Kota Jakarta merupakan Ibukota Negara Indonesia dan kota terbesar di Indonesia. Jakarta adalah satu-satunya kota di Indonesia yang memiliki status setingkat dengan provinsi. Kota Jakarta juga merupakan pusat pemerintahan, perdagangan, jasa, pariwisata, kebudayaan, dan bahkan menjadi daerah tujuan urbanisasi berbagai ras di dunia. Hal ini telah terjadi sejak zaman kolonial, yang mana menjadikan Kota Batavia (nama Kota Jakarta pada saat itu) sebagai pusat dari kegiatan pemerintahan dan perdagangan dari pihak Belanda. Menjadi pusat pemerintahan sekaligus ekonomi sejak zaman kolonial, menjadikan Kota Jakarta seperti memiliki nilai jual yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia.
Banyaknya pendatang di Kota Jakarta menyebabkan Kota Jakarta memiliki penduduk yang bersifat heterogen, karena terdiri dari berbagai macam suku, latar belakang budaya, agama, dan tatanan masyarakat yang berbeda antara satu suku dengan suku lainnya. Keberagaman tersebut memberikan berbagai macam dampak, baik dalam perekonomian, sosial maupun budaya di kota Jakarta. Dilihat dari kacamata pengamat, aspek yang paling terdampak yaitu aspek sosial dan budaya, dimana karena banyaknya pendatang dari luar daerah menyebabkan masyarakat asli Kota Jakarta, tepatnya Suku Betawi, perlahan mulai tersingkirkan.
Banyaknya para pendatang di Kota Jakarta menyebabkan terjadinya perubahan terutama dalam aspek sosial-budaya. Keadaan Kota Jakarta yang semakin padat penduduk tersebut membawa perubahan pada keadaan demografi masyarakat Betawi di masa kemerdekaan Indonesia. Pemukiman masyarakat Betawi pada masa ini mulai terpinggirkan sebagai akibat gencarnya pembangunan kota.
Tingkat pendidikan formal masyarakat Betawi pada masa ini tidak mengalami peningkatan yang signifikan, fasilitas pendidikan lebih banyak berada di pusat kota dan hanya bisa diakses oleh golongan tertentu. Pola pikir masyarakat Betawi kala itu juga masih mementingkan mengaji dan bela diri. Begitu pula keadaan ekonomi mereka, belum ada kemajuan yang signifikan. Mereka masih mengandalkan hidup dari mengelola lahannya dengan bertani atau berkebun, berternak, dan sebagian kecil menjadi pegawai.
Gencarnya pembangunan di Jakarta pada masa pemerintahan Ali Sadikin memang berdampak baik bagi perkembangan fisik maupun perkembangan ekonomi Kota Jakarta, namun pembangunan-pembangunan tersebut berdampak lain bagi masyarakat Betawi. Proses marginalisasi dimulai ketika Jakarta telah menjadi kota yang sangat diminati oleh bermacam-macam kalangan masyarakat. Persaingan semakin ketat untuk bisa bertahan hidup di Ibukota, taraf-taraf kehidupan semakin tinggi dan pekerjaan semakin beragam dengan kualisifikasi yang cukup ketat. Masyarakat Betawi yang saat itu hidup dengan cara tradisional mulai merasa terjepit, mereka sudah tidak bisa lagi memanfaatkan sawah atau kebunnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka juga tidak mampu bersaing dengan para pendatang karena pendidikan formalnya rendah. Keadaaan yang demikian mendorong masyarakat Betawi untuk mengambil langkah instan, yaitu menjual tanah mereka yang luas agar mendapat uang ganti rugi guna memenuhi kebutuhan hidup mereka. Langkah tersebut berhasil untuk sementara waktu, mereka yang tidak dibekali pendidikan dan keahlian tidak bisa memanfaatkan uang ganti rugi sebagai modal usaha di tempat tinggalnya yang baru. Sebagian besar hanya dihabiskan untuk memenuhi kebuthan sehari-hari, hingga akhirnya masyarakat Betawi kembali mengalami kesulitan ekonomi.
Puncaknya terjadi ketika pihak pemerintah dan swasta mulai menggusur masyarakat Betawi dan tingkat urbanisasi semakin tinggi. Banyaknya urbanisasi ke Jakarta membawa dampak bagi keadaan kota, pada kenyataannya tidak semua mereka yang berurbanisasi memiliki sumber daya manusia (SDM) yang baik. Mereka yang SDMnya rendah hanya membuat beban bagi pemerintah dan berakhir menjadi penghuni liar, sedangkan mereka yang SDMnya baik membawa dampak baik bagi perkembangan kota. Sementara itu, persaingan untuk mencarai perkerjaan dikuasai oleh para pendatang, masyarakat Betawi tidak mampung bersaing karena tingkat pendidikannya yang rendah dan semangat yang tidak lebih baik dari para pendatang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H