Mohon tunggu...
Diah Siregar
Diah Siregar Mohon Tunggu... -

hanya seorang dengan kepribadian biasa.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cerita dari Stasiun

31 Januari 2011   05:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:02 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12964521501279913778

Stasiun Kereta Api Padang Halaban, Oktober 2010.

Berpasang-pasang mata menatap kami saat mobil pick up hitam yang membawa kam

[caption id="attachment_87866" align="alignright" width="300" caption=":)"][/caption] i dari mess perkebunan Padang Halaban ke Stasiun berhenti tepat di samping stasiun. Saya melompat turun dan mengedarkan pandangan ke sekitar stasiun. Tak begitu banyak orang. Mungkin karena stasiun ini bukan merupakan stasiun besar. Lagi pula saat itu bukan jadwal kereta api tiba atau berangkat dari stasiun itu.

Setelah mendengar instruksi dari kak chik, kami, para peserta pelatihan narasi yang diadakan Suara Usu dan ETF segera menyebar mencari objek yang menarik untuk dijadikan tulisan. Aku dan Eko sepakat untuk jalan bareng.

Pengingat yang Tak Diingat

Menyusuri jalan di depan stasiun. Rumah-rumah penduduk berjejer terpisah-pisah tak beraturan. Langkah Eko terhenti pada sebuah bangunan bercat putih dengan pintu tertutup. Sebuah plang di depannya menjadi petunjuk kami. Puskesmas, begitu tulisan yang terpampang di plang tersebut. Eko sibuk memotret plang tersebut. Aku justru tertarik pada sebuah bangunan di depan sebelah kanan puskesmas itu.

“Prasasti serangan pasukan grilya TNI pada pos pertahanan Belanda (OW) di stasiun KA Padang Halaman” aku membaca tulisan yang tertera di bangunan itu. Berdiri berbentuk persegi panjang dibalut keramik warna coklat. Bagian yang ditulisi prasasti, berwarna hitam. Untuk mencapainya harus naik dua anak tangga berkeramik warna putih. Aku tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang prasasti itu.

Jiwa narsisku muncul. Kukeluarkan kamera pocketku, kami pun bernarsis ria beberapa saat. "Aku ke dalam ya kak!" kalimat Eko kurespon dengan anggukan. Ia tak jadi menulis tentang puskesmas. Sepeninggal Eko aku bingung harus mencari informasi kemana. Sepi. Sebenarnya sekitar tiga rumah dari puskesmas itu ada sedikit kebisingan. Suara biduan menyanyikan lagu dangdut terdengar dari sana. Beberapa anak muda duduk-duduk santai seperti orang kurang kerjaan. Kursi dan meja tersusun rapi. Pastilah itu sebuah kafe (atau lebih tepat di sebut warung) tempat pemuda sekitar sering berkumpul. Tak ada niatku untuk ke sana. Selain karena sepertinya mereka berantakan, juga karena mereka semua laki-laki. Alhasil, untuk beberapa saat aku hanya memandang sekeliling tempat itu sambil menunggu seseorang melintas. O ya, begini bunyi prasastinya :

Prasasti

Serangan pasukan grilya TNI pada pos pertahanan Belanda (OW) di Stasiun KA Padang Halaban

Serangan I tgl 13 Juni 1949 jam 04.30 pasukan grilya TNI yang dipimpin letnan Klowo Sajiman & letnan M.Ghazali berkekuatan pasukan 30 orang beserta Trupen Komandan Kapten A.Manaf Lubis (Mantan Pangdam I BB) dengan berkekuatan pasukan 5 orang mengadakan penyerangan ke markas Belanda yang ada di stasiun KA Padang Halaban. Pasukan Belanda hanya 3 orang tidak mengadakan perlawanan karena senjata sudah tersimpan di lemari sementara teman-teman mereka balik ke baraknya. Pasukan TNI berhasil menyita 5 pucuk senjata LE-MK-11, 5 pucuk senjata M-95 & granat tangan, peti (12 buah). Serangan II : setelah satu bulan lebih serangan I, letnan Klowo mendapatkan informasi bahwa pasukan Belanda memperkuat pasukannya sebanyak 19 orang maka letnan Klowo dibantu letnan Hamid Zen & letnan M.S Guntur berkekuatan 70 orang melakukan penyerangan pada pukul 6 pagi dan pasukan Belanda tidak melakukan perlawanan dan komandannya mati tertembak 2 peluru dari pasukan TNI. Pasukan TNI berhasil merampas 18 pucuk senjata LE-MI-11 dan 1 buah pistol colt 38 dan pukul 06.30 pasukan grilya TNI kembali ke hutan Bandar Selamat. Diresmikan pada, Dewan Pim. Cab Tgl 09 Agustus 2008 Badan Pembudayaan Kejuangan 45 Lab.Batu Bupati Lab.Batu Ketua H.T. Milwan Dr.H.Djalaludin Pane, SH Lama kupandangi sekeliling. Pagar kayu dan kawat berkarat di depan prasasti. Jalan setapak di samping kiri. Jalan tanah dengan kubangan air hujan di depan. Serta rerumputan yang mengelilingi prasasti. Semuanya menghadirkan tanya yang masih belum terjawab. Seorang anak menyapaku. Menanyakan namaku. Ia informan pertamaku, Jansen namanya. "Jansen tau nggak itu bangunan apa?" tanyaku. Ia kelihatan bingung. Matanya memandang ke arah prasasti. Sejenak. Seperti mengeja. Kemudian menjawab : "Itu prasasti kak" "Pernah nggak dikasi tau itu prasasti tentang apa?" ia menggeleng. "Jansen kelas berapa?" "Lima" "Di sekolah kan ada pelajaran sejarah. Pernah nggak gurunya ngajak kalian kesini?" kembali ia menggeleng. "Kalau nyeritain tentang prasasti ini?" lagi-lagi hanya gelengan kepala yang kudapat. Jujur aku sedikit kecewa mendengar jawabannya. Di sekolah pastilah jansen dan teman-temannya diajari tentang sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk merdeka dan mempertahankan kemerdekaan. Tapi sangat disayangkan, mereka malah tak tau sama sekali sejarah yang pernah tertoreh di tempat mereka berada. Andai saja guru mereka tak hanya berpatok pada apa yang ada di buku-buku sekolah. Andai sang guru sedikit paham, bahwa mengetahui sejarah lokal juga sangat penting. Pastilah anak-anak ini tak akan menjadi seperti aku yang buta sejarah lokal. Ah, ternyata apa yang kualami masih berlanjut pada mereka. Jansen pamit untuk menjumpai teman-temannya yangsedang berkumpul di rel kereta api. Aku tergoda untuk mengetahui apa yang sedang mereka sibukkan di sana. Ada sekitar dua jam aku bersama Jansen dan teman-temannya. Setelah kembali ke stasiun dan bertemu peserta lainnya, aku kembali teringat perihal prasasti tadi. Ah... kasihan sekali prasasti itu, bahkan aku yang tadinya tertarik pun telah melupakannya beberapa saat. Beberapa orang kutanyai. Ibu-ibu yang sedang berkumpul di depan rumah mereka di sekitar stasiun. Seorang bapak yang sedang menyaksikan teman-teman Jansen bermain bola kaki di depan stasiun. Pelajar SMP yang rumahnya berjarak satu rumah dari puskesmas. Dan pelajar SMK yang melintas. Semua jawaban mereka bermakna sama "tidak begitu tau menau perihal prasasti tersebut". Menurut keterangan mereka, saat prasasti di resmikan banyak sekali orang datang. Bupati dan orang-orang penting lainnya. Namun setelah itu sepi. Orang-orang melintas, melihatnya, tanpa tau apa maknanya. Tanpa berusaha menjaganya. Tak ada guru (tak jauh dari tempat itu terdapat sekolah SMK) yang datang membawa anak muridnya dan menjelaskan tentang prasasti itu. Siswa-siswi yang melewatinya pun tak tertarik untuk mengetahui lebih jauh. Prasasti itu bagai bangunan tanpa makna. Hanya sebagai pembatas antara stasiun dan kampung mereka. Itu saja. Kembali kulangkahkan kaki ke prasasti itu. Baru dua tahun, gumamku setelah membaca ulang seluruh isi prasasti. Baru dua tahun dan ia sudah kehilangan nilai historisnya. Di bagian belakang prasasti, terlihat keramik putih itu sudah retak dan masuk ke dalam sehingga tanah di dalamnya terlihat. Aku melihatnya seperti kubangan luka. Luka yang terlupakan. Anak-Anak Kereta Api "Kakak lagi ngapain?" Pandanganku beralih dari tanah hitam becek ke asal suara. Sedikit tak percaya mendapat sapaan di tempat yang baru beberapa menit kudatangi. Seorang bocah berkulit hitam berambut ikal berdiri di samping sepeda, tak jauh dari tempatku berdiri. Senyumnya mengembang setelah sebelumnya aku melakukan hal yang sama. Mata bulatnya memandang kamera di tanganku. Aku tahu, ia pasti masih asing dengan benda itu. "Apa itu kak?" dugaanku tak keliru. Ia bertanya sambil telunjuk dengan ujung kuku hitamnya ia arahkan ke kamera pocket yang masih kugenggam. "Ini kamera! Mau kakak foto?" tersipu malu ia menggeleng. "Nama kakak Siapa?" "Diah, namamu?" "Jansen kak" Dan obrolan pun berlanjut. Pastinya tentang prasasti di depan puskesmas itu. "Aku ke sana dulu ya kak!" kuikuti telunjuk dan pandangan matanya, sekitar dua puluh meter dari tempat kami berdiri. Beberapa anak terlihat duduk di rel kereta api arah Rantau Prapat. Aku tergelitik ingin melihat aktifitas mereka. "Wah kan bahaya disana. Kalo tertabrak kereta gimana?" "Udah nggak dipake' rel yang itu kak. Yang tengah yang dipake'" "Kakak ikut ya!" anggukannya membuatku senang. Aku jadi lupa perihal prasasti tadi. Berjalan kami menyusuri pinggiran rel hitam. Srekkletek...srek..srek.. kerikil hitam ciri khas rel Kereta Api bergesekan dengan alas kaki kami. Jansen sengaja menuntun sepeda gunung berwarna hijau berukuran sedang miliknya agar dapat ngobrol denganku. Ia termasuk ramah walau agak pemalu. Tiap aku hendak memfotonya, ia selalu memalingkan wajah. Meski sudah kelas lima Sekolah Dasar namun pengucapannya kurang jelas. Alhasil aku sering mengucapkan kata "Hah?!" agar ia mengulangi ucapannya. Yang paling lucu saat aku menanyakan ia anak keberapa. Selain karena ucapannya yang kurang jelas juga karena kata-katanya yang asing di telingaku. "Anak kcomprot!" "Hah?!" dahiku berkerut. "Hahaha.. Combrot" pasti ia geli melihat wajah blo'onku. "Haa..?" "Kecombrot lo kak hahaha" "Apa tuh kecombrot?" "Sipudan" aku malah teringat dengan kartun Naruto. "Sipudan?!" "Anak paling kecil" Hahahhaa... gantian aku yang tertawa. Ia juga. Menunjukkan giginya yang sedikit kuning dan besar di depan. Jedor-jedoran Ketika kami sampai di tempat teman-temanya berkumpul, Jansen langsung menceritakanku pada mereka. "Ini kak Diah. Kalian pasti nggak kenal sama kakak ini. Aku kenaaal...! Kak Diah tau namaku Jansen. Kak Diah punya kamera lo! Nanti kalian difoto" ada nada bangga kutangkap dari kalimatnya. Terutama pada kalimat Kak Diah tau namaku Jansen. Saat ngobrol tadi aku memang beberapa kali menyebut namanya. Teman-temanya memandangku malu-malu. Dan tanpa malu-malu aku menanyakan nama mereka satu persatu. Sambil menunjuk tiap anak aku menyebutkan nama mereka (lebih tepatnya mencoba menghafal). Yusup, Dian, Dodi, Patra, Randi, Ipoh, Jansen dan even. Tawa mereka lepas saat aku menyebutkan nama terakhir. Pasalnya bukan even yang aku bilang, tapi ipin. Toko kartun dari Negara tetangga, Malaysia yang digandrungi anak-anak saat ini. Yusup, Randi dan Even sedang memilah-milah pohon bambu hias yang ditanam sebagai pembatas antara areal stasiun dengan tanaman kakao milik penduduk tak jauh dari tempat mereka duduk. Buk! Tubuh Even dan Randi jatuh saking kuatnya menarik bambu. Tawa kami meledak. "Buat senjata kak" begitu jawaban Even ketika kutanya. "Buat maen jedor-jedoran" "Maennya bisa kelompok bisa sendiri-sendiri" "Dimana aja. Kadang di rumah. Di deket stasiun. Di rumput-rumput atau di tempat yang banyak pohonnya. Biar bisa jadi tempat sembunyi" "Ada yang jadi Jepang, ada yang jadi Indonesia" Aku paham, jedor-jedoran yang mereka maksud pastilah bermain tembak-tembakan atau perang-perangan. Aku memperhatikan cara mereka membuat senjata dari bambu hias itu. Bambu yang dipakai harus lurus. Lubang tengahnya jangan kebesaran jangan juga kekecilan. Kalau sudah dapat tinggal di potong. Panjangnya sesuai keinginan. Pendorong pelurunya juga dari bambu. Dibuat sebesar lubang bambu awal. Untuk gagangnya harus bambu yang ada bagian ruasnya. Ukurannya lebih pendek karena hanya sebagai gagang. Ujung pendorong dimasukkan gagang yang beruas tadi. Ruas tersebut berfungsi sebagai penahan pendorong. Ujung satunya lagi berfungsi untuk mendorong peluru agar keluar dari bambu. Gagang juga berfungsi untuk menumbuk peluru yang ukurannya lebih besar dari lubang bambu. Setelah peluru ditumbuk dan bisa masuk ke bambu, tinggal pendorong yang bertugas. Kompak sekali mereka membuat senjata jedor-jedoran itu. Bambu diletakkan di atas rel. Dian yang bertubuh paling gemuk di antara teman-temannya memegang ujung bambu. Ujung satunya lagi dipegang Dodi. Patra menekankan parang pada bambu yang hendak di potong. Ipoh memukul parang dengan batu sekepalan tanganku agar bambu terpotong. Tek..tek..tek setelah beberapa kali memukulkan batu itu ke parang, bambupun terpotong dengan apik. Kerja sama yang baik, pikirku. "Pelurunya dari pentil jambu air. Kalo nggak ada bisa dari kertas yang dibasahi. Kalau mengenai anggota tubuh rasanya lumayan sakit" Yusup menerangkan. Sudah menjadi perjanjian tak tertulis di antara mereka untuk tidak menembak bagian mata, telinga dan organ tubuh yang rawan lainnya. Jika tak bermain jedor-jedoran, biasanya mereka main bola di lapangan yang terletak di bagian depan stasiun. Rupanya tak hanya orang dewasa saja yang menggilai bola. Mereka juga tak kalah tergila-gila. Jansen, Ipoh dan Patra malah memakai baju stelan seperti pemain bola. "Tidak pernah main di kereta api atau naik kereta api?" pertanyaanku mewakili rasa penasaranku. Sebab kulihat, mereka tinggal dan bermain di sekitas stasiun, namun seperti berjarak dengan si ular baja tersebut. Cerita Dian, pernah suatu kali mereka naik kereta tuk-tuk ( setelah kembali terbengong akhirnya aku tahu kalau ternyata kereta tuk-tuk yang mereka maksud adalah kereta barang) tapi ketahuan oleh petugas, dimarahi dan disuruh turun. Sejak itu, mereka hanya melihat dari jauh kereta tuk-tuk yang lewat. Kereta Api dari arah Rantau Prapat melintas. Aku memandangnya hingga berhenti di stasiun. "Udah jadi senjatanya kak" Jansen berkata riang. "Boleh kakak coba?" Ipoh memperagakan cara mengisi peluru, menumbuknya hingga masuk kemudian mendorongnya dan..dorr!!! peluru keluar menimbulkan suara, tapi bukan dorr melainkan treg..!! Aku pun tertarik mencoba. Taruh pentil jambu di lubang. Menumbuknya pakai gagang senjata. Mendorongnya dan klek..! pendorong itu patah kubuat. Kali ini tawa mereka meledak. Aku pun ikut tertawa dan legah dalam hati karena ternyata mereka tak marah. Pangeran dan Putri Kodok Lain Jansen, lain pula Desi dan teman-temannya. Kalau anak-anak cowok bermain jedor-jedoran, maka anak perempuan di sekitar stasiun ini bermain pangeran dan puteri kodok. Tau tahu bagaimana permainannya. Saat aku mendatangi mereka, itulah jawaban yang kuterima dari Desi. "Ada yang jadi puteri dan jadi pangeran kak" hmm... mungkin seperti cerita dongeng tentang pangeran dan puteri kodok itu kali ya. Selanjutnya aku lebih senang mengabadikan keceriaan mereka melalui mata lensa pocketku. Mereka kelihatan senang kufoto. Berdiri di atas tangki kereta api tak terpakai membuatku ingin ikut naik ke atas. "Ayo kak naik.." "Pegang besi yang ini..iya..!" "Awas jatuh kak.." Dan kalimat-kalimat lainnya. Mereka cepat akrab. Selalu tertawa gembira. Aku terbawa energi keceriaan mereka. Berada di antara mereka, seolah kebersamaan ini telah lama terjalin. Ah...bahagia sekali rasanya mendapat sambutan seperti ini. Langit tak seterang ketika aku datang tadi. Kulihat jam di handphoneku, 16:12. Dari kejauhan, kulihat beberapa peserta lain sudah berkumpul di stasiun. Kuucapkan terima kasih pada bidadari-bidadari kecil itu. Memandang keceriaan mereka dan mencoba merekamnya di kepala. Kulambaikan tangan dan disambut dengan teriakan "Kaaaaaaakk...!!" secara bersamaan. Aku tersenyum dan melangkahkan kaki ke stasiun dengan membawa keceriaan mereka di hatiku. ***

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun