Mohon tunggu...
Dhurandhara Hidimbyatmaja
Dhurandhara Hidimbyatmaja Mohon Tunggu... -

Mahasiswa pascasarjana salah satu Universitas negeri. Lebih suka menulis daripada ngobrol, kecuali ngomongin bola, JKT48 dan kamu.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar dari Pemimpin di Timur

7 Juni 2013   16:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:23 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Artikel ini dibuat berdasarkan berdasarkan pengalaman pribadi penulis selama menjalani Kuliah Kerja Nyata Universitas Indonesia 2010 lalu)

Sebelum memulai tulisan ini, ijinkan saya memperkenalkan salah satu figur di Sota, Merauke. Namanya Daud Ndimar. Karena usia yang sudah lanjut, ia dipanggil kakek -atau di Papua lebih populer dengan istilah Tete. Banyak sekali kisah yang saya dapatkan selama di Sota, Merauke terutama yang terkait dengan Tete Daud, namun kisah yang saya ceritakan sekarang menurut saya lebih menarik terutama terkait dengan permasalahan toleransi yang saat ini menjadi polemik yang berkepanjangan di negara kita.

***

“Nak, sudah ya Tete masih ada urusan di rumah”
“Oh, oke Tete . Salam untuk keluarga di sana ya”

(“Tete” adalah istilah lain dari “kakek”, yang digunakan di wilayah Papua)

Percakapan di atas, dilakukan melalui telepon genggam, tepatnya bulan puasa tahun lalu. Percakapan tersingkat yang pernah saya lakukan dengan Tete, terlebih karena sulitnya kami melakukan kontak satu sama lainnya. Harus ada kompromi yang dilakukan untuk menggunakan telepon seluler di Sota, Merauke, tempat Tete tinggal. Telepon masuk dan keluar dibatasi, hanya untuk 10 percakapan. Sehingga, momen ketika Tete menelpon adalah sebuah hal yang langka.

Tidak lama kemudian, telepon saya berdering lagi. Mengagetkan, karena nomornya adalah nomor yang digunakan Tete menelpon sebelumnya.
“Halo”
“Ya”
“Maaf tadi Tete terpaksa mematikan telepon. Beliau tahu kalau sekarang waktunya Tarawih, jadi beliau mempercepat teleponnya. Maaf ya”
“Oh.. Baik pak, terima kasih”
Saya kaget, sekaligus malu. Tete memang menjabat sebagai kepala adat setempat, dari suku Marind Kanoum. Seperti inilah contoh pemimpin yang harus kita tiru, yang ironisnya berasal dari Sota, Merauke, Papua. Distrik paling ujung timur dari Indonesia. Dan, kejadian seperti ini bukan hanya terjadi sekali.

***

Saya dipanggil menghadap Tete, persis ketika acara bakar batu akan kita lakukan beberapa minggu sebelum rombongan KKN kami pulang ke Jakarta. Acara ini merupakan tradisi dari suku setempat, dengan membakar hasil buruan dan hasil tanaman yang ada di kebun masyarakat tersebut. Proses membakar dilakukan seperti oven di dalam batu bata, dengan dilapisi daun pisang. Konon, bakar batu ini merupakan cara umum masyarakat suku Marind untuk memasak masakannya, sebelum metode memasak saat ini yang menggunakan tungku.

Masalah yang menyebabkan saya dipanggil adalah hasil buruan yang ditemukan. Papua sebenarnya sangat terkenal dengan banyaknya hewan yang dapat ditemukan di dalam hutan, seperti babi hutan, rusa, kasuari, kangguru, dan sebagainya. Hanya, Tete melaporkan kalau mereka hanya menemukan babi.

“Maaf anak, Tete tidak bisa mendapatkan rusa dan saham (Kanguru). Tete tau, kalian tidak semua bisa makan babi. Jadi tete mau belikan kalian rusa. Bagaimana?”

Sebuah pertanyaan yang cukup menyentak saya. Tete begitu jujur dan benar-benar menghargai saya dan teman-teman saya yang kebetulan sedang melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata di sana mayoritas beragama Islam (mengingat agama Islam melarang penganutnya untuk mengkonsumsi babi). Sekali lagi, sebuah contoh pemimpin yang bisa kita tiru di dalam diri Tete.

***

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari dua cerita singkat diatas? Satu yang pasti menurut saya, toleransi. Ilmu toleransi mungkin kita pelajari di bangku sekolah dasar dulu, namun Tete yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal sama sekali, lebih mengerti daripada kita. Tete berasal dari agama Kristen Protestan, agama mayoritas dari suku Marind. Bagaimana mungkin seorang Tete yang bahkan tidak pernah keluar dari tanah Sota seumur hidupnya, memliki jiwa kepemimpinan yang sangat arif dan jiwa toleransi yang amat besar?

Menjadi ironi terbesar bagi saya, ketika saya bahkan seakan “diajari” bagaimana seharusnya bersikap kepada sesama, baik itu dari golongan,ras, suku, dan agama yang sama dan berbeda. Pelajaran yang bahkan harus saya dapat di daerah paling ujung Indonesia. Pelajaran yang didapat dari seorang kepala adat Papua, yang hidup sangat sederhana, yang bahkan menggunakan sabun colek sebagai sabun mandi dan merasakan ketimpangan oleh pemerintah lokal setempat yang lebih membela masyarakat transmigran. Namun, beliau masih memilih negara yang melahirkannya, Indonesia. Beliau lebih memilih untuk mengajak masyarakatnya maju dengan mengembangkan kebudayaan lokal, dan mengajarkan pentingnya toleransi baik bagi warga suku setempat maupun pendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun