A Kartini untuk mempersatukan gerak langkah perempuan tampil ke atas mendukung gerakan kebangkitan nasional.
Kegerakan perempuan pada era sebelum 1920-an merujuk pada pengikisan budaya yang membelenggu kaum perempuan dalam ikatan perkawinan dan rumah tangga.Â
Kondisi kaum perempuan yang harus berada di bawah himpitan "pengebirian hak perempuan" dalam perkawinan dan keluarga mendorong kegerakan perseorangan untuk lepas dari praktik poligami, maraknya budaya kawin paksa, perceraian semena-mena (lelaki boleh sewaktu-waktu menceraikan istrinya tanpa sebab yang jelas) sebagai wujud dari kekuasaan tidak terbatas kaum laki-laki.