Aku bukan Marsinah, yang kakinya melangkahi rapatan pagi untuk mengais rejeki di bawah bendera korporasi pedagang arloji
Aku bukan Marsinah, yang menoreh luka siksa dan derita merambah hutan yustisia, demi sebuah kata adil yang merata
Aku bukan Marsinah, yang hari sejuk itu dihabiskan dengan tendangan keji pelaku tindak anarki tak tahu diri
Aku bukan Marsinah, buruh korporat yang mati menyisakan sebuah ironi, melawan tirani. Marsinah yang mati bergeming meninggalkan tulang kemaluannya patah berkeping
Seperempat abad telah lewat, Marsinah wafat, bukan hanya sekarat, hanya untuk keping 550 rupiah bulat, ataukah untuk sebuah kata berani lawan aparat dan birokrat
Kenang ini bukan sebuah kemenangan, hanya meniti sebuah tatanan aturan yang selalu berputar, akhirnya hanya kembali berpendar, ditelan sang ujar yang belum pula temui kata sejajar, hingga kumpulan ujar pujangga berakhir dengan tanda baca bukan koma melainkan
.Â
*Kembali mengenang Marsinah. Hanya itu saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H