Dengarlah saat ini jiwa pengagumku, kini aku sendiri. Dengarlah bahwa aku masih berharap pelukan itu tak kulepas. Namun mampukah aku melawan kegilaan ini?
Lihatlah kini dengan kelopak matamu yang selalu kupinta untuk menutup, kala aksara tak mampu kita akhiri, seakan dengan segala kata ini kita menebus segala batas dan waktu
Berujarlah, menyapalah bahkan dalam bisikmu, aku kan mendengarkan. Lembut santun yang kini mulai memudar, dan perlahan hilang.
Maafkanlah aku, yang tak mampu membuatmu tinggal dalam pesona anganku dan berdiam dalam diriku.
Aku hanyalah kekuatan imajimu yang hadir dalam alam nyatamu. Aku yang dengan girang kau nantikan setiap waktu kini hadir di hidupmu. Akulah masa kini yang harusnya berjalan bersamamu menuju masa depanmu.
Namun seketika masa lalu merenggutmu. Masa lalu yang semestinya hanya kau lihat dalam genggaman sang era. Apakah indahnya dia? Hingga ia mampu menahanmu sekian lama?
Berteduhlah di sana. Menyerahkah aku? Ya. Masa lalu itu datang terlebih dahulu. Masa lalu yang kini hadir dalam pelukmu.
Tempat di mana seharusnya aku berada. Sedang aku hanyalah masa kini yang akan menjadi masa depanmu. Tak kau sadarilah itu?
Pecundangkah aku? Tidak. Aku masih berjuang. Berjuang dalam masa penantianku. Berjuang akan suatu masa, di mana kau menyadari segalanya, dan kau akan bangkit dan menarikku untuk kembali dalam hangat pelukmu.
Akan kuurai kau dalam balutan mesra sang waktu, kucumbui kau dengan lantunan dendang rayu dari jagad raya. Akan kubuat kau tak lagi melepasku, karena akulah masa depanmu.
Menjejaki rumput liar, memandangi sabana yang luas, menipu langit dengan berkata akulah siang, dan engkaulah malam.
Berbaring menatap awan, dan memerintah angin untuk meniupnya pelan. Lalu kita akan terbang diatas mimpi kita, pergi, pergi, pergi, menjauh meninggalkan masa lalu.