Oleh: Diah Dwi Arti (18)
Assalaamu’alaikum, Bu.
Bagaimana kabarmu, Ibuku sayang? Semoga Alloh selalu melindungi Ibu, terutama dalam perjalanan jauh seperti saat ini. Penerbangan Jakarta-Yogyakarta memang tidak terlalu lama, Bu, hanya sekitar lima puluh menit saja di udara. Namun perjalanan sependek itu bisa menjadi perjalanan yang berat, terutama karena saat ini Ibu menempuhnya sendirian. Tanpa ada yang mendampingi. Meski aku sangat tahu betul alasan Ibu menempuh perjalanan itu seorang diri karena kondisi yang tak memungkinkan bagi kami, putra-putri Ibu, untuk mendampingi Ibu. Putra terakhirmu, adikku, juga sedang menempuh perjalanan Jakarta-Palembang bersamaan dengan Ibu setelah sebelumnya bersama Ibu mendampingi istrinya berjuang melahirkan bayinya yang sudah meninggal dunia dalam kandungan di Sukabumi.
Bukan hanya sekali ini, Bu, engkau menempuh perjalanan seorang diri. Bukan karena Ibu ingin, tetapi lebih sering karena keadaan yang mendesak.
Ibu memang seorang yang mandiri dalam banyak hal.Ibu juga sosok yang gemar bersilaturahmi, bahkan kepada kerabat yang menjaga jarak dengan Ibu sebelumnya. Aku sungguh kagum dengan keteguhan hati Ibu menjalin tali persaudaraan dan persahabatan dengan siapa saja. Jika banyak orang merasa enggan dan segan menyambung tali silaturahmi, maka Ibu punya prinsip sebaliknya. Bagi Ibu silaturahmi itu sangat penting sebab bisa memperpanjang usia sebagaimana hadits Rosululloh SAW:
“Barangsiapa yang ingin rezekinya diperluas dan umurnya panjang,
maka hendaknya ia bersilaturahmi.” (HR. Bukhari)
Memperpanjang usia, Bu? Bukankah usia itu rahasia Alloh yang kita tak tahu kapan berakhirnya, Bu?
Jika ditanya dengan pertanyaan demikian, Ibu selalu memberikan contoh tentang memperpanjang usia itu. Yang paling sering Ibu contohkan adalah soal kesehatan. Melalui kegiatan silaturahmi, kita akan berjumpa orang lain dan dengan mengobrol dengan orang lain itu kita bisa memperoleh informasi mengenai kesehatan, sebab bisa jadi orang yang kita kunjungi atau orang yang kita sambung tali silaturahminya itu ternyata pernah menderita penyakit tertentu dan telah sembuh darinya. Bisa jadi informasi itulah yang sedang kita butuhkan, sehingga kita bisa terbebas, atau setidaknya teringankan, dari penderitaan akibat penyakit. Bukankah dengan demikian kita bisa menghindar dari kesusahan yang lebih parah dan memperpanjang usia?
Ibu benar. Melalui silaturahmi kita sungguh-sungguh dapat memperoleh informasi tak terduga yang berharga.
Yang lebih membuatku acung jempol kepada Ibu untuk urusan silaturahmi ini adalah, Ibu tak pernah memikirkan status ekonomi orang yang disambung persaudaraannya itu. Mau kaya, mau miskin, mau melarat, semua disambangi Ibu. Jika berkunjung kepada kerabat yang berkecukupan, Ibu tak pernah merasa rendah diri, jika berkunjung kepada kerabat yang kurang mampu atau dalam masalah keuangan Ibu pun tak segan mengulurkan bantuan. Seringkali, bahkan, bantuan itu bukan berasal dari Ibu, namun dari orang atau kerabat yang lain lagi.jadi, Ibu tak hanya menyambung silaturahmi dengan satu pihak, namun beberapa pihak sekaligus. Sungguh, Ibu menghidupkan kebiasaan yang sangat baik. Sungguh sangat mulia hati Ibu. Dan sungguh, aku sangat ingin meniru Ibu.
Bu, Ibu pun seorang yang tegas, sebagaimana Alloh menakdirkan Ibu terlahir sebagai anak pertama dari sepuluh bersaudara, Ibu memegang tanggung jawab sebagai suri tauladan dengan sebaik-baiknya. Ibu sejak muda selalu menjadi pimpinan dan pengayom bagi adik-adik Ibu. Ketika Eyang Putri masih hidup, Ibulah yang menjadi tangan kanan beliau membimbing adik-adik Ibu. Ketika Eyang Putri sudah tiada, Ibu pun mengambil alih tanggung jawab itu dari beliau. Meski kemudian Ibu terkesan sedikit otoriter, namun sesungguhnya sikap dan pendapat Ibu didasari oleh kepentingan bersama yang lebih luas. Aku pun sangat maklum, Bu, apalagi profesi Ibu adalah guru, yang juga harus menjadi teladan bagi murid-murid Ibu.
Yang sangat kuingat dari ketegasan Ibu adalah soal televisi. Ibu sangat ketat mengontrol kapan boleh menonton televisi dan kapan tidak. Ibu tak pernah mengizinkan kami menonton televisi di pagi hari dan setelah maghrib. Semula sungguh terasa berat, Bu. Bagaimana mungkin, ada Tokyo Love Story menjelang maghrib, Bu. Tentu ibu tahu kan, drama dari negeri sakura yang terkenal itu. Aku pun tak bisa mengikuti kisah Rika Akana, sementara teman-temanku di sekolah membicarakannya.
Dulu aku menangisi ketegasan Ibu itu, Bu. Namun sekarang aku merasakan manfaatnya. Apalah arti sebuah haru-biru drama percintaan yang tak nyata dibandingkan dengan ketenangan hati menjelang beribadah menghadap-Nya.
Ibu pun seorang yang sangat tegas dalam hal ibadah. Jika adzan sudah berkumandang, ibu tak segan-segan segera mengajak kami sholat. Jika ada yang tampak bermalas-malasan, maka Ibu tak segan pula memaksa. Adik dan Bapak pun Ibu paksa untuk sholat lima waktu di masjid. Bahkan jika ada tamu yang laki-laki pun akan Ibu paksa untuk pergi ke masjid. Bukan hanya menyuruh, Ibu juga melaksanakan sholat berjamaah di masjid. Sungguh, aku salut kepada Ibu yang istiqomah melaksanakan sholat subuh berjamaah di masjid. Bahkan ketika Bapak belum bersedia dan adik masih kecil pun Ibu selalu berangkat sendiri di pagi buta ke masjid untuk sholat subuh berjamaah. Terbayang olehku mukena Ibu yang putih berkibar-kibar ketika Ibu mengayuh sepeda melintasi persawahan menuju masjid. Kata Ibu waktu itu, “Hantu pun takut melihat Ibu”. Ah, Ibu, aku harus tertawa kalau mengingat itu.
Bu, Ibu memang istimewa.
Oya, bagaimana perjalanan Ibu tadi? Adakah cerita menarik yang bisa Ibu ceritakan kepada kami seperti biasanya? Tahukah Ibu, aku selalu menantikan kisah-kisah menarik yang Ibu ceritakan sepulang dari bepergian. Karena dalam perjalanan pun biasanya Ibu menjalin tali silaturahmi dengan teman seperjalanan. Lalu dari sanalah Ibu memperoleh informasi baru, kisah lucu, kisah unik baru dan lain-lain. Sampai kini pun aku masih ingat beberapa cerita Ibu seputar perjalanan. Kisah terakhir yang Ibu ceritakan kepadaku adalah saat Ibu bepergian dari Yogyakarta menuju tempat tinggalku di Madiun dengan naik kereta api. Di sana Ibu bertemu seorang tuna netra yang berprestasi hingga tingkat internasional. Kisah-kisah inspiratif seperti itulah yang kusukai. Ibu selalu menceritakannya dengan penuh semangat.
Yang juga kukagumi dari Ibu adalah, Ibu seorang yang suka menjelajah. Ibu tentu ingat kejengkelanku saat Ibu yang memboncengkanku mengajakku menyeberang rel kereta api dari arah Jalan Pangeran Mangkubumi menuju Malioboro. Ibu beralasan enggan melewati bawah Jembatan Kewek yang padat lalu-lintasnya. Padahal memang seharusnya begitu. Ibu memilih mengajakku turun dari sepeda motor lalu menuntunnya menyeberangi rel. Memang hanya sepeda, becak dan pejalan kaki sajalah yang boleh menyeberang di sana, namun Ibu dengan penuh kenekatan menyeberang di sana. Bapak Polisi yang bertugas di sana kala itu pun tak bisa berbuat apa-apa saat melihat Ibu melakukannya. Aku, yang waktu itu masih duduk di bangku SMP, hanya bisa berjalan dengan tertunduk malu, Bu. Malu sekali, Bu. Bagaimana kalau ada temanku di sekolah yang melihat kita melakukan itu?
Aku harus tertawa kalau mengingat semua itu, Bu. Selalu tertawa. Walau aku tak ingin meniru Ibu dalam hal ini, tetapi pelajaran berharga yang kuperoleh dari kejadian itu adalah kelihaian Ibu menyikapi keadaan dan mencari jalan tercepat menuju tujuan.
Banyak sekali kejadian menarik yang kujalani bersama Ibu. Jarak usia kita adalah 27 tahun, Bu. Dulu, saat aku remaja,jarak itu terasa lebih dari itu. Serasa ada jurang tak berdasar yang memisahkan duniaku dengan dunia Ibu. Ibu terkesan sebagai sosok yang tak bersahabat, tak hangat. Namun seiring bertambahnya usiaku, dan juga usia Ibu tentunya, jarak itu semakin mengecil. Bahkan sekarang bagaikan nyaris tak berjarak saat aku sudah menikah dan menjadi ibu dari anak-anakku. Ibu, kini dirimu serupa sahabat karibku di masa SMP dulu, yang siap mendengar ceritaku, siap berbagi, siap beraksi bersamaku. Sungguh, tak pernah kuduga pearasaan ini yang timbul. Ibu yang dulu selalu ingin kujauhi, kini kurindukan selalu. Ini ajaib ya, Bu?Apakah Ibu juga mengalaminya dulu dengan Eyang Putri?
Aku ingin mendengarnya dari Ibu. Lagi dan lagi. Jika nanti Alloh masih memberi kita kesempatan bertemu lagi. Aku menantikannya, Bu. Semoga Alloh masih memberiku kesempatan untuk menunjukkan bakti dan rasa sayangku kepada Ibu.
Baiklah, Bu. Kukira sudah cukup perjumpaan kita melalui surat ini. Tak ingin aku mengirimi Ibu surat lagi. Biarlah aku hadir di sisi Ibu berbagi cerita, nanti ketika Lebaran tiba ya, Bu, insya Alloh. Salam sayangku untuk Bapak, teriring doa semoga Ibu dan Bapak selalu diberkahi Alloh dengan kesehatan dan usia yang bermanfaat.
Wassalaamu’alaikum.
Diah
NB: Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju akun Fiksiana Community
Silakan bergabung di grup FB Fiksiana Community
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H