Sedari dulu, kamu yang suka berolahraga, dan akhirnya kamu bergabung di tim futsal. Aku selalu mendukungmu dari kejauhan, meskipun aku mungkin hanya satu dari sekian ratus orang di keramaian itu.
Â
Mungkin kamu adalah ceritaku yang sudah usai, namun tak akan pernah habis untuk kuceritakan. Aku tidak pernah memintamu menjadi terbaik, karena aku hanya ingin kamu bisa merapikan hidupmu dan selalu baik-baik saja.
Â
Kamu ingat Juli empat tahun lalu? Â Kita berpisah sehari sebelum ulang tahunku. Padahal tadinya aku berharap bisa merayakannya bersamamu di bibir pantai, menikmati angin yang gemuruh. Suasana yang romantis, dan aku menyukainya, tapi mungkin kamu tidak.
Â
Empat tahun berlalu, Fin. Rasanya baru kemarin kamu menghampiriku di tengah keramaian suportermu saat itu, dengan keringat dan nafas yang ngos-ngosan. Aku yang berdiri di barisan lumayan belakang, mungkin momen itu sangat melegenda. Kalau tidak untukmu, setidaknya untukku.
Â
Fin, di mana kamu sekarang? Siapa yang suka menemanimu latihan futsal? Siapa yang menenangkanmu ketika kamu bertengkar dengan ayah? Siapa yang mengajarkanmu memasak ketika Mama tidak ingin memasak? Dan, Fin, mungkin masih banyak pertanyaan lain yang sering muncul di kepalaku, yang aku tahu, aku tidak akan  mendapatkan jawabannya.
Â
Fin, aku tahu kita sekota di perkuliahan, di Malang. Kota yang sedari dulu kamu ingin mengajakku ke sana, meskipun kamu tahu Yogyakarta tetap menjadi pilihan utamaku.
Â
Fin, kamu sekarang sudah tumbuh dewasa. Semakin manis dan semakin nyaman dengan penampilanmu. Aku tahu dulu kamu selalu butuh validasi dariku untuk berpakaian ini dan itu. Perubahan baik dalam hidupmu kini menjadi alasanku semangat hidup.
Â
Sebenarnya aku ingin berbicara lagi denganmu, karena aku mendengar Sita mengirimkan salam perpisahan untukmu. Aku tidak pernah menyangka kalian secepat itu berpisah, meskipun seharusnya aku juga mengerti.
Â
Fin, maafkan aku. Dulu aku selalu menuntut banyak hal tanpa memperdulikanmu. Aku memintamu untuk menyayangi seseorang yang tidak pernah memberimu kepastian, untuk menungguku dengan banyak kebingungan yang harus kamu telan sendiri, untuk memaksamu mengerti bagaimana caraku mencintaimu, dan segala hal yang seharusnya tidak kamu terima. Aku minta maaf.
Â
Fin, aku ingat permintaan terakhirmu di pantai waktu itu, supaya aku baik-baik saja. Ya, Fin, aku akan melanjutkan hidupku, karena itulah satu-satunya yang bisa aku lakukan untuk mewujudkan perasaanku padamu.
Â
Itu caraku, Fin. Aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa mengendalikan diriku untuk berhenti menyayangimu.
Â
Beberapa waktu lalu, ada seorang pria menyatakan cinta padaku. Dia tidak mirip kamu. Jauh bila harus kaya kamu. Dan aku pun tidak mencintainya.
Â
Bukan karena dia tidak suka matcha, bukan karena dia tidak suka futsal, bukan. Aku tidak mencintainya karena aku pikir dia berusaha untuk itu. Tapi aku berusaha membuka hati, Fin, untuk menerima orang lain.
Â
Tapi aku takut kalau aku tidak bisa mencintainya sebesar aku mencintaimu. Sebenarnya aku tidak mampu melupakanmu, sebab itu semakin membebaniku.
Â
Fin, dulu kupikir yang kuinginkan sebelum kita berpisah adalah akhir yang bahagia. Tapi ternyata hidup lebih dari itu, Fin. Dan kamu benar kalau kita butuh baik, bukan hanya bahagia.
Â
Kamu cerita bahagiaku, Fin. Tapi tidak cukup baik untukku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H