Sungguh bukan situasi yang mudah untuk kita jalani bersama. Semua seperti terasa begitu berantakan. Semua harapan seperti tergerus keadaan, kenyataan yang suka atau tak suka, mau atau tak mau ini pun harus kita jalani bersama. Ya, kita menjalani situasi tak nyaman ini bersama.
Saya kembali teringat seorang filsuf Romawi ternama, Seneca. Ia pernah mengatakan, kita adalah gelombang dari laut yang sama, daun-daun dari pohon yang sama, bunga-bunga dari taman yang sama. Ya, seperti itulah kita anak-anak pertiwi yang baru sakit.
Kenyataan memang tak bisa berubah. Bila saya boleh berasumsi, kenyataan adalah kejadian yang sudah terjadi dan tak mampu kita rubah lagi. Yang pasti harus kita hadapi. Seburuk apa pun itu.Â
Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan Tuhan dari jalan kita, dan rancangan Tuhan dari rancangan kita.
Sadari bahwa kita tak mampu merubah kenyataan. Kita tak mungkin merubah apa yang telah terjadi. Yang pasti kita berada pada masa kini. Respon kita atas kenyataan yang terjadi itulah yang menentukan kondisi kita berikutnya.
Di saat kegagalan terjadi, bagaimana kita mampu bertahan sekaligus tetap berjalan. Apakah hanya cukup dengan menyemangati diri sambil berkata, "Ah, hanya gagal, yuk kita coba lagi?" Mungkin resep yang seperti ini akan berlaku jika tak ada pandemi. Bagaimana kita harus move on? Ya, move on dan terus menjalani hidup.
Sahabatku,...Â
Bahagia yang sebenarnya adalah berasal dari dalam diri kita. Rasa tenang yang berasal dari dalam, bukan dari luar. Bukan rasa senang, melainkan tenang.
Bila ketenangan itu tinggal diam dalam diri kita, seberantakan apa pun situasi di luar diri kita, maka kita akan tetap steady, akan tetap terjaga.Â
Mari kita cermati, bagaimana kita meresponi sebuah kondisi yang membuat kita bahagia? Apakah emosi kita tetap terjaga, atau emosi kita meluap-luap, merasakan euforia, gembira?
Dan bagaimana bila rasa gagal dan sedih menghampiri kita? Apakah kita menjadi terpuruk, panik, kecewa, atau kita masih dapat menjaga emosi kita untuk tetap tenang?