Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Selat dan Timlo dalam Santun Peranakan ala Solo

12 Maret 2020   22:00 Diperbarui: 12 Maret 2020   21:53 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai, hai, hai...

Selamat datang kembali di laman saya, tukang nukil yang suka usil,...hehehe.

Hari libur ditambah nih, guys.... Emh, sudah pernah mampir ke Solo? Sempetin deeh...yakin, ga ada pesan khusus nih, cuma ingin sedikit promo aja. Promoin kuliner nusantara, maksud saya, kawan.

Solo selain terkenal dengan pelbagai suguhan budaya bernuansa internasional, kota kampung halaman Presiden Jokowi ini pun menyimpan berjuta menu kuliner yang akan memanjakan lidah anda. Membuat Anda ketagihan? Absolutely....

Kay kali ini saya hanya ingin mengulik dua menu istimewa yang otentik dari kota yang berlesung pipi manis ini.... xixixi...

Bersama seorang Kompasianer yang juga rekan wara-wiri saya hunting kuliner, saya mencoba memperkenalkan padanya suguhan kuliner dari hasil olah berpadunya dua budaya yang berbeda, bukti toleransi kita telah tumbuh sejak masa nenek moyang kita. 

Firstly, saya perkenalkan Anda pada kuliner peranakan Jawa-Belanda, Selat Solo. 

Ya, ini nama masakan, guys...bukan selat dalam arti laut di antara pulau-pulau, gengz..

Dikelompokkan dalam kuliner peranakan, karena Selat Solo ini mulai muncul pada masa penjajahan Hindia Belanda. Para bule Belanda yang pada dasarnya meminta sedekah dari harta kekayaan alam negri nusantara ini, akhirnya menguasai beberapa wilayah negri zamud khatulistiwa kita.

Membawa budaya cita rasa makanan ala negri mereka, seperti roti, keju, maupun daging sapi yang dimasak rare, atau well done sesuai permintaan Sang Jenderal Belanda yang pada saat itu sering menyambangi Beteng Vastenburg untuk mengawasi jalannya pemerintahan Kraton Kasunanan yang ada di bawah kekuasaan Belanda.

Heleh....kok malah cerita sejaraaah.... Duh...monmap, ini kolom kuliner, hhhhfhh,.....

Kay, lanjut. Menu permintaan Sang Jenderal pun dieksekusi dengan baik oleh koki istana. Namun menu  biefstuk atau dalam serapan bahasa kita sering disebut steak ini tak mampu memuaskan Sang Raja, yang telah terbiasa makan nasi dan lauk yang tak sebesar ukuran saji daging sapi yang di bake.

So, para koki Keraton Kasunanan Surakarta kemudian meramu kembali bistik ala Belanda dijadikan masakan yang lebih ramah di lidah orang Jawa.

Potongan daging diperkecil, dimasak sebagai empal, sedang kentang goreng yang tadinya sebagai makanan penyerta saat bistik disajikan dilengkapi dengan sayuran seperti daun salad, mentimun segar, kentang, buncis dan irisan tomat. 

Karena bistik dalam sajian orang Jawa lebih dilengkapi dengan sayur yang bervariasi, para bule Belanda seeing menyebut bistik Jawa ini dengan sebutan "slachtje dengan daging. Jadi dengan kearifan lidah orang Jawa yang sangat arif, kata slachtje kami sebutkan sebagai selat, selat, dan selat...

Saus kental yang biasanya disiram di atas steak, diganti dengan kuah yang lebih light, dengan cita rasa yang manis, terbuat dari komposisi bawang putih, merica, kecap manis, cuka, pala, dan gula jawa.

Belakangan ini, selat Solo lebih banyak dimodifikasi, hehehe, kek motor di bengkel sebelah....

Daging sapi yang diolah mantap sebagai empal bisa digantikan dengan galantine. Pula untuk lebih lengkapnya, selat Solo disajikan bersama telur rebus yang dimasak bersama dengan kuah selat sehingga hidangan ini semakin mantaft.

Apalagi selat modern kini dilengkapi dengan mustard yang diolah dari kuning telur ayam jawa, yang berasa gurih, bila bercampur dengan kuah selat yang manis akan menimbulkan cita rasa yang sangat otentik. Sedangkan mentimun yang dulu disajikan segar bersama sayur lain, kini lebih sering dihidangkan dengan proses olah kembali menjadi acar. 

Yummy ...... sajian maknyus, seperti kata Mr. Bondan Winarno yang femes ituw.

Bagi yang sudah pernah mencobanya bisa diulang untuk mengenang, bila belum, well, you have to try this one. It's a must. Dan, silakan ketagihan. 

Banyak tempat yang mampu menyuguhkan menu selat ini. Aseeeek, moga-moga ada yang ngajakin nih. Ada yang sudah punya planning ke Solo? Mangga, dalem aturaken tindak Solo.

Rekomen dari saya, silakan sambangi selat Vien's di Jalan Hasanudin,  selat Mbak Lies di Jalan Veteran, selat Mekarsari di Jalan Dr. Radjiman, atau di Griya Dhahar Paris di Jalan Cut Nya Dien. Untuk lebih lengkapnya, googling yha, friends...

Next, menu otentik lainnya yang bisa kita dapatkan dari jelajah di Kota Bengawan.

Masih kuliner peranakan. Hmm, sebenarnya banyak. Hanya ini sudah lebih dari 500 words, singkat yha...

timlo Solo disajikan hangat, salah satu kuliner kekayaan Indonesia. (sumber: Instagram.com |@kuliner.neng.solo
timlo Solo disajikan hangat, salah satu kuliner kekayaan Indonesia. (sumber: Instagram.com |@kuliner.neng.solo
Pada masa Pemerintah Hindia Belanda menguasai Indonesia, ada beberapa kuliner asli Belanda mulai berfusi dengan kuliner Keraton Surakarta. Hal ini terjadi karena sebagai penguasa, Belanda kerap melakukan hubungan diplomatik dengan pihak Keraton Surakarta Hadiningrat.

Sedangkan para pendatang Tionghoa menyasar kehidupan masyarakat di luar keraton. Budaya dan masakan pun semakin berasimilasi. Salah satu masakan yang terkenal adalah Timlo.

Karena masakan peranankan satu ini berasal dari hasil perpaduan masyarakat Jawa dengan masyarakat Tionghoa, maka Timlo Solo banyak dijumpai di daerah sekitar Pasar Gede, yang merupakan area china town di Solo.

Pada awalnya Timlo ini merupakan masakan Tionghoa yang berjudul Kimlo. Karena percampuran budaya, maka masyarakat Solo mencoba untuk menggunakan daya kreatifitasnya di pawon rakyat nan sederhana, dengan merubah penggunaan daging babi dengan daging ayam dan telur.

Sebagai buah akulturasi budaya, maka penyebutan Kimlo diganti dengan Timlo.

Masakan peranakan ini pada dasarnya hampir menyerupai sup. Bedanya, seporsi Timlo terdiri atas komposisi, sohun, wotel yang diiris tipis, telur rebus yang diiris , klengkam (kentang diiris tipis lalu digoreng kering), biasanya ditambah dengan irisan sosis Solo, dilengkapi dengan jamur kering, bahkan bila Anda beruntung, penjual timlo akan menambahkan kincam (bunga sedap malam kering yang direndam sebentar, ditiriskan kemudian dibuat simpul) dalam masakannya.

Dihidangkan hangat dengan kuah bening semacam kuah sup ayam nan gurih, Dan aroma kaldu ayam yang khas akan membuat selera makan kita makin bertambah. Kuah bening yang terbuat dari kaldu ayam tersebut dibumbui dengan bawang merah, bawang putih, dan merica, juga cengkeh, peka, serta kayu manis yang dihaluskan kemudian ditumis. Wah, benar-benar resep nusantara yang kaya rempah.

Hmmmh,...rasanya, lezaz, sedep mantep seger lenyer, muantap. Nah, ....dua dari begitu banyak kuliner khas Solo yang merupakan hasil perpaduan dari dua budaya yang berbeda telah saya sajikan. Padahal, masih ada begitu banyak kuliner unik Solo yang tak kalah lezatnya.

Lain kali, kita cerita lagi yha, kawan... Tentang kuliner kita di bumi persada nan kaya raya.

*Solo.....merindukan jelajah kuliner peranakan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun