Mengenali budaya dan norma masing-masing di media sosial menimbulkan tekanan yang dapat berujung pada benturan budaya. Hal yang menarik dari fenomena ini adalah konsumsi produk budaya yang disebarluaskan secara singkat namun bermakna melalui media sosial. Fokus penelitian ini adalah mengkaji secara konseptual konflik antara budaya Barat dan Timur dalam konten media sosial dengan menggunakan konsep imperialisme, orientalisme, dan oksidentalisme. Pemahaman budaya tersebut mewakili budaya dan kualitas hidup dalam arti sebenarnya dari kata tersebut. Mengasimilasi informasi dari konten yang tersedia di media sosial lintas dua budaya dapat bersifat subyektif dan memengaruhi sikap. Kajian konsep ini menjelaskan bahwa pengguna media sosial berhadapan dengan narasi sosial yang panjang dan konten media sosial yang kompleks, menjadikan persilangan budaya sebagai salah satu aspek pembangkitan konflik. Media telah menjadi sumber utama informasi dan hiburan bagi semua orang di seluruh dunia karena one-stop entertainment-nya. Kecepatan akses informasi ditopang oleh berbagai teknologi canggih, antara lain hadirnya berbagai jenis media sosial, melalui gadget dan perangkat pendukung lainnya yang menghubungkan seluruh dunia tanpa batas. Setiap hari, orang di seluruh dunia mengakses media sosial melalui perangkat pintar mereka untuk menghabiskan waktu luang atau mencari informasi yang mereka butuhkan saat ini. Bagi masyarakat di seluruh dunia, penetrasi informasi dan budaya ke media sosial dari seluruh dunia tidak bisa dihentikan oleh pengaruh jangkauan luas media sosial. Seiring berjalannya waktu, penggunaan internet dan media sosial semakin meningkat, dan pada tahun 2020, aplikasi TikTok, aplikasi yang berisi konten video kreatif, akan menjadi platform media sosial yang sering digunakan (Hootsuite, 2020). Platform yang memberikan informasi melalui konten. Dalam budaya yang unik, pola budaya yang dibangun oleh masyarakat internasional dapat membuat perbedaan besar, menjadi alat propaganda yang efektif, dan memicu dampak perang dunia maya, serta diakui secara umum dapat menjadi arena perang budaya antar kelompok. Konflik yang muncul di media sosial berkembang ketika budaya yang berbeda tidak dapat menerima perbedaan sikap dan merasa tidak pantas untuk meniru dan mengadaptasi budaya asing. Masyarakat Barat dan Timur sebenarnya dipisahkan oleh benua yang berbeda, tetapi pembagian antara masyarakat Barat dan Timur tidak didasarkan pada letak geografis, dan penentuan klaster-klaster ini didasarkan pada faktor fisiologis, psikologis yang mendasari dan dicirikan oleh faktor sosial, budaya dan sejarah. Kesamaan yang dimiliki setiap individu untuk membentuk suatu kelompok budaya menjadi suatu tubuh budaya yang semakin padat, yang statusnya seragam dan tidak dapat dipisahkan. Pemikiran masyarakat Barat lebih faktual daripada sensual, dan pengetahuan memberikan landasan empiris yang kuat yang melampaui pandangan hidup tradisional dan agama. Hal ini ditemukan di bagian barat dunia, yaitu Amerika dan Eropa, tetapi juga secara budaya, kolonialis atau terjajah. wilayah mempengaruhi sifat dan kecenderungan untuk mengikuti budaya yang dibawa oleh masyarakat terjajah. Demikian pula, Australia, sebagai bagian dari Persemakmuran, secara historis mengikuti budaya yang dipraktikkan oleh sekelompok orang di Barat. Secara kultural, masyarakat Timur memiliki cara pandang yang berbeda dengan masyarakat Barat, yaitu menjunjung tinggi norma-norma yang bersumber dari ajaran agama yang bersumber dari Timur. Budaya masyarakat Timur tidak hanya lahir dari agama, ide dan simbol abstrak menjadi konkrit dalam praktik kehidupan mereka. Pandangan yang berlaku dari kelompok sosial Barat dan Timur meninggalkan isu-isu penting untuk diskusi lebih lanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H