"Tiba saatnya, menyelesaikan semua sendiri. Merasakan semua sendiri. Bermain sendiri, jatuh, menangis, berkawan sepi," begitulah ujar Sang Empu
Lanjutnya, "Mendengarkan keagungan suara sunyi, menelusup ke dalam tungku panas bumi, menjelajah ruang tiada bertepi
Menempuh batasan logika yang tiada pernah mengerti apa arti sudah. Semua hanyalah hampir yang tiada pernah usai. Meski mimpi menggerus legam malam berganti siang, pula kemuliaan terang berganti malam
Bintang itu tumbuh bukan dari ufuk timur, perjalanannya menuju ke arah timur. Penjuru bukanlah mata angin, sebab angin telah berganti arah
Tanah merekah bergetar, layaknya perempuan sakit beranak. Memindahkan gunung yang berjajar bagai pagar, menggeser bukit penghias bawana
Air samudra bergejolak, beranjak menuju daratan yang terpisah darinya sejak terang terpisah dari gelap. Air berputar, tersesat dalam pusaran yang dalam, pada lubang tiada tepi, pada palung tiada dasar,"
Empu melihat cahaya di langit. Adalah kilat menyambar, hebat, lalu turun ke bumi. Sementara anak-anak manusia bergumam dalam tanya tanpa jawab, sembari memuja, "mengagumkan," katanya
Empu sendirian menakar, menghitung, mengatur, mereka-reka, berperkara dengan kemungkinan masa lampau, dibalik jubah pengetahuan dan wahyu
Akal berdalih, logika beracara, sampar masih merajalela. Empu mengeja tanda dalam sapa amanah dalam amarah semesta.
*Solo...sedang menikmati perkamen tua, bahwa tiada yang baru di bawah matahari, segalanya berulang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H