Suara sirine menandakan mobil polisi berlalu lalang di Jalan Dr. Radjiman, Solo. Entah mengapa nyali saya menciut, ada rasa cemas yang mengerucut. Berharap semoga semua dalam kondisi kondusif.
Satu notifikasi di WAG saya buka, ternyata ada pesan singkat dari wali kelas anak saya yang masih duduk di kelas 11 SMA.Â
Pesan berupa himbauan agar orangtua tidak melibatkan anaknya dalam aksi demonstrasi penolakan pengesahan RUU Cipta Kerja, guna menghindari penyebaran virus Covid-19.
Dengan segera himbauan tersebut mendapat dukungan penuh dari para orangtua dan wali siswa.
Dalam kurun waktu satu minggu ini, entah mengapa, semesta seakan menggiring saya untuk diam dan mendengarkannya berbicara.
Sepulang dari gereja, kembali seorang driver ojol yang mengantar saya, tetiba bercerita panjang lebar mengenai perubahan kebiasaan anaknya yang dahulu begitu aktif dan ceria. Semenjak adanya pandemi dan masa isolasi, kini anaknya mempunyai sikap malas, sering menunda pekerjaan, dan mudah marah.
Berbeda hari, ada seorang sahabat menelpon minta dukungan doa untuk saudaranya, mari kita namai saudaranya itu, Rebo, yang tetiba histeris dan menangis tanpa sebab.
Ada saat ketika Rebo berangsur tenang, namun beberapa saat kemudian, ia kembali menangis serta berteriak histeris. Pihak keluarga sangat gelisah. Saat itu, saya hanya menyarankan untuk mengajaknya menemui ahli jiwa, psikiater terdekat, agar Rebo lekas mendapat pertolongan.
Kondisi Rebo kini berangsur membaik. Memang ia masih harus menjalani perawatan psikiater, namun paling tidak, ia sudah agak nyaman dan tidak berteriak histeris lagi.
Masih ada beberapa kejadian yang hampir mirip, tapi untuk kali ini, saya bagikan dua kisah di atas saja. Berkenaan dengan judul di atas, kali ini kita bicarakan soal depresi.
Lebih mengerucut lagi, saya akan mempersempit obrolan receh kita ini dengan batasan depresi di kalangan remaja.