Islam melegitimasi aktivitas ijtihad, bahkan hukumnya adalah fardu kifayah untuk merespon malasah kontemporer yang terus berkembang secara dinamis. Islam memberikan ruang ijtihad bagi siapa saja yang memiliki kompetensi dan keilmuan yang memadai.
Salah satu model ijtihad yang saat ini banyak dikembangkan adalah ijtihad maqashidi. Ijtihad maqashidi adalah penggalian hukum Islam dengan pendekatan maqâshid syariah. Maqashid as-syariah sendiri merupakan tujuan atau sasaran yang akan dicapai oleh syariah, sekaligus rahasia di balik penetapan syariat.
Beberapa pakar hukum Islam lintas madzhab telah melakukan penelitian tentang maqashid syari’ah. Dalam mazhab Syafi’iyah ada Izzuddin Ibnu Abdissalam, dalam mazhab Hanabilah ada Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dalam mazhab Malikiyah ada Abu Ishaq as-Syathibi, dan lain sebagainya.
Para fuqaha telah sepakat, bahwa seluruh perintah dan larangan syariah secara umum bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghilangkan mudarat.
Kemaslahatan yang dimaksud adalah kemaslahatan yang komprehensif, mencakup seluruh kemaslahatan yang bersifat dlaruri (primer), yakni kemaslahatan yang harus terwujud dan jika tidak terwujud yang akan terjadi adalah mafsadah.
Kemaslahatan yang bersifat dlaruri dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu: hifdzu ad-dien (menjaga agama), hifdzu an-nafs (menjaga jiwa), hifdzu an-nasl (menjga keturunan), hifdzu al-mal (mejaga harta), hifdzu al-aql (menjaga akal).
Juga mencakup kemaslahatan yang bersifat hajiyah (sekunder), yakni kemaslahatan yang berfungsi menghilangkan kesempitan yang bisa mengakibatan masyaqqat dan kesulitan, semisal keringanan dalam ibadah yang diberikan pada orang-orang yang mengalami masyaqqat karena sakit atau karena bepergian.
Juga mencakup kemaslahatan yang bersifat tahsiniyyah (memperindah), yakni kemaslahatan dengan cara mengambil kebaikan yang selaras dengan kebiasaan masyarakat, dan meninggalkan sesuatu yang dinilai sebagai sesuatu yang kotor, semisal kewajiban menghilangkan najis, menurup aurat, dan lain sebagainya.
- Ijtihad dengan menggunakan pendekatan maqashid harus mempertimbangkan nilai-nilai kemaslahatan yang dii’tibar (dipertimbangkan) oleh syarak, bukan kemaslahatan yang berdasarkan pada kesenangan nafsu. Pada dasarnya ijtihad maqashidi harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Tidak kontra dengan dalil yang sudah jelas dan pasti.
- Tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang mu’tabar dari nash al-Qur’an, sunah, ijmak, qiyas dan kaidah-kaidah umum.
- Tidak bertentangan dengan tata bahasa Arab sebagai perangkat memahami al-Qur’an dan sunah.
- Ijtihad harus dilakukan oleh seseorang yang adil dan warak.
Selanjutnya cara kerja ijtihad maqashidi adalah dengan melalui langkah-langkah berikut:
- Berpedoman pada nash al-Qur’an dan sunnah, hukum yang terkandung di dalamnya serta tujuan-tujuannya.
- Mengkombinasikan dalil-dalil yang bersifat universal dan umum dengan dalil-dalil yang bersifat khusus.
- Menarik kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadahan secara mutlak.
- Mempertimbangkan akibat hukum di kemudian hari (i’tibar al-ma’âlat).
- Seluruh kemaslahatan yang menjadi pertimbangan hukum dalam ijtihad maqashidi, mulai dari langkah pertama sampai langkah keempat harus mempertimbangkan keterjalinan antara satu maslahat dengan maslahat yang lain (interkoneksi).
Maqasid al-syariah memainkan peran penting dalam penalaran hukum Islam kontemporer (ijtihad). Maqasid al-syariah menjadi landasan untuk menjawab isu-isu baru yang belum ada hukumnya, atau untuk rekonstruksi hukum karena perubahan kondisi atau karena adanya aspek kemaslahatan yang berbeda dengan masa sebelumnya.