Mohon tunggu...
Diah Setiawaty
Diah Setiawaty Mohon Tunggu... profesional -

books, poetry, travel, Politics

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Obesitas di Indonesia: Indikator Kegagalan Sebuah Bangsa

17 November 2012   07:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:11 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dinda adalah perempuan muda yang pintar,energik, dan memiliki posisi yang bagus di perusahaannya akan tetapi akhir-akhir ini Dinda terlihat muram, sedih, dan tidak bersemangat. Pasalnya Dinda dilarang pulang ke rumah orang tuanya sebelum berat badannya turun. Dengan tinggi 160cm dan berat 80kg Dinda dianggap penyakit di mata kedua orangtuanya. Selain itu rekan-rekan Dinda kerap kali mendiskriminasi Dinda di tempat kerja. Disepelekan dan dihina baik diam-diam maupun terang-terangan adalah makanan Dinda sehari-hari. Sebagai perempuan yang memiliki kelebihan berat badan sejak kecil hidup Dinda tidak lepas dari berbagai penghinaan dan pelecehan.

Tentunya anda pernah bertemu dengan Dinda-Dinda lainnya atau bahkan Anda pernah mengalami berbagai pengalaman serupa dengan Dinda. Tahukah anda bahwa pelecehan terhadap mereka yang yang memiliki berat badan beresiko (overweightatau obesitas) merupakan salah satu pelecehan tertinggi dan yang luput dari perhatian.Tidak pernah ada perlindungan spesifik terhadap pelanggaran hak asasi terhadappelecehan terhadap mereka yang kelebihan berat badan, tidak seperti perlindungan terhadap etnis, agama, gender, bahkan orientasi seksual tertentu padahal di dalam masyarakat hampir pasti setiap orang yang memiliki kelebihan berat badan pernah mengalami pelecehan . Pelecehan yang mengacu kepada pelanggaran hak asasi manusia terhadap mereka yang memiliki berat badan berlebih telah berlangsung secara terus menerus dan meningkat seiring dengan berlalunya waktu.

Merujuk kepada Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, yang menyatakan bahwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah

“Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku . Melalui Undang-undang ini maka karena kebahagiaan dan keamanan adalah hak asasi seseorang maka pelanggaran atau tindakan melecehkan adalah jelas sebuah pelanggaran hak asasi manusia.”

Di dalam film dokumenter yang dilancurkan oleh saluran TV “The Weight of The Nation”yang menceritakan mengenai fenomena obesitas di Amerika Serikat disebutkan bahwa tingkat obesitas di negara adidaya tersebut sudah mencapai 69%,dengan angka pelecehan di tempat kerja mencapai 12 kali lebih besar jika anda over weight , 30 kali lebih besar jika anda obesitas dan melesat hingga 100 kali lebih besar jika anda benar-benar kegemukan (extreme obesity). Fakta ini sangat memprihatinkan tetapi tidak ada kampanye yang serius untuk mencegah pelecehan ini terus terjadi. Di Indonesia angka ini tidak jauh berbeda dan hampir pasti setiap orang gemuk setidaknya pernah jika tidak bisa disebut sering mengalami pelecehan atas kondisi fisiknya. Bahkan para pelaku pelecehan ini sendiri kebanyakan adalah orang-orang terdekat seperti keluarga karena menganggap kata-kata kasar dan keras dibutuhkan oleh orang gemuk untuk berkembang dan memotivasi untuk memperbaiki diri padahal yang terjadi malah sebaliknya, orang yang memiliki berat badan beresiko (overweightdan obesitas) malah akan menjadi semakin depresi dan menggunakan makanan atas pelampiasan kemarahan dan stress yang dialami.

Menarik bahwa angka pelecehan yang tinggi ini sering dikaitkan dengan stereotypeyang dilekatkan kepada orang yang kelebihan berat badan sebenarnya berkorelasi besar dengan kampanye media. Media dengan dahsyatnya mempengaruhi hal ini dengan imaji-imaji buruk yang digambarkan terhadap orang dengan berat badan beresiko, mereka kerap digambarkan sebagai orang malas yang sulit bergerak, penyakitan, memiliki kebiasaan buruk seperti rakus, tamak, serakah, korup, tidak jujur,menyebalkan bahkan dalam kartun anak-anak, tokoh jahat seperti “Gerombolan si berat” digambarkan sekelompok penjahat perampok uang yang memiliki berat badan berlebih. Bahkan anak-anak sudah di implan sedemikian rupa bahwa memiliki berat badan lebih banyak diatas rata-rata adalah buruk tidak perduli betapa pintar, baik, kreatif, dermawan dan beragam kualitas baik lainnya yang melekat terhadap diri orang tersebut. Sebaliknya kecantikan khususnya dan ketampanan pada umumnya selalu dipersepsikan oleh media berupa gambaran perempuan cantik dan pria tampan dengan bentuk tubuh yang tidak hanya proporsional tetapi juga sangat kurus atau berotot bagi laki-laki. Kurus dan berlekuk diimajinerkan sebagai seksi padahal dalam kenyataannya tidak banyak tubuh yang sangat kurus tetapi tetap memiliki lekuk alami yang berlebihan dan yang lebih penting yang harus disadari adalah setiap manusia memiliki selera dan pandangan yang berbeda-beda dalam mendefinisikan kecantikan.

Di abad 21 bagi perempuan, seperti telah menjadi rahasia umum,  hidup akan lebih sulit ketimbang menjadi laki-laki. Naomi Wolf dalam bukunya The Beauty Myth menjelaskan bagaimana seiring kekuatan sosial yang meningkat diraih perempuan tuntutan atas kecantikan fisik juga meningkat. Ia menjelaskan dengan sangat gambling dalam pembukaan dari bukunya

“The more legal and material hindrances women have broken through, the more strictly and heavily and cruelly images of female beauty have come to weigh upon us...During the past decade, women breached the power structure; meanwhile, eating disorders rose exponentially and cosmetic surgery became the fastest-growing specialty... Pornography became the main media category, ahead of legitimate films and records combined, and thirty-three thousand American women told researchers that they would rather lose ten to fifteen pounds than achieve any other goal...More women have more money and power and scope and legal recognition than we have ever had before; but in terms of how we feel about ourselves physically, we may actually be worse off than our unliberated grandmothers” (Wolf: 1991, p.10)

Pelecehan dan pelanggaran hak asasi baik secara fisik maupun verbal yang menimbulkan tekanan psikologis dan depresi terhadap mereka yang memiliki isu kelebihan berat badan kerap disepelekan karena dianggap masalah personal setiap orang terkait dengan sesuatu yang bisa diubah atau diusahakan dalam diri masing-masing. Yang tidak disadari adalah adanya sistem, pola dan struktur yang menyebabkan kegemukan menjadikan kegemukan tidak hanya persoalan personal tetapi juga merupakan persoalan kolektif sebuah bangsa yang terkait erat dengan kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial dan budaya. Bagaimana pemerintah menjamin ketahanan pangan masyarakat, membuat kebijakan ekonomi yang betul-betul pro terhadap rakyat kecil secara tidak langsung akan menentukan pola konsumsi masyarakatnya.

Kenapa kegemukan atau overweight bukan lagi menjadi masalah personal/pribadi dan serta merta menjadi masalah bangsa yang harus mendapatkan perhatian yang serius? Di Amerika, menurut peneliti Kelly Brownell dan Rebecca Pull dari Yale’s Rudd Center for Food Policy and Obecity endemik obesitas tertinggi di temukan di negara-negaradengan tingkat pendapatan perkapita di bawah tingkat rata-rata pendapatan perkapita negara secara keseluruhan dan sebaliknya negara bagian yang masyarakatnya lebih sehat dan punya concern mendalam terhadap makanan sehat dan organik adalah daerah-daerah elit yang tingkat pendapatan perkapita jauh diatas rata-rata pendapatan perkapita nasional. mengijinkan perusahaan-perusahaan fastfood melakukan ekspansi besar-besaran dengan iklan di media yang gila-gilaan untuk mempromosikan makanan mereka dengan iming-iming enak, murah, dan banyak.

Negara secara tidak langsung mensupport ekspansi fast food besar-besaran dengan memberikan subsidi terhadap jagung yang dijadikan pakan ternak, akibatnya industri fast food yang setiap saat membutuhkan daging sapi dan ayam yang enak dan sarat dengan lemak tinggi dengan mudah dapat menggemukkan sapi-sapi dan ayam-ayam mereka sampai pada tahap obesitas yang tentunya tidak sehat dan rawan penyakit. Dengan cara ini secara tidak langsung tidak hanya fastfood itu sendiri sarat dengan penyakit karena teknik pengolahannya yang serba cepat dan kebanyakan digoreng sehingga mengandung lemak jenuh dan kolesterol yang tinggi tetapi juga kerena bahan mentahnya sendiri sudah tidak sehat, yaitu daging sapi dan ayam yang digemukkan sampai pada tahap obesitas.

Selain itu pemerintah tidak pro terhadap industri pertanian dan peternakan sehingga menyebabkan harga sayur dan buah-buahan organik melonjak tinggi karena masyarakat sudah begitu tergantungnya terhadap pestisida yang jika ditarik lebih jauh akarnya juga karena perusahaan-perusahaan besar seperti supermarket biasanya hanya menerima buah dan sayur-sayuran yang mulus dan bersih sebagai penanda kesegaran.

Kasus-kasus yang saya tuangkan memang kebanyakan terjadi di Amerika, tampaknya juga sudah mulai terjadi di Indonesia. Dengan begitu banyaknya iklan-iklan fastfoodyang masuk bahkan hingga ke pelosok-pelosok daerah, di Indonesia memakanfastfoodjunkfood bagi kalangan menengah kebawah bahkan dianggap sebagai prestise yang bisa menjadi kebanggaan karena iklan yang mewah dengan desain restoran franchise yang terkesan mewah dan eksklusif. Terlebih lagi iklan melalui film-film atau sinetron baik lokal maupun domestik menyebabkan generasi muda semakin sering menghabiskan hari di restoran-restoran fastfood atau toserba-toserba franchise asing yang juga menghidangkan fast food serta makanan ringan dan minuman yang beraneka ragam yang kebanyakan tidak sehat.

Seiring dengan peningkatan jumlah middle class kecenderungan untuk mengunjungi tempat-tempat fastfood dan toserba yang menyajikan makanan minim gizi inipun semakin meningkat, ditunjang oleh kebijakan pemerintah yang dengan mudahnya memeberikan ijin pendirian franchise fast food, toserba, maupun mall yang juga meningkatkan gaya hidup konsumptif Indonesia.Pada tahun 2011 menurut Kabar Bisnis Indonesia McD Indonesia Jumlah gerai McD bertambah 19 gerai sehingga total gerai McD sebanyak 112 gerai yang tersebar di 24 kota dengan tingkat pertumbuhan 15% per 1,5 tahum. Dari 19 gerai itu 80% bertipe drive thru dengan rata-rata jumlah pengunjung di outlet McD mencapai 4.000-5.000 orang setiap hari. Dari jumlah ini, malah ada outlet McD yang mampu membukukan omzet hingga Rp 100 juta.Contoh lainnya adalah perusahaan waralaba KFC yang hak waralabanya berada di bawah kendali PT Fastfood Indonesia Tbk telah memiliki jumlah gerai mencapai 400 lebih gerai yang tersebar dari Aceh hingga Papua, KFC bisa mendulang omzet sekitar Rp 3 triliun dengan 400 gerainya (Kontan, 5 September 2012)

Maka jangan kaget juga obesitas telah sebuah isu di Indonesia sebagaimana yang terjadi di Amerika. Studi yang dilakukan oleh dr. Dyah Purnamasari Sulistianingsih, SpPD dari Divisi Metaboli Endokrinologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyatakan bahwa prevelensi obesitas di Indonesia dan Amerika Serikat memiliki kemiripan.Penelitian dr.Dyah menyebutkan bahwa 67% warga Jakarta memiliki berat badan yang beresiko (overweight danobesitas) dengan 95 % wanita memiliki lingkar perut di atas normal (lebih dari 80cm) dan 87% laki-laki menderita hipertensisebagaimana yang dilansir oleh KOMPAS .com pada 11 Mei 2012. Pendapat ini juga didukung oleh dr. Dante Saksono Harbuwono bahwa peta obesitas di Indonesia sudah melebihi negara-negara di Eropa seperti Portugal, Spanyol, dan Jerman yang disebabkan karena pengaruh pola hidup (life style), pola aktivitas yang tidak aktif (sedentary) dan pola makan yang beralih dari tradisional ke fast-food.(Media Indonesia, 28 September 2012)

Peralihan pola makan ini terutama meningkat setelah diijinkannya iklan besar-besaran di sosial media terhadap berbagai jenis makanan siap saji yang eksklusif dan tentunya mengkonstruksi dan merekayasa pilihan-pilihan di dalam masyarakat. agar merujuk kepada pilihan-pilihan yang sesuai dengan konsep fast food yaitu cepat, murah, enak, dan banyak. Dengan tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran gizi yang minim serta banyaknya mal praktik kebijakan ekonomi dan pangan terkait relasi erat dengan kuasa modal dan kapital tersebut menghasilkan adalah sebuah bangsa yang tidak sehatdengan tingginya resiko penyakit kardiovaskuler, hipertensi, dan diabetes. Tidak berhenti sampai disitu, epidemik ini juga dapat menggiring pada situasi depresikolektif karena tingkat pelecehan yang tinggi yang dianggap normal padahal sebetulnya adalah pembunuh secara diam-diam (the silent killer). Bagi perempuan obesitas bahkan mempengaruhi mood dan system hormone, hasil penelitian psikologi selama sepuluh tahun yang diterbitkan oleh Journal of Psychiatry (melibatkan 1.046 perempuan selama sepuluh tahun berusia) menyebutkan bahwa junk food dan gula cenderung menderita kecemasan. Sebaliknya orang-orang yang sering mengkonsumsi  sayur-sayuran, ikan, dan buah-buahan memiliki mood yang lebih stabil.

Oleh karena itu alangkah baiknya jika pemerintah lebih bijak dalam mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan pangan, mempromosikan pola hidup yang sehat, dan selektif dalam memberikan ijin bagi perusahaan besar yang ingin berinvestasi di Indonesia terutama yang berpotensi memberikan dampak negatif tidak hanya terhadap ekonomi tetapi juga kesehatan dan sosial terhadap masyarakat.

Pemerintah sudah membuat sebuah langkah awal dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 53/M-DAG/PER/8/2012, tentang pengaturan waralaba adalah salah satu niat baik pemerintah yang membuat banyak penegasan dan pembatasan untuk mengatur industri waralaba. Di dalamnya terdapat revisi Permendag No. 31 Tahun 2008 adalah tentang keberadaan waralaba asing pada salah satu kepemilikan, yang pada akhirnya mengakibatkan adanya monopoli.Harapannya dalam 5 tahun ke depan kepemilikan asing dapat mencapai 51%: 49%.  Semoga usaha pemerintah tidak berhenti hingga disitu tetapi juga memberikan kebijakan yang menyeluruh, dapat memberikan ketahanan pangan dan benar-benar mempertimbangkan kesejahteraan, kesehatan, dan terutama perlindungan terhadap hak asasi manusia terutama menghentikan pembiaran terhadap pelecehan yang dilakukan kepada warga negara yang mengalami kelebihan berat badan.

Ketika pemerintah tidak menanggapi secara serius pelecehan terhadap orang-orangdengan berat badan berlebih dan beresiko sementara pemerintah terus menerus mendukung kebijakan yang mendukung terjadinya obesitas masif atas rakyatnya maka sudah pasti negara telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan yang salah satu cirinya adalah sifatnya yang meluas dan sistematik. Ini adalah seruan terhadap para pemangku kebijakan untuk memperhatikan masalah-masalah yang dianggap sepele di dalam masyarakat yang sebetulnya adalah indikator dari sebuah kegagalan di dalam sistem dan memiliki dampak yang besar terhadap kemajuan sebuah bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun