Mohon tunggu...
Catatan

Dilema Penegakan Hukum di Indonesia

8 Mei 2015   08:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:39 8365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Negara Indonesia adalah negara hukum

Seperti itulah yang ditegaskan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat 3 bahwa Indonesia adalah negara hukum yang senantiasa mengutamakan hukum sebagai landasan dalam menjalankan seluruh aktivitas negara dan masyarakat. Tidaklah salah apabila hampir seluruh masyarakat Indonesia banyak berharap terhadap hukum, karena Indonesia adalah negara hukum. Akan tetapi, malapetakanya adalah penegakan hukum di Indonesia belum mampu memenuhi harapan tersebut. Banyak faktor yang melatarbelakangi ketidakmampuan penegakan terhadap hukum di Indonesia, salah satu diantaranya yaitu masalah moral. Sangat memprihatinkan jika kita melihat di sekeliling kita betapa moral dan keadilan telah mulai pudar dan tersingkir oleh kepentingan dan pertimbangan politik ekonomi.

Di tengah-tengah gencarnya industrialisasi dan pembangunan, orang Indonesia menjadi sangat sibuk dengan urusan dunia dan meterinya masing-masing. Perlu diketahui, bahwa tujuan utama dari pembangunan adalah untuk mensejahterakan rakyat. Dalam kondisi demikian, keadilan serasa begitu langka dan menjadi hal asing untuk ditegakkan. Kemungkinan yang terjadi, apabila orang Indonesia saat ini mengatakan bahwa bicara masalah keadilan di tengah-tengah arus hukum modern adalah kuno atau jadul. Hal tersebut disebabkan karena hukum modern memang sudah semakin bernuansa teknologi. Mengapa saya mengatakan demikian?

Teknologi yang berkembang saat ini digunakan untuk menyelesaikan berbagai masalah seperti tanah, perburuhan, dan sebagainya yang sangat erat kaitannya dengan pembangunan. Hukum modern yang menekankan pada struktur rasionalnya, pada prosedur dan format, memang memungkinkan hal tersebut terjadi dan berlangsung sebagai suatu hal yang lumrah.

Ujung tombak penegakan hukum yang adil yaitu terletak pada hakim dan pengadilan.Negara manapun di dunia ini pasti menginginkan di negaranya terdapat penegak-penegak hukum dan hukum yang adil dan tegas, serta tidak melakukan tebang pilih. Saya rasa hampir seluruh masyarakat Indonesia tahu mengenai betapa memprihatinkan penegakan hukum di Indonesia saat ini. Banyak ditemui praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, adanya mafia hukum di peradilan, kemudian peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses peradilan yang sering dijumpai dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum yang seperti ini bagaikan pisau yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Hukum dengan tajam menindak masyarakat miskin dan akan lemah jika pelakunya orang kuat seperti pejabat. Banyak kasus yang menimpa rakyat biasa (miskin) tanpa basa-basi dijebloskan ke penjara dan dihakimi sendiri dengan hukum rimba. Seharusnya pejabat pun, jika memang sudah nyata-nyata terbukti melanggar kaidah hukum, juga harus dijebloskan secara langsung sehingga hukum di Indonesia tidak terkesan berkasta. Banyak contoh kasus mengenai penegakan hukum di Indonesia yang terkesan tebang pilih. Hamdani, anak di bawah umur yang mencuri sandal jepit bolong milik perusahaan tempat ia bekerja di Tangerang, kemudian Nenek Minah yang mengambil tiga butir kakao di Purbalingga, serta Kholil dan Basari di Kediri yang mencuri dua biji semangka langsung ditangkap dan dihukum sebesar beratnya. Kasus-kasus seperti ini tentu saja berbeda penanganannya dengan kasus seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang milyaran rupiah milik negara yang dapat bebas berkeliaran sesukanya. Dapat kita amati bahwa akan berbeda halnya dengan kasus-kasus hukum dengan tersangka dan terdakwa adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan, pangkat atau jabatan, serta nama yang proses hukumnya dijalankan secara berbelit-belit dan terkesan menunda-nunda.

Diterapkannya hukum modern berimbas pada menjauhnya hukum Indonesia dari wacana moral. Sejak saat itu, maka menyebabkan peluang terjadinya pengebirian terhadap hukum dari kandungan moralnya semakin terbuka lebar. Karena, menegakkan atau menjalankan hukum dapat menjadi suatu kesamaan yang secara formal hanya untuk menjalankan peraturan semata. Pada situasi lain, mungkin kata-kata menegakkan hukum sudah cukup untuk mengatasi semuanya. Akan tetapi, di satu sisi seperti yang saat ini terjadi di Indonesia dan juga di banyak negara lain itu tidak cukup. Indonesia perlu pendefinisian kembali secara tegas bahwa negeri ini ini tidak hanya berdasarkan hukum, melainkan juga berdasarkan moral.

Menurut Prof. Dr. Eddy Hiariej (Guru Besar Hukum Pidana UGM), terdapat empat faktor yang harus dimiliki oleh suatu negara dalam menegakkan hukum, yaitu Undang-Undang, Profesionalisme penegak hukum, sarana prasarana hukum, serta budaya hukum masyarakat. Perlu adanya kesadaran hukum masyarakat yang tidak terlepas dari sistem hukum. Untuk menumbuhkan kesadaran hukum dalam diri masyarakat, maka diperlukan suatu teladan yang baik dari para penegak hukum. Selain itu,kurang efektifnya Undang-Undang merupakan hal yang harus diperbaiki. Hal tersebut terlihat pada saat kepemimpinan Presiden Burhanuddin Jusuf Habibie pada bulan Januari hingga Oktober telah menghasilkan 44 produk Undang-Undang. Tentunya jumlah tersebut relatif tinggi mengingat Undang-Undang tidak dapat dibuat secara sembarangan karena menyangkut keadilan masyarakat.

Namun, sangat disayangkan. Keempat faktor dalam menegakkan hukum yang disampaikan oleh Guru Besar Hukum Pidana UGM tersebut belum dimiliki oleh Indonesia. Negeri ini masih dihinggapi penyakit kronis, yaitu krisis teladan. Hal tersebut menjadi sebuah tanggung jawab yang besar bagi para pendidik generasi penerus bangsa untuk menanamkan nilai-nilai moral yang di dalamnya terdapat teladan. Peserta didik tidak hanya butuh dijejali nasehat saja, melainkan mereka membutuhkan peran nyata seorang pendidik yang dapat mereka jadikan kiblat dalam berfikir, bersikap, dan bertingkah laku. Mungkin usaha ini terlalu sederhana untuk diupayakan dan membutuhkan waktu yang relative lama untuk memetik hasilnya. Namun perlu digaris bawahi, bahwa Indonesia membutuhkan generasi emas yang bermoral sebagai tongkat estafet dalam kurun waktu sepuluh atau dua puluh tahun mendatang. Generasi emas tersebut adalah peserta didik saat ini. (Dhu)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun