Tembang Maskumambang menghiasi siang saya bersama kakek yang biasa saya panggil Kakung. Beliau menembangkan tembang macapat ini diantara angin dan gesekan daun bambu di samping rumahnya dulu.
Saat itu saya masih kecil, tidak pernah mengerti bahwa Kakung sedang mengajar dan mewariskan sebuah ajaran luhur budaya negri ini. Suatu rangkaian tembang yang pada waktu terakhir ini baru saya mengerti, bahwa saya diharapkan bisa tumbuh menjadi wanita tangguh, dan berbakti pada orang tua.
Begitulah, akhirnya, saya menjadi seorang wanita yang sangat jatuh cinta pada tembang macapat, dan segala warisan leluhur di masa silam.
Cobalah mendengarkan tembang macapat yang sangat nyaman di telinga, apalagi ditambah tabuhan Saron, atau dipadu dengan gender. Sangat eksotis.
Saya pernah memainkan gamelan, meski hanya beberapa waktu saja. Salah satu tembang yang saya masih ingat, adalah Kebogiro.Â
Varian instrumen membentuk sebuah titi nada pentatonis yang begitu agung mengiringi tembang macapat. Maka tak ayal lagi ada begitu banyak orang dari manca negara ingin belajar nabuh (memainkan) instrumen klasik satu ini.Â
Sedikit saja saya akan mengulas tentang tembang macapat yang sarat akan makna kehidupan mulai dari manusia terbentuk dalam rahim ibunya, hingga ia berpulang kembali kepada Sang Pencipta.
Makna luhur rangkaian tembang macapat bagi proses kehidupan seseorang
Dalam tradisi Jawa, khususnya Jawa Tengah, ada beberapa seni kesusastraan yang mengandung ajaran-ajaran moral dalam upaya memaknai hidup. Bahkan pada saat seseorang marah, bisa saja diungkapkan dalam sebuah tembang. Menarik? Itulah salah satu budaya kita.
Kalau boleh saya sebut, ada 11 macam tembang dalam rangkaian macapat. Rangkaian ini menggambarkan seluruh nasehat nenek moyang kita dalam memahami setiap tahap kehidupan manusia.
1. Maskumambang. Lagu atau dalam bahasa sastra Jawa sering disebut sebagai tembang, maka tembang Maskumambang ini biasa ditembangkan sebagai gambaran bagi janin yang masih dalam kandungan ibunya.