Hari ini aku bertemu pagi. Alangkah terkejutnya aku kala ia datang dengan murung hati
Kusapa dia, "Hai, Tuan Pagi, selamat datang,"
Ia hanya mengangkat alisnya. Bola matanya memandang ke arahku, hanya datar.
Kusuguhi ia dengan secangkir coklat hangat, dibiarkannya dingin. Kuambilkan segelas kopi panas, dilewatkannya menjadi beku. Kuseduh secangkir teh, yang wanginya mencapai langit, namun tak jua direngkuhnya.
Ia diam.Â
Lalu ia mengeluarkan dari saku jubahnya yang berkilauan. Sebotol air dingin, kurasa. Lalu ia berkata, "Apa kau mau minum tetesan embun yang kukumpulkan di antara dedaunan dari pedalaman sejak surya belum keluar?"
Aku tersenyum. Kuambil gelas, bening, tanpa warna, ia menuangkan air bening dari dalam botol, lalu bercerita.
"Anak manusia bertarung semenjak malam tiba. Dengan egonya. Dengan dirinya. Lalu aku datang merapat, dan ia meratap, kehilangan mantra cinta, karena pikirnya, karena rakusnya, karena tipuan rasa yang telah musnah hilang bersama malam,"
"Lalu mengapa Tuan bersedih?"
"Aku kehilangan kalamku, sayang,"keluhnya
"Jika kalam itu hilang dengan apa lagi aku membuatnya ada?"