Misteri? Sebetulnya engga juga sih, tapi kawan ini karena usulan mein brader yang sumpil, kadar gilanya hampir  menguasai atmosfer tingkat eR Te di kampungku.
Waktu cerita ini dibuat, dia tengah berceloteh tentang ulah plagiat-plagiat kotor penghuni majalah lokalnya.
"Nape lo ga kirim cerpen lagi ke majalah, Neng?"
"Ogah," jawabku singkat. Kopi Abangku semata wayang kusesap dengan sedapnya.
"Iye, nape emang? Honornya kurang? Elo kan baru nulis sebiji, mang mo bayaran segede apa sih, Neng?
"Enggaa, iih Abang brisik amat,"
Rupa-rupanya efek lapar menguasai logikaku. Terdengar suara nyaring dari dalam perutku, "Kruuuk, kruuuk,"
"Dasar sundel bolong! Kopiku diabisin!" bentak si Abang melangkah, berlalu ke arah dapur.Â
"Khilaf, Bang. Masakin nasgor mentega sekalian yhaa,"
"Ogah!" serunya dari dapur.
"Oooh, awas ajha. Surat Abang ga sampe ke tangan Mpok Siti," ancamku.Â