Jakarta, 09/08/2017. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Timur, akhirnya memenangkan gugatan buruh Jakarta atas penetapan UMP DKI Jakarta tahun 2017, dalam sidang pembacaan putusan yang disampaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara pada hari Selasa, 8 Agustus 2017.
Dedi Hartono, Anggota Dewan Pengupahan Provinsi DKI Jakarta, perwakilan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia), yang juga aktif di Gerakan Buruh Jakarta (GBJ), hadir dalam sidang pembacaan putusan ini dan mengapresiasi putusan Majelis Hakim PTUN tersebut. Ini membuktikan Majelis Hakim tidak terpengaruh intervensi dari pihak manapun dan telah obyektif dalam memutuskan perkara. Salah satu pertimbangan hukum Majelis Hakim juga menegaskan bahwa penetapan UMP tanpa berdasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) adalah bertentangan dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dedi Hartono juga menyampaikan bahwa dalam Putusan perkara gugatan atas UMP DKI Jakarta No.21/2017 di PTUN Jakarta tersebut terdapat beberapa catatan penting yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim, yaitu;
1. Ditolaknya Eksepsi Tergugat mengenai legal standing Para Penggugat yang menyatakan bahwa Para Penggugat yang termasuk dalam federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh diakui entitasnya sebagai badan hukum perdata yang tercatat pada instansi pemerintah yang berwenang sebagaimana diatur dalam UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, sehingga kedudukan hukum Para Penggugat diterima.
2. Penetapan UMP dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 227 tahun 2017 tentang UMP DKI tahun 2017 "tidak berdasarkan Komponen Hidup Layak serta tidak pernah dilakukan survey pasar oleh Dewan Pengupahan"
3. Tidak ada dalam rekomendasi Dewan Pengupahan angka yang disepakati baik oleh unsur serikat pekerja/buruh, unsur pengusaha dan unsur pemerintah, tetapi dalam rekomendasi tersebut diketahui bahwa angka yang ditetapkan oleh Gubernur DKI Jakarta dalam Peraturan Gubernur adalah angka yang sama dari unsur pengusaha dan unsur pemerintah.
Sehingga, faktanya memang tidak ada rekomendasi dari Dewan Pengupahan yang berisi kesepakatan terkait nilai UMP.
Dedi Hartono menegaskan, tentunya Peraturan Pemerintah No 78/2015 tentang Pengupahan yang menjadi dasar penetapan UMP tahun 2017 dan telah menyengsarakan buruh secara eksplisit setidaknya telah dianulir dalam pertimbangan hukum aquo, sehingga pada intinya Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 227 tahun 2017 mengenai penentuan UMP mengandung cacat substansi dan melanggar azas- azas hukum pemerintahan yang baik dan menjadi acuan untuk penentuan UMP di tahun selanjutnya, ungkap Dedi.
Putusan hari ini menjadi kemenangan kecil bagi buruh terkait perlawanan terhadap ketidakadilan yang dilegitimasi dalam sebuah kebijakan. Karena tidak akan ada gugatan tanpa ada kepentingan yang dirugikan. Ke depan hal ini akan menjadi pembelajaran bagi Dewan Pengupahan di seluruh Indonesia bahwa dalam hal penetapan upah ke depan wajib melakukan survei kebutuhan hidup layak (KHL), yang menjadi dasar hukum yang berkeadilan bagi kesejahteraan buruh. (dht)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H