Semula berawal dari hobi aeng saya; hobi nyleneh saya. Entah mengapa, kaki saya selalu berhenti pada sebuah rumah yang terlihat lama tak terurus. Rumah tersebut berada di Jalan Bhayangkara, tepatnya berhadapan dengan rumah Bapak Wakil Walikota Surakarta, Purnomo.
Namun, yang membuat saya penasaran bukan bentuk konstruksi rumah kuno atau halaman rumah yang ditumbuhi rumput liar, melainkan sebuah prasasti yang teronggok di sana. Sungguh kasihan monumen kecil tersebut ikut tidak terurus, tergerus hujan dan panas, sehingga sebagian tulisannya hampir terhapus.Â
Hingga pada akhirnya rumah yang kini menjadi milik keluarga besar pemilik PT. Sri Rejeki Isman, Tbk ini dipugar, sehingga halaman yang tadinya dipenuhi rumput liar mulai dibersihkan.
Dari prasasti tersebut saya yang blah bloh ini menjadi semakin kepo. Serangan Umum sih setahu saya tanggal 1 Maret di Jogja. Ternyata, di Solo juga pernah ada pergolakan kaum muda untuk mempertahankan kemerdekaan negri ini. Waaah, emejink ini :v
Kisah menarik ini berawal dari aksi Agresi Militer Belanda II. Kesuksesan Belanda menguasai Ibu Kota Indonesia di Yogyakarta serta penangkapan para pemimpin besar negri ini membuat Belanda mengira bahwa Republik Indonesia tidak akan tercatat sebagai negara berdaulat penuh.Â
Maka dengan pengerahan pasukan Konijke Leger (Tentara Kerajaan) kembali meringsek masuki basis pertahanan militer bangsa Indonesia yang berada di Solo pada tanggal 21 Desember 1948.Â
Sebagai pimpinan pasukan Belanda, Anda salah besar, Meneer Spoor.... nei, nei, nei... Riwayat Negara Republik Indonesia BELUM TAMAT !!!!
Sebagai Komandan Wehr Kreise 1 ( wilayah yang dapat melakukan peperangan secara mandiri tanpa tergantung satu sama lain atau pada markas besar), Letnan Kolonel Slamet Riyadi membagi wilayah Karesidenan Surakarta menjadi beberapa Sub Wehr Kreise ( SWK ) untuk memudahkan pengaturan dan koordinasi antar wilayah. Â
Sementara itu perundingan diplomasi yang diupayakan oleh para negosiator negri ini terus menerus berlangsung alot dengan pihak Belanda.Â
Melihat gelagat perkembangan Perundingan Roem Royen yang tak jua menunjukkan hasilnya, mendorong Mayor Ahmadi untuk mulai masuk menyisir Kota Solo melakukan gerakan perang gerilya. Pergerakan perang gerilya ini akhirnya terlaksana sebagai Serangan Umum II pada 8 Februari 1949, bertepatan dengan hari ulang tahun Pangeran Diponegoro.