Tentu saja dengan pengetahuan yang minim, diet bagi saya adalah mengurangi makan. Berat badan memang sempat turun. Ujungnya, saya kena tifus. Sejak itu saya kapok. Sebenarnya saya juga tidak gemuk-gemuk amat. Apalagi dibandingkan dengan remaja jaman sekarang.
Berat badan memang naik turun, tetapi saya memilih mengendalikannya dengan olah raga. Sewaktu KKN teman sekamar mengajak saya rajin lari pagi di jalan desa yang naik turun gunung. Pemandangannya indah sekali karena lokasi KKN ada di lereng gunung Merbabu, Jawa Tengah. Lalu ketika kembali  menyelesaikan kuliah di Jogja, dia mengajak saya rutin senam aerobik. Kebiasaan senam ini diteruskan ketika hijrah ke Jakarta.
Setahun terakhir ini saya ikut kena demam olah raga lari. Terjauh saya pernah ikut lomba 16,8 km. Mudah-mudahan tahun ini saya sukses ikut kategori half marathon (21 km). Berat memang tetapi hormon endorfin yang dihasilkan sesudah lari bikin senang dan ketagihan.
Lari juga membuat berat badan semakin terkendali. Tidak perlu diet ketat lagi untuk mengontrol berat badan. Saya bisa makan apa saja yang diinginkan. Malah dokter menganjurkan untuk mengonsumsi protein daging sapi untuk mendukung olah raga lari ini.
Sekarang sering teman lama memuji,"Mbak, sekarang kok kurusan? Pakai diet apa?" Saya tersenyum bangga. "Saya nggak diet. Saya hanya lari."
Mendengar jawaban saya, tak ada lagi pertanyaan. Buat mereka, mungkin turun berat badan dengan olah raga terasa sangat menakutkan. Mungkin lebih menyenangkan mengikuti aturan macam-macam diet yang rumit dan bikin repot itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H