PT. Newmont Nusa Tenggara bekerja sama dengan PT. Newmont Minahasa Raya kembali menyelenggarakan Sustainable Mining Bootcamp yang kali ini sasarannya lebih berpusat kepada penjelasan mengenai proses penutupan tambang. Sebanyak kurang lebih 12 orang termasuk tiga wartawan media diterbangkan ke Minahasa, tepatnya di Desa Buyat, Kecamatan Ratatotok untuk melihat secara langsung tempat yang sebelumnya menjadi site penutupan tambang yang pernah disinyalir mencemari pantai, laut, dan wilayah sekitar pada tahun 2004.
Tulisan ini memaparkan kegiatan yang di lakukan para peserta bootcamp sejak sampai di Minahasa, khususnya yang berkaitan dengan program pasca penutupan tambang. Tujuannya untuk memberikan gambaran kegiatan bootcamp dan kehidupan di teluk yang pada tahun 2004 telah dilaporkan tercemar dan mendapat perhatian besar media baik nasional maupun internasional.
Agenda pertama yang dilakukan peserta adalah menyelam di pantai Buyat, tepatnya di wilayah pulau Putus-putus. Disanalah para peserta Bootcamp melihat gugusan karang-karang yang keindahannya sudah dapat dilihat dari atas perahu. "Ini menandakan bahwa teluk buyat tidak tercemar, karena terumbu karang tidak dapat hidup di wilayah yang tercemar” jelas David Sompie, Presiden Direktur PT. Newmont Minahasa Raya(NMR) dalam presentasinya mengenai program berkelanjutan pasca penutupan tambang 2006-2011. Ia juga memaparkan bahwa Teluk Buyat adalah wilayah penempatan terumbu buatan (reef ball) yang terbesar di dunia setelah pemerintah Malaysia.
Sebanyak kurang lebih 3000 reef ball di konservasi oleh PT. Newmont Minahasa Raya di daerah ini sejak tahun 1999-2000. Survey yang dilakukan oleh Fakultas Perikanan Universitas Samratulangi pada tahun 2007 menunjukkan bahwa terdapat kurang lebih 177 spesies ikan dan 50 genus karang batu hidup di reef ball. . Saat ini wisata diving Buyat telah dipromosikan sampai ke mancanegara dan sudah mulai diminati oleh para wisatawan baik lokal maupun internasional.
Setelah melakukan wisata diving di daerah pulau Putus-putus para peserta bootcamp melakukan kunjungan ke wilayah pit atau area penutupan tambang di Minahasa Block, tepatnya di daerah Mesel. Sejak penutupan tahun 2004-2007 wilayah ini telah dibongkar dan direhabilitasi. Mengunjungi lokasi tersebut para peserta Bootcamp harus menaiki mobil Jeep terbuka karena tidak ada akses jalan beraspal karena PT. NMR telah mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Hanya ada beberapa jalan yang terbuka karena pemerintah daerah meminta akses jalan tidak ditutup demi kepentingan masyarakat. Jalan terbuka itupun hanya berupa jalan setapak yang tidak beraspal.
Wilayah seluas 443, 40 hektar yang tadinya adalah lokasi pit atau lubang besar juga sudah berubah menjadi hutan belantara. Hanya tersisa sebuah danau buatan kecil yang menjadi penanda. PT. NMR dalam kontrak karya memang tidak memiliki kewajiban menutup lubang pit tersebut karena mempertimbangkan tanah yang dibutuhkan untuk menutupi lubang tersebut akan menjadi beban selanjutnya bagi perusahaan dan masyarakat setempat yang harus segera di rehabilitasi. PT. NMR tidak mengalami kesulitan untuk memproses air asam tambang karena bebatuan di wilayah ini adalah batuan kapur yang sifatnya menetralisir asam. Saat ini danau buatan ini sudah memiliki ikan-ikan yang hidup di dalamnya. PT. NMR menjelaskan kepada para peserta bootcamp bahwa penutupan tambang di wilayah ini dikarenakan habisnya deposit emas di wilayah tambang bukan karena tuduhan pencemaran yang mereka terima selama ini. Hasil Penilaian Tim Dinas Kehutanan atas keseluruhan reklamasi PTNMR mendapat nilai 93 dari Total Nilai 100 dan mendapat kriteria baik ( nilai > 80). Hal ini karena PT. NMR menanam pohon melebihi kriteria yang diberikan pemerintah. PT. NMR bahkan menambahkan vegetasi baru seperti pohon Jati yang dipercaya memiliki nilai ekonomis yang tinggi jika dapat dimanfaatkan oleh penduduk di sekitarnya.
Setelah hampir seharian para peserta bootcamp dibawa berkeliling, pemberhentian selanjutya adalah Rumah Sakit Umum Daerah. Di Kabupaten Minahasa Tenggara RSUD ini hanyaterletak di Ibukota Kabupaten, Manado dan di Kecamatan Ratatotok. Rumah sakit yang bernilai puluhan milyar rupiah ini khusus di dirikan PT.NMR sebagai respon atas permintaan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan medis masyarakat sekitar. Walaupun banyak ruangan yang tidak termanfaatkan karena minimnya jumlah pengunjung tetapi bantuan yang terbaik tersedia di RS ini. Terdapat pula dokter jaga yang selalu siap menangani pasien setiap hari.
Kunjungan dan pembelajaran terakhir dilakukan ke sebuah desa yang terletak beberapa kilometer dari Desa Buyat Pante. Desa ini ternyata adalah desa yang dihuni oleh para warga yang sebelumnya telah pindah ke Desa Duminanga karena menganggap Desa Buyat telah tercemar. Ketika ditanyakan kenapa mereka pindah dan akhirnya kembali lagi Burhan (bukan nama sebenarnya) menjawab “Kita cuma orang bodo’ orang bilang Buyat tercemar kita pindah” kakek dari enam orang cucu yang masih menebarkan jala hingga senjauntuk menafkahi keluarganya itu menunjukkan kesedihan dan kekecewaan ketika menceritakan kisah yang kelam itu.
Warga sudah menetap di daerah tersebut selama lebih dari enam tahun sejak mereka pindah dari pantai Buyat tanah lahir mereka. Bermula dari gemparnya seorang bayi perempuan bernama Andini yang menderita sakit dan dituduh menjadi korban pencemaran. Kasus meninggalnya bayi Andini mendapat sorotan dari berbagai LSM yang berujung kepada eksposur besar-besaran media massa terhadap kasusnya. Buyat dituduh tercemar oleh limbah merkuri dari PT.NMR. Pada tahun 2004 kasus Buyat menjadi salah satu kasus terbesar yang mendapat sorotan dunia. PT. NMR dituduh melakukan pencemaran sebagaimana yang terjadi di Jepang akibat penyakit Minamata.
Kini setelah hampir Sembilan tahun pasca tragedi tersebut. PT NMR dinyatakan tidak bersalah setelah melalui berbagai proses panjang yang gelap dan pilu, melibatkan masyarakat sekitar yang akhirnya menjadi korban. Pembuktian di pengadilan yang melibatkan para pakar lingkungan, kesehatan, dan hukum berbuah manis kepada PT. NMR. Pada 12 February 2013, Mahkamah Agung lewat keputusan nomor 2691 K/PDT/2010 menolak permohonan kasasi WALHI atas gugatan perdata dengan tuduhan pencemaran Teluk Buyat (Media Indonesia, 26 Feb 2013).
Beberapa warga di dusun baru tersebut juga mengaku terpengaruh oleh LSM yang mengatakan bahwa Buyat sudah tercemar. Lebih jauh mereka juga mengaku bahwa mereka termakan oleh janji LSM yang mengatakan bahwa mereka akan diberikan rumah beserta segala isinya dan diberikan sejumlah uang (kurang lebih sebesar tiga puluh juta rupiah). Pada kenyataanya setelah dua tahun mereka hanya hidup di barak-barak. Kehidupan pun lebih susah ketika mereka di Duminanga karena ikan yang terdapat di daerah tersebut lebih sedikit akibat arus laut yang berbeda dari Buyat. Mereka pun akhirnya memutuskan untuk kembali ke desa asal mereka. Namun pilu belum juga beranjak. Warga setempat tidak mau menerima mereka kembali karena warga ex-Duminanga ini dianggap telah menimbulkan ketidak nyamanan karena sempat melakukan prosesi dan pembakaran rumah mereka sebelum pindah. Terlebih lagi mereka pernah membuat ikan-ikan nelayan Buyat tidak laku karena anggapan telah tercemar.
Tidak jelas apakah pemerintah sudah meninjau daerah perkampungan baru mereka, tetapi kondisi di lingkungan tersebut masih memprihatinkan, dengan tingkat kelahiran yang tinggi. Sanitasi masih terbatas dan listrik belum masuk ke dusun tersebut. Penghidupan yang mereka dapatkan saat ini memang jauh api dari panggang tetapi kehidupan ini lebih baik dari yang mereka dapatkan di Duminanga tempat mereka bermigrasi sebelumnya.
PT. NMR yang mendapatkan hantaman kasus Buyat dua bulan sebelum Mining Closure menginformasikan bahwa sebelumnya warga sekitar mengajukan proposal pembangunan sebesar bernilai miliaran rupiah yang akhirnya ditolak karena tidak sesuai dengan prosedur yang diterapkan PT NMR. Dana pembangunan PT.NMR saat itu diberikan secara sentralistis lewat pemerintah desa yang dikelola secara otonomi kepada dusun-dusun di bawah desa tersebut.
Saat ini, meskipun daerah yang awalnya situs pertambangan tersebut telah berubah menjadi hutan rimbun dan terlihat peningkatan perekonomian masyarakat tetapi kesejahteraan warga ex-Duminanga masih memprihatinkan. Para warga ini telah belajar untuk tidak mudah dipermainkan wacana kekuasaan lewatberbagai kendaraan baik LSM, media massa, maupun partai politik. Mereka dengan semangat dan harapan untuk membangun kehidupan yang lebih baik pada akhirnya kembali dan mendirikan dusun di tanah pemerintah. Saat kembali mereka benar-benar mendirikan kehidupan dari nol dengan keringat mereka sendiri. Tragedi tersebut betul-betul menjadi sebuah pelajaran berharga baik bagi mereka yang melakoni dan merasaka efeknya maupun bagi para peserta Bootcamp dan siapapun di luar sana yang mengetahui kasus pencemaran Buyat. Harapan dan ekspektasi tentu selalu ada, terutama agar tindakan eksploitasi masyarakat kecil untuk kepentingan pribadi atau kelompok tidak lagi terjadi di bumi pertiwi yang begitu kaya ini. Dibutuhkan kesadaran dan kerendahan hati dari semua pihak untuk memperbaiki segala kerusakan yang telah terlanjur terjadi. Untuk memperbaiki segala air mata yang telah tertumpah di pantai tersebut demi mempertahankan bumi, air, dan segala isinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H