Dan begitulah beberapa hari ini Bu Oscha,yang cara berjalannya bak angsa yang sedang menari di tengah kolam kerajaan, kini lebih sering menyiksaku dengan pelajaran "anggun" seorang Puteri.
Hhhfffh....
Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur yang empuk, wangi dan menenangkan ini. Ingin rasanya kupejamkan mataku yang mulai perih karena kering. Tak ingin kugerakkan tubuhku saat ada beberapa pelayan perempuan mengetuk pintu dan memasuki ruang kamarku.
"Oh, akhirnya kalian datang," sapaku pada pelayan perempuan yang berbadan gemuk. Apron putih melingkar di bagian depan seragam pelayan membuatnya seperti sosok Mrs. Martha, si pemilik kedai kopi kesukaan Boone. Aku sangat mengingat wanita setengah baya yang hangat dan murah senyum itu. Dan, oh, Boone...aku masih mengingatmu.
"Maaf, Tuan Puteri, kami harus mempersiapkan Anda mulai dari hari ini. Tiga hari lagi, Anda harus menemui Raja, yang akan memperkenalkan Anda pada seluruh rakyat kerajaan Filya,"ujar pelayang gendut berwajah bulat dengan pipi yang merona merah hampir menutupi wajahnya.Â
Suaranya yang kecil melengking tinggi tak sebanding dengan badannya yang sebesar ya...sofa malasku yang kadang didudukinya. Ia hanya pelayan, tapi hanya dia yang selama ini mampu mengenali apa kemauanku tanpa aku menyuruhnya. Tak apalah bagiku, hanya sebuah sofa di sudut ruangan yang hampir tak pernah kududuki.
Nama pelayan itu Helen. Ia sangat suka menyisir rambutku. Katanya rambut ikalku lembut seperti sutera, halus, dan katanya belum ada bangsawan yang pernah memilikinya. Ia peri baik hati untukku. Tubuhnya yang gempal membuatku selalu merasa hangat karena ia selalu memelukku saat aku merindukan hangatnya kasih seorang ibu.
Hari terus berlalu, tiga hari ternyata tak terlalu lama. Dan mentari pagi segera mengusir kabut yang menudungi setiap jengkal bukit di kerajaan Filya. Dan ya, rakyat Filya sangat menantikan hari bersejarah ini .
Rumah-rumah penduduk semua dihias begitu rupa. Mulai dari hiasan berbagai macam bentuk yang terbuat dari kaca beragam warna dengan ornamen bunga dan daun, hingga tugu-tugu di pusat keramaian kota dihias dengan pita indah dari jalinan benang keemasan dan lampu-lampu hias yang didalamnya terdapat nyala api bertebaran di setiap sudut kota.
Malam serasa bukan malam. Di tugu pusat kota, berkumpul para seniman yang tak puas berbagi dendang dan menari riang demi hadirnya sebuah pesta yang telah ditunggu lama.
Hidangan dari rumah tiap penduduk tersaji rapi di deretan meja sebelah selatan tugu, dimana setiap mereka yang datang dipersilakan menikmatinya. Minuman dan makanan, musik, lagu dan tarian, para pria dan wanita, besar dan kecil, semua tak meninggalkan rasa senang di malam itu.