Mohon tunggu...
Diah Putri
Diah Putri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

bukan orang special,,,tapi aku dikelilingi orang2 yang begitu special

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Time After Time

30 April 2013   12:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:22 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

cerita ini hanya karangan belaka, barangkali ada kesamaan nama tokoh, tempat dan lain sebagainya adalah tanpa unsur kesengajaan.
:)

Milan melirik jam tangannya. Sudah mulai sore pikirnya, dan jam kantornya tinggal satu jam lagi. Dihelanya nafas panjang sambil sesekali membuka-buka catatan pekerjaannya. Memejamkan matanya kemudian  membayangkan nasibnya. Menerawang tentang pendamping hidup yang sering ia khayalkan. Kemudian tersenyum sendiri dan meneguk tehnya yang sudah sangat dingin.

“Lhoh, mbak Milan belum pulang tho? Saya kira sudah kosong ini kantornya”

Tono sang OB setia yang selalu menemani kesendirian Milan ketika lembur kerja. Milan kemudian membuka matanya, menatap gerakan Tono yang sibuk membenahi meja kerjanya. Kemudian tersenyum,

“belum mas, belum abis jam kerja, nggak enak sama boss kalo pulang duluan. Yang laen udah pada                       bubar ya mas?”

“masih ada sih beberapa yang belum mbak, Pak Boss juga masih diruangannya. Mbak Milan ini                              pekerja keras sekali, hobby lembur, nggak pernah mangkir dari kerjaan lagi. Padahal masih baru,                        masih muda pula, paling seumuran dengan adek saya di kampung mbak”

Tono tetap fokus pada pekerjaannya walau kadang-kadang menatap lawan bicaranya dengan sopan.

“oh ya...? umur saya baru 22 lho mas. Berarti nggak salah kalo saya manggil mas ke mas Tono. Tapi                   saya nggak punya sodara mas. Anak tunggal. Hehehe. nunggu pak boss pulang dulu deh mas, biar                       nggak dikira kurang ajar. Hahahaha”

Setelah itu, Tono berpamit pulang duluan, kemudian disusul  Milan. Milan setia menggunakan angkutan kota sebagai sarananya bekerja. Selain ia baru saja mendapat pekerjaan, itu juga karena ia dididik untuk hidup sederhana, sangat gila kerja, dan lupa pada hal lainnya.

Dan suatu ketika, saat Milan datang ke kantor dengan tergesa-gesa, dia menabrak seorang pria tampan, berbadan atletis dan bergaya menyebalkan

“ohh, maaf mas,.maaf nggak sengaja”

Yang ditabrak seakan hendak marah tapi kemudian diurungkannya. Ezi. Dokter Ezi Aditya tepatnya. Pria sukses dalam kurun waktu umur yang sangat muda, meraih gelar dokternya pada umur 22 tahun. Tampan dengan aksen sangat berwibawa, dan halus. Dengan tersenyum, dia berlalu. Sementara Milan justru terpaku, aneh sekali orang ini pikirnya. Berpotensi playboy.

“orang yang tabrakan sama mbak Milan tadi pagi itu mas Ezi, putranya pak boss. Gantheng ya mbak,                   ngeliatinnya sampe bengong”

Tono yang datang ke ruangan Milan membawakan teh tanpa gulanya membuat Milan tersenyum malu. Lalu menganggukkan kepala.

“gantheng tapi aneh banget mas. Dingin banget orangnya. Apa kalo orang pinter emang kayak gitu ya mas? Denger-denger masih muda gitu udah jadi dokter khan? Aish, betapa tidak menariknya hidup dia. Hehehehe”

“ih, mbak Milan jangan sembarangan... mas Ezi ini pekerja keras juga, sama kayak mbak, Cuma                                yang beda satu, ceweknya menjamur, kalo mbak Milan khan saya saja nggak pernah dikenalin                                sama cowoknya. Hehehehe...”

Tono menggoda Milan dengan lirikannya. Milan hanya berbalik mencibir sang OB. Ia kemudian memasang headset di telinganya dan di kliknya “Girl On Fire” milik Alicia Keys. Dia sudah tidak menyadari lagi ketika Tono permisi keluar, yang ada dipikirannya sekarang hanya pekerjaan di depannya.

Ezi datang lagi ke kantor ayahnya sore hari. Meminta jawaban kepada ayahnya tentang rencananya mengenalkan calon istrinya.

“ayah nggak akan mau kamu kenalin sama cewek matre dan tukang mabuk lagi Zi, ayah kapok liat tingkah mereka yang nggak tau sopan. Kamu masih muda, masih panjang perjalanan, jangan sampai kamu salah pilih. Belum saatnya kamu datang ke ayah membawa calon istri”

“terus Ezi harus gimana yah? Temen-temen Ezi yang laen sudah pada punya pasangan, masak Cuma Ezi yang terus membujang. Kalo soal nyari yang cocok menurut ayah sih gampang yah, nanti Ezi cari, nggak sama yang ini juga nggak papa”

Ayahnya tersenyum. Senang bisa tau arah pembicaraan anaknya yang makin ngelantur.

“kamu ini gila, mau menikah hanya karena malu. Cari pacar yang baik, jangan asal. Ayah nggak mau tau”

Ezi keluar dari ruangan ayahnya dengan sedikit kecewa. Gagal lagi rencananya menikah tahun ini. Belum juga ia mencapai Lift, Tono memburunya dengan muka pucat. Menarik tangannya ke dalam satu ruangan. Ruangan Milan.

“Tolong Mas, tolong banget. Saya nemuin mbak milan udah dalam keadaan pingsan di meja kerjanya, mukanya pucat sekali. Saya bingung harus bawa kemana, pas saya mau manggil dokter saya liat mas Ezi, makanya saya tarik mas kesini. Maaf mas kalo saya tidak sopan”

Ezi memandangi perempuan di depannya sambil memegang keningnya. Gadis tadi pagi pikirnya. Cantik sekali. Diberikannya kunci mobilnya pada Tono,

“mas Tono tolong ambilkan tas praktek saya di mobil, di jok belakang ya, cepet. Sama nanti kalo udah nganter tas saya, langsung ambilkan air putih buat mbak ini.

Sembari Tono mengangguk dan berlalu, Ezi mengamati pasiennya. Diperhatikan kedua bola matanya, diraba denyut nadinya, dan dirasakan bagaimana gadis itu bernafas. Mukanya menampakkan sedikit lega. Ketika Tono kembali, dipastikannya lagi keadaan gadis di depannya itu dengan peralatannya. Dia Cuma kelelahan, gumamnya pada diri sendiri.

Ezi tidak beranjak, tetap menunggui Milan yang masih belum sadarkan diri, sementara Tono sudah disuruhnya pulang karena sudah cukup larut. Ezi tersenyum kadang-kadang melihat raut cantik Milan. Dia berfikir dalam hati, apa perempuan seperti gadis ini yang ayah inginkan menjadi istriku. Kalo begitu, kupacari saja dia. Tidak perlu cinta, yang penting dokter Ezi mempunyai pasangan. Dan Wina mantan pacarnya yang telah dengan santai meninggalkannya akan merasakan kehilangan seperti yang pernah dirasakannya. Di dasar hatinya dia mengakui betapa sempurnanya perempuan dihadapannya ini. Cantik tanpa polesan make up yang berlebihan dibalut pakaian kantoran yang sopan dan modern. Wanita karier dengan umur yang sama dengannya. Ada rasa kagum yang teramat sangat menyeruak di hati kecil Ezi, perempuan seperti ini memang yang pantas dijadikan istri. Tapi Wina? Aku masih sangat mencintainya, dan aku masih sangat menginginkannya.

Milan perlahan-lahan membuka mata sambil memegangi kepalanya yang masih terasa pusing. Ia membelalakkan matanya ketika melihat sosok lelaki tampan yang ditabraknya tadi pagi tersenyum ramah padanya.

“akhirnya bangun juga nona”

Ezi memegang kening Milan sekali lagi. Demamnya sudah turun. Sementara yang dipegang terlihat risih.

“anda, kenapa ada di ruangan saya? Saya kenapa?”

“tadi mbak pingsan, kebetulan saya baru saja dari ruangan ayah, dan Tono meminta bantuan saya untuk nolong mbak, udah enakan sekarang?

Ezi tersenyum melegakan Milan yang awalnya memandangnya curiga. Maklum, reputasi Ezi soal cewek memang jelek. Milan tersenyum dan memohon maaf.

“terimakasih, dan maaf merepotkan dokter.....”

“Ezi, panggil saja Ezi, tidak usah memakai embel-embel dokter kalo saya sedang tidak memakai baju praktek. Toh anda adalah karyawan ayah saya, kecuali kalo anda itu pasien langganan saya.”

Milan tersenyum mendengar candaan Ezi. Sambil membenahi duduknya, dia menatap orang yang telah menolongnya itu. Tampan sekali wajahnya. Hidung yang mancung menantang dan senyum yang mampu merobek pertahanan Milan. tapi bukan gaya playboy yang Milan lihat kali ini, melainkan gaya lelaki penuh kasih dan sangat profesional. Aih, lelaki ini, pintar sekali mencuri perhatian.

“Saya Milan, maaf tadi sudah sempat salah paham”

“that’s ok. Saya seorang dokter, buka tidak mungkin akan mendapat perlakuan yang seperti itu dari orang yang pernah saya tolong. Hehehehe. sepertinya kita masih seumuran, rada aneh nggak sih kalo gaya bicara kita formal banget kayak gini, ngobrol biasa aja kali ya, biar lebih akrab”

Milan hanya mengangguk. Memberikan senyum termanisnya pada lelaki di depannya. Yang dipandangi pun membalas dengan senyuman, sesuatu sepertinya mengganggu pikirannya. Merusak gaya playboy dan keangkuhannya.

“udah malem, aku anter kamu pulang aja ya, lagian bahaya kalo cewek pulang malem. Kamu juga masih belum sehat bener”

“apa nggak ngrepotin kamu?”

“ya enggak lah. Aku juga lagi nggak ada jadwal jaga, jadi malem ini free”

Begitulah setelah malam itu, Ezi dan Milan menjadi dekat dan seakan di dunia mereka hanya ada mereka berdua. Ketika Ezi harus mendapat giliran jaga, Milan terkadang mengantarkan makan malam untuk lelaki tercintanya, membuat panggilan Ezi yang terbiasa tanpa pasangan itu terpatahkan.

“hey,.. ini kejutan nona. Kenapa nggak kasih kabar dulu kalo mau dateng?”

Ezi yang baru selesai mengecek kondisi pasien-pasiennya terlihat sangat senang melihat kedatangan milan malam itu.

“lhoh? Kenapa kalo nggak ngasih kabar? Takut ketangkep basah selingkuh ya?”

Milan tersenyum menggoda lelaki di hadapannya. Kemudian dilanjutkannya,

“tadi kebetulan dari kantor, sekalian mampir sini, kata ayah kamu, kamu jarang makan malam dulu sebelum kerja, makanya aku inisiatif bawain kamu makan malem.”

Ezi mengusap lembut rambut gadis di depannya penuh kasih. Kemudian membuka makanan yang dibawa oleh Milan. sesaat setelahnya dia tersenyum bahagia sekali. Ayam goreng kesukaannya.

“makasih ya sayang, ayam goreng kesukaanku. Abis ini aku anter kamu pulang ya, udah malem”

“sama-sama. Nggak usah Zi, kamu kan lagi kerja, nanti biar aku cari taksi aja. Lagian baru jam 8 ini”

Ezi menghentikan makannya. Menatap perempuan tercintanya itu lekat-lekat. Perempuan sangat mandiri yang tidak pernah ingin merepotkan orang lain, bahkan pacarnya sendiri.

“oke lah. Asal langsung ngasih kabar kalo udah sampai rumah ya”

“pasti pak dokter”

Milan memegang pipi lelaki kesayangannya itu gemas, kemudian memberesi barang-barangnya dan berpamit pulang tanpa menunggu Ezi selesai makan.

Ezi melamar Milan empat bulan kemudian. Dan ayah Ezi sangat bahagia mendengar Ezi akan menikahi Milan yang ia tahu betul sangat bersahaja.

“aku memang bukan tipe laki-laki romantis Lan, aku juga bukan laki-laki yang pandai mengungkapkan cinta. Tapi aku benar-benar memujamu. Kamu sempurna dimataku, maukah mendampingiku sepanjang usiamu?”

Milan membisu. Masih belum percaya dengan apa yang dikatakan Ezi. Mereka baru saling mengenal dan belum lama berpacaran. Dan hari ini, dia dilamar. Milan tersenyum, memegang tangan Ezi tulus sekali.

“kamu yakin? Apa memang hanya aku satu-satunya perempuan yang sempurna dimatamu? Kamu belum mengenalku dengan pasti, dan kita berpacaran belum lama. Bukan aku meragukan kesungguhanmu, sungguh bukan itu yang sekarang terlintas dipiranku, aku hanya tidak yakin pada diriku sendiri.”

“aku yakin aku sungguh-sungguh”

.......

“Ezi, kamu Ezi khan?”

Belum sempat Milan menjawab kembali perkataan Ezi, datang seorang perempuan begitu cantik dengan dandanan yang begitu menarik perhatian. Wina. Perempuan yang sampai saat ini pun masih bertahta di hati Ezi. Perempuan yang membuat Ezi membenci perempuan lain. Dan kini Wina datang di saat-saat paling krusial buat Milan. dia hanya terdiam bak patung yang tidak tau apa-apa. Berusaha tegar walau sudah mampu memprediksi apa yang akan terjadi setelah ini.

“wina? Ngapain kesini?”

Tak kalah terkejutnya dengan Milan, Ezi berdiri menghadapi Wina dengan sombong. Tapi begitu Wina menghambur memeluknya, pandangan sombong itu luntur berganti dengan kesedihan dan kerinduan yang dalam. Sadar kehadirannya sudah tidak berarti lagi dihati Ezi, Milan berdiri dan pergi tanpa mengucapkan satu katapun pada Ezi. Dan diluar dugaan, Ezi mengejarnya. Ezi tidak lagi bisa menyangkal kalau beberapa bulan ini, Milan telah membuatnya bahagia. Membuatnya jatuh cinta lagi pada perempuan lain selain Wina. Hati kecilnya ikut terluka melihat raut wajah Milan yang sendu. Tapi perasaan dendamnya pada Wina telah menyulut cinta lamanya.

“Milan, maaf”

Langkah Milan terhenti. Kemudian ia menoleh. Berusaha tersenyum dan tegar. ia baru menyadari, Ezi menggunakannya untuk mendapatkan hati Wina lagi. Hancur memang hati Milan, dan Ezi tenggelam dalam kemenangannya tanpa tahu apa yang sudah ia lepaskan. Dia melepaskan Milan begitu saja dan untuk Wina ia lupa pada dendamnya.

“mungkin aku memang alatmu untuk mendapatkan Wina kembali Zi. Tapi aku tidak akan lupa kebaikanmu. Terimakasih untuk luka ini, dan terimakasih untuk sudah membuatku jatuh cinta setelah sekian lama juga untuk sudah mengenalkanku kepada kebahagian, walaupun itu semua semu”

“kamu seharusnya tau dari awal. Kamu seharusnya mengerti kalo kamu Cuma saranaku untuk mendapatkan Wina kembali. Dan aku juga baru tau, ternyata kamu bodoh sekali Milan”

Kata-kata itu saja yang keluar dari mulut Ezi. Kata-kata yang mungkin akan membuat perempuan dihadapannya benar-benar membencinya dan melupakannya. Seandainya kamu tau Milan, ada perasaan dalam hati ini yang tidak akan pernah rela melepaskan.

“nanti kita bakalan tau betapa bijaknya hidup, sepahit apapun ini, pelajaran yang berarti. Semoga kepergianmu tak akan merubah apapun.semoga bisa kulawan kesepianku.”

Milan menyeka air matanya dan pergi berlalu meninggalkan satu-satunya lelaki yang telah berhasil mengambil hatinya. Tapi kemudian membuangnya. Memilih untuk meninggalkan semua kenangannya di kota Jakarta dan kembali ke jogja, dan meninggalkan Ezi bersama kenangannya.

Tiga tahun kemudian....

Terlalu indah dilupakan. Terlalu sedih dikenangkan setelah aku jauh berjalan dan kau  kutinggalkan,. Betapa hatiku bersedih, mengenang kasih dan sayangmu, setulus pesanmu kepadaku engkau kan menunggu. Andaikan kau datang kembali jawaban apa yang kan kuberi, adakah jalan yang kau temui untuk kita kembali lagi... _ruth sahanaya

Ezi selalu setia mendengarkan lagu itu di dalam mobilnya. Mengenang perempuan yang ternyata sangat berarti dalam hidupnya tapi ia tinggalkan dan campakkan. Milan, sudah begitu lama ia merindukan perempuan berparas cantik yang menyita perhatiannya namun ia tidak berani mengakuinya. Lalu Wina, kemana Wina? Wina berpaling sekali lagi meninggalkan Ezi untuk lelaki lain. Itulah yang membuatnya menyadari, betapa begitu besar arti Milan bagi kehidupannya. Rasanya sudah hampir putus asa ia menunggu milan kembali, hampir tak ada dayanya lagi untuk mencari. Milan benar-benar pergi, dan mungkin tak bisa kembali.

Sampai pada suatu hari, di hari mendung, di sudut kota Jogja ditengah liburannya, Ezi melihat sosok perempuan terkasihnya sedang membeli majalah. Pelan ia mendekat, dan diraihnya tangan lembut itu, Milan menoleh dan..

“siapa?”

Spontan Ezi melepas tangannya. Kaget bercampur haru.

“kamu nggak kenal aku Lan? Kamu lupa sama aku? Atau memang sudah tidak ada lagi kenangan tentang kita yang ingin kamu ingat?”

Milan bingung. Kemudian berlari pergi. Ketika Ezi bersiap mengejarnya, sang Tukang majalah mencegahnya.

“jangan dikejar mas, nanti malah semakin histeris orangnya. Kalo mas mau ketemu, nanti saya antarkan kerumahnya. Tapi ngomong-ngomong mas ini siapa?”

“saya temennya dari Jakarta mas, memang sengaja datang ke jogja buat nyari Milan. Tapi siapa sangka dia tidak mengenali saya lagi. Mungkin begitu besar rasa bencinya terhadap saya sampai untuk mengingat saya pun rasanya enggan.”

“masnya jangan keburu membuat kesimpulan seperti itu. Katanya dulu mbak Milan itu pernah kecelakaan, otaknya terluka jadi harus dioperasi. Itu mungkin mas yang bikin mbak milan nggak kenal sama masnya”

Ezi terhenyak. Hatinya terasa begitu sakit. Nafasnya memburu membuatnya lemas dan hampir saja jatuh terduduk jika saja sang tukang majalah tidak menangkap tangannya.

“mas nggakpapa? Apa perlu kerumah sakit?”

“nggak.. nggak usah mas, saya sendiri dokter, saya tau harus gimana. Saya Cuma perlu ketemu Milan sekarang, bisa mas nganter saya kerumahnya?”

Setelah menitipkan kios majalahnya kepada tukang angkringan sebelah, tukang majalah yang bernama Rejo itu mengantar Ezi kerumah Milan. Setelah sampai, diberinya upah si Rejo sepantasnya. Rejo menerimanya sambil berterimakasih kembali kepada Ezi kemudian pergi. Ketika Ezi mengetuk pintu, tampak wajah teduh perempuan tua yang masih terlihat sangat cantik. Setelah Ezi memperkenalkan diri, perempuan yang ternyata ibunda Milan itu mempersilahkan Ezi masuk. Milan sendiri yang menghidangkan minuman dan makanan kecil untuk Ezi, tapi kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya.

“saat itu, setelah beberapa hari di jogja, Milan sering melamun, menceritakan tentang mas Ezi ini. Dia bilang, dia takut tidak bisa melupakan sampean (sebutan untuk kamu dalam bahasa Jawa). Dia baru sekali jatuh cinta, dan itu sama sampean mas.”

Wanita tua itu menghela nafas panjang. Menampilkan guratan kelelahan yang amat sangat di wajah teduhnya.

“maafkan saya bu, saya yang salah, saya telah membuat Milan jadi seperti ini”

Ezi menangis. Mungkin merasa amat lelah menahannya seorang diri selama bertahun-tahun. Mengingat kembali hal-hal manis yang pernah dilaluinya dengan Milan, dan mengenang bagian dimana suatu ketika Milan pernah menjadi tempat bersandarnya.

“kenapa sih? Suntuk amat mukanya? Kebanjiran pasien ya Pak Dokter?”

Milan mengusap dahi Ezi lembut. Merapikan rambut lelaki yang selama dua bulan telah menjadi kebahagiaannya.

“hari ini pasien yang aku tangani meninggal sayang. Jadi merasa gagal”

“hey youngman... dokter bukan Tuhan you know??? Dokter juga manusia biasa, yang menentukan umur manusia itu Cuma Tuhan, bukan kamu sayang.. come on, jangan seperti ini”

“tapi baru sekali ini aku gagal Milan,”

“kita tidak akan pernah berusaha lebih baik kalo sebelumnya kita tidak pernah gagal. Aku bangga punya lelaki seperti kamu Zi. Sangat profesional dan pelayanan adalah yang utama. Prinsip yang sangat inspiratif. Tapi kamu juga harus inget, dokter bukanlah Tuhan ataupun dewa, dokter hanya manusia yang melalui tangannya Tuhan menolong manusia. Apapun yang kamu lakukan, kamu masih yang terbaik sayang. Jangan seperti ini, aku seperti tidak mengenalmu”

Ezi tersenyum. Menenangkan sekali perkataan perempuannya itu.

Pikiran Ezi yang tengah menerawang masa lalunya dipecah kembali oleh lanjutan cerita ibunda Milan.

“Milan kecelakaan tunggal beberapa hari setelahnya. Otaknya rusak dan ternyata itu memicu hematoma otak parah. Sayangnya Milan bersikukuh tidak mau dioperasi, dia takut sekali kehilangan ingatannya kalo saja ia setuju untuk dioperasi. Dia bilang, teramat sulit mendapat kenangan indah bersama Ezi, dan akan sangat sakit ketika suatu ketika harus tau dia kehilangan ingatannya”

Tangis Ezi menjadi. Ia tau betul apa hematoma otak. Ada sekumpulan darah yang ada di luar pembuluh darah, biasanya dalam bentuk cair. Jika dibiarkan berkelanjutan pasti akan membahayakan nyawa penderita.

“dokter sudah seringkali mengingatkan, tapi Milan tidak mau mendengar. Dia tetap percaya suatu saat mas Ezi akan mencarinya, untuk itulah dia berusaha bertahan tetap tidak mau dioperasi. Dia bilang, kalo nanti Ezi nyari, dia tidak akan susah mengenali. Tapi, empat bulan yang lalu, Milan tumbang. Dia tidak dapat bertahan, dengan berat hati, ibu dan bapak mengijinkan dokter mengoperasi Milan. Dan mas Ezi tau sendiri hasilnya sekarang, dia lupa pada orang-orang yang dikenalnya, bahkan pada sampean, orang yang sangat dicintainya. setelah menjalani operasi, Milan sering terlihat histeris.”

Ezi benar-benar terisak. Sakit sekali rasanya hatinya mendengar keadaan milan. Jika harus menyesal, maka menyesalnya sudah tidak dapat diungkapkan lagi. Tapi kemudian, Milan keluar menggenggam sebuah foto. Mendekati Ezi dan duduk disampingnya. Lalu menyerahkan foto yang dibawanya kepada Ezi. Disana, ada gadis cantik yang tersenyum begitu bahagia dan Ezi terlihat mencium pipi kirinya. Ya, adalah foto mereka berdua. Milan tersenyum, sedangkan ibunda Milan masuk ke dalam.

“aku mungkin tidak mengenalimu, tapi ketika melihat foto yang sama persis dengan wajahmu ini, hatiku  tau bahwa di masa lalu kamu pernah begitu berarti buatku”

Ezi menatap wajah gadis di depannya ini dengan nanar. Seperti dihujam ribuan batu jantungnya. Sakit dan teramat menyesal. Ezi hanya bisa mengangguk dan memegangi jemari Milan begitu erat.

“siapa kamu?”

Pertanyaan yang teramat menyayat hati. Membuat Ezi seakan hilang kendali. Tapi perlahan-lahan ia berusaha menjelaskan.

“aku Ezi. kau dan aku bertemu di kantor ayahku untuk pertama kalinya. Waktu itu kamu terburu-buru dan tidak sengaja menabrakku. Dan kedua kalinya, saat kamu tiba-tiba pingsan dan aku berusaha menolongmu. Dan dari itulah kita dekat. Hingga akhirnya aku melamarmu. Tapi waktu mungkin tidak mengijinkan kita menyatu.”

Giliran Milan yang menangis, kemudian memeluk Ezi erat sekali. Meluapkan kerinduan hatinya pada orang yang tidak dikenalnya saat ini tapi diketahui benar-benar oleh hatinya.

“maaf, maaf aku melupakanmu. Maaf aku tidak mengingatmu ketika pertama kita bertemu. Maafkan aku Ezi”

Tidak sampai hati Ezi bercerita tentang perlakuannya pada Milan dulu. Tidak ingin membuat Milan menjauhinya lagi. Yang menjadi harapannya sekarang adalah membahagiakan Milan, terlepas dari ketakutannya kalo suatu saat Milan mendapatkan kembali ingatannya dan membencinya.

“aku kan niatnya kesini sambil liburan, bisa anter aku jalan-jalan?”

Milan menyeka air matanya kemudian mengangguk. Setelah berpamit kepada ibundanya, Milan memandu Ezi menjelajah kota Jogja. Pertama mereka mengunjungi Malioboro, tempat terkenal di Jogja yang wajib dikunjungi. Meskipun sebelumnya mereka harus berputar-putar dan bertanya kepada orang beberapa kali, maklum, ingatan Milan tentang kotanya juga ikut hilang. Kemudian mereka mengunjungi angkringan di daerah stasiun Tugu  yang ramai sekali ketika malam. Ditempat itulah Ezi merasa menemukan kembali kebahagiaannya, lega sekali melihat tawa lepas Milan.

Hampir satu minggu Ezi dipuaskan oleh pesona Jogja dengan segenap keindahan dan keramahannya, juga dengan kebahagiaan yang dia ciptakan bersama Milan. Masa liburannya telah selesai dan dia harus kembali ke Jakarta. Milan berjanji akan menyusulnya ketika sudah siap. Ezi mengiyakannya. Namun, Ezi menjadi terdiam cukup lama ketika Milan mengantarkannya ke stasiun dan dengan spontan Milan memintanya mendengarkan sebuah lagu yang menjadi entah mengapa sangat disukainya akhir-akhir ini.

“sayang, coba deh dengerin ni lagu, dalem banget,. Nggak tau kenapa aku seneng banget dengernya. Kayak pas banget dihati.”

So don’t come back for me, who do you think u are. And It took so long just to feel alright, remember how to put back the light in my eyes, i wish i had missed the first time that we kissed. Cause you broke all your promises, and now you’re back you don’t get to get me back_Christina perry

Lagi-lagi Ezi hanya tersenyum, dia berpamit sambil mengecup kening Milan lembut. Sambil naik ke keretanya dia masih sempat berpesan,

“jangan pernah melupakanku lagi Milan, dan sesegera mungkin susul aku ya, aku akan merindukanmu selalu”

Seminggu berlalu, Milan tidak juga memberinya kabar. Nomor ponselnya tidak lagi aktif. Padahal setiap malam Milan selalu mengiriminya sms rindu. Tapi sudah hampir seminggu setelahnya, Milan menghilang. Hari ke hari, bulan ke bulan, hingga tepat lima bulan kemudian Milan datang. Dia mendatangi Ezi di rumah sakit tempatnya bekerja, tepat ketika Ezi tengah memeriksa seorang pasiennya.

“Dokter Ezi Aditya, bisa mengganggu waktunya sebentar?”

Ezi kaget sekali melihat Milan mendatanginya dirumah sakit. Setelah menyelesaikan pemeriksaannya terhadap beberapa pasien, Ezi menemui Milan di kantin rumah sakit.

“aku khawatir Milan. Kamu tiba-tiba tanpa kabar. Baru aja aku mau ambil cuti untuk menengokmu disana.tapi aku lega sekarang. Bagaimana kabar ibu?”

Milan membisu. Menatap Ezi tajam penuh rasa dendam. Tapi kemudian airmatanya menetes perlahan.

“untuk apa kamu mencariku, apa masih berarti aku dihatimu? Apa masih berharga aku ini untukmu? Dan untuk apa mencariku sampai harus membuatku bahagia kembali?”

Ezi berganti menatap Milan begitu tajam, ada gurat terkejut di wajahnya. Dan dia sadar, Milan telah mendapatkan kembali ingatannya.

“dan foto-foto ini, aku malu mengakuinya pernah membuatnya bersamamu di jogja. Tidak taukah kamu kalo aku begitu membencimu hingga hidup dengan kenanganmu saja aku enggan? “

Milan melemparkan foto-foto baru mereka di meja  hingga berserakan. Enggan menatap raut wajah Ezi yang tampak sangat menyesal sekali.

“pertama, aku ingin minta maaf. Dan kedua, aku ingin membuatmu bahagia Milan”

“aku bahkan sudah lupa bahagia itu seperti apa”

“aku tau. Aku sangat tau itu. Dan aku sadar betul, kini berbalik aku yang menjadi pria bodoh. Aku sudah tau, ketika kamu mendapatkan kembali ingatanmu, kamu pasti akan membenciku, tapi aku tetap menunggumu, selalu menunggumu”

“jangan mempermainkan perasaanku Ezi”

“aku tidak ingin dan saat ini aku sedang tidak ingin bermain. Aku menyesal, sangat menyesal. Tapi aku tau, aku tidak akan mendapatkan maaf itu”.

“aku bersyukur kamu tau itu”

Milan beranjak meninggalkan Ezi dengan kesedihan yang teramat dalam. Rupanya seperti ini rasanya sakitmu ketika dulu aku meninggalkanmu Milan, gumamnya sambil menutup muka. Berusaha menyembunyikan tangisnya. Tapi sesegera mungkin dikejarnya Milan, dan diraihnya tangan perempuan tercintanya itu.

“time after time you know you will be mine. Aku sudah melewati berbagai macam waktu, aku sudah melewati berbagai macam hari. Dan setelah waktu ini, aku tidak akan pernah melepaskanmu lagi”

Milan menarik tangannya perlahan dari Ezi. Meninggalkan laki-laki yang masih sangat dicintainya itu sendiri.

Pagi hari di dua tahun setelahnya.

“banyak karyawan tidak masuk hari ini bu, mungkin karena kemarin mereka keracunan makanan”

Milan berhenti menulis laporannya. Kemudian dengan seksama mendengarkan laporan bawahannya.

“ada sekitar 6 orang yang ijin tidak masuk, semuanya mengirimkan surat keterangan dokter bu”

“coba saya lihat suratnya, jangan-jangan hanya manipulasi saja karena mereka ingin naik gaji”

Milan meneliti satu persatu surat keterangan dokter yang disampaikan para karyawannya. Di tempat pedalaman seperti tempat lain di Pulau Maluku ini tentunya tidak banyak dokter praktek. Lagipula selama satu tahun lebih ia tinggal di pulau ini, jikalau dia sakit, dia harus pergi ke kota besar terlebih dahulu untuk mendapatkan pengobatan. Untuk itulah ia perlu waspada terhadap surat keterangan dokter yang sedang ia baca. Hampir semua karyawan di diagnosis sakit akibat keracunan makanan, semakin ke bawah semakin mengejutkan Milan. dr. Ezi Aditya, Nama dokter pemberi surat keterangan sakit tersebut. Hampir pecah gelas air putih disamping Milan karena tersenggol sikunya yang tiba-tiba gugup. Bahkan minum saja tangannya gemetaran.

“nanti sepulang kerja, antarkan saya ke rumah dokter ini ya pak”

Yang diajak bicara mengangguk dan tersenyum heran.

Menurut karyawannya, dokter ini adalah dokter baru. Dokter yang lama sudah sakit-sakitan dan tidak sanggup lagi mengabdi. Oleh karena itu, posisinya harus digantikan oleh seorang dokter muda dari Jakarta.

Sampai di pekarangan rumah sang Dokter, Milan berhenti. Memberi isyarat kepada karyawannya untuk mengantarnya sampai disitu saja. Lalu pelan-pelan dia masuk ke halaman rumah dan di dengarnya tawa khas lelaki yang dulu pernah sangat dicintainya. Semakin ia mendekat, semakin terasa pilu hatinya karena tekanan kerinduan yang begitu dalam. Dan tampaklah seorang lelaki tampan dengan baju khas dokter sedang menggendong seorang anak sambil menanggapi seorang gadis kecil disampingnya.

“dokter kenapa datang kesini, padahal kan disini sepi, aku aja pengen ke kota”

Dokter yang ditanya tersenyum, ramah sekali. Seakan bukan Ezi yang dulu lagi.

“habis, di kota nggak ada gadis kecil cantik kayak kamu”

Si kecil disampingnya tertawa, dan melanjutkan pertanyaannya.

“benarkah di kota tidak ada gadis cantik dokter?”

Ezi membenahi baju anak di gendongannya sambil tangannya yang satu berusaha mencapai rambut si gadis kecil untuk diusapnya.

“ada. Ada seorang gadis cantik di kota. Sangat cantik, begitu cantiknya sampai pak dokter sendiri heran apa yang membuatnya begitu terlihat cantik. Tapi gadis itu sudah pergi dan pak dokter tidak pernah tau dia dimana”

Si gadis kecil tersenyum sekali lagi kemudian berlari keluar rumah berpapasan dengan Milan yang masih terpaku di halaman rumah. Arah mata Ezi mengikuti kepergian si gadis kecil dan terhenti pada satu wajah tegang. hening. Keduanya membisu tanpa tau bagaimana harus memulai percakapan. Keheningan baru terpecah ketika anak di gendongan Ezi menangis mencari ibunya.  Ezi menoleh dan memanggil seseorang di dalam dengan panggilan Bund. Tidakkah itu singkatan dari bunda? Ezi sudah menikahkah? Milan hampir saja terjatuh kalo saja dia tidak berpegangan pada pintu pagar. Harus kuat. Tetap kuat. Muncullah seorang perempuan muda cantik yang lalu mengambil si anak dari gendongan Ezi tapi kemudian masuk ke dalam lagi. Ezi berjalan menghampiri Milan dan tersenyum.

“anak dan istrimu?”

Tanpa basa-basi milan langsung menyerang Ezi dengan pertanyaan itu. Ezi menunduk, cukup lama. Mungkin sedang berfikir bagaimana memberi penjelasan kepada Milan agar mampu mengerti.

“maaf milan. maaf sekali lagi”

Pertahanan milan akhirnya runtuh. Airmatanya mengalir tanpa bisa ditahannya lagi. Sedih, kecewa dan menyesal bercampur dalam hatinya. Dan tanpa berpamit, dia berbalik arah. Berjalan menjauhi rumah lelaki tercintanya yang sudah bahagia.

“maaf milan, aku masih menunggumu dan aku masih belum bisa mencari perempuan lain yang bisa menggantikan posisimu dihatiku”

Suara itu jelas terdengar di belakang Milan. dia menoleh, Ezi di dampingi perempuan tadi dan anaknya.

“dia Sita, adik Wina yang Wina titipkan padaku sebelum dia meninggal. Dan soal panggilanku padanya, aku hanya berusaha membiasakan Rifan memanggil ibunya seperti itu”

Milan masih menatap ezi linglung. Ezi mendekatinya, kemudian dengan penuh kerinduan yang teramat sangat memeluknya.

“wina meninggal?”

“iya, kanker payudara”

Sambil terus memeluk Milan, Ezi menatap langit. Ternyata yang sudah dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan oleh manusia. Dan dia tidak akan pernah melepaskan perempuan di pelukannya ini sekali lagi. Dia sudah cukup melalui banyak waktu dan makna kehidupan, dan untuk Milan, tidak akan ada rasa lelah.

“ i fooled everyone and now what will i become?  I have to start this over. And time after time you know u will be mine”

“aku tidak akan lari lagi Ezi. Aku akan tetap disini. Aku sudah lelah bersembunyi. Kerinduan ini menyiksa sekali”

Ezi mengecup kening Milan lembut.

“so, nona Milan, maukah kamu menjadi istri pak dokter ini?”

Milan tersenyum bahagia sekali. Sangat bahagia. Sambil mengangguk pasti ia memeluk ezi erat sekali.

“apakah aku si gadis cantik dari kota itu?”

Ezi mengembangkan senyumnya sekali lagi sambil mengangguk. Milan ikut tersenyum begitu lega dan berganti memeluk erat sang dokter muda.

“nikahi aku sekarang juga, dokter”

Si dokter menatap gadis di pelukannya itu heran bercampur haru. Menatapnya dalam-dalam seakan tidak akan pernah mau melepaskannya

“ hei younglady, take care what u ask of me, cause I can’t say no to you”

Keduanya tersenyum memandang langit. Ahhhh......Betapa bijaknya hidup.

*********************************************************************************

Kita tidak akan pernah tau apa yang akan diberikan Tuhan kepada umatNya. Kita hanya perlu percaya, Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun