Mohon tunggu...
Dhorothea Triarsari
Dhorothea Triarsari Mohon Tunggu... -

Penulis yang tertarik dengan travel dan makanan enak.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Milan: Kosmopolitan yang Bersahabat

31 Agustus 2012   03:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:06 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13463839831473834524

[caption id="attachment_209725" align="aligncenter" width="300" caption="Katedral Duomo Milan"][/caption]

Milan adalah kota pusat bisnis dan fesyen di Italia. Kota kosmopolitan ini juga kampung halaman dua klub besar sepakbola. Meskipun kosmopolitan, tak terasa keangkuhannya. Betah rasanya seharian menjelajahi sudut-sudut terkenal di Milan.

Dibandingkan dengan Roma, Milan tampak lebih moderen dan stylish. Kota pusat mode dunia ini memang pernah hancur dibom semasa Perang Dunia Kedua. Milan pun dibangun kembali menjadi pusat bisnis yang sangat kosmopolitan.

Daya tarik terbesar Milan pun ada di gaya hidup dan kesenangan, yaitu belanja barang-barang bermerek, sepakbola, pertunjukan opera dan kehidupan malam. Dari ketiga hal itu, saya memilih sepak bola dengan berkunjung ke stadion San Siro yang termasyur.

Perjalanan ke San Siro dilakukan dengan trem dilanjutkan dengan bus. Di tengah perjalanan dengan bus itu seorang ibu warga Milano mendekati kami dan menyapa,”Kalian akan ke San Siro ya? Kalau iya, lebih baik turun di halte berikut. Jika tidak, kalian akan berjalan lebih jauh.”

Sangat mengejutkan memang. Sebuah kota pusat bisnis yang sangat kosmopolitan ternyata memiliki warga yang sangat bersahabat dengan turis. Di Tanah Air mungkin ini hal yang lumrah terjadi di kota semacam Yogyakarta atau Solo. Tetapi sepertinya tak pernah terjadi di Jakarta.

Ternyata benar, kami hanya berjalan sebentar. Lalu sampailah kami di stadion yang termasyur itu. Stadion ini menyediakan tur khusus untuk turis. Dengan membayar 12 Euro kami masuk dan menikmati sajian museum yang tak jauh dari loket.

Di museum itu ada banyak memorabilia milik pemain-pemain legendaris. Jersey, bola sepatu, trofi dengan nama-nama besar pemain sepak bola seperti Beckham, Giggs, Baggio, Ronaldo yang selalu jadi berita di halaman olah raga ada di situ. Buat penggemar sepakbola tentu kunjungan ini jadi histeria tersendiri seperti seorang penggemar fesyen masuk ke butik ternama.

Kursi Dewa

Sekitar seperempat jam kami melihat-lihat museum lalu terdengar panggilan untuk tur masuk ke dalam stadion. Tur kali itu dipimpin oleh seorang pria bernama Alessandro. Dengan bahasa Inggris yang sangat baik Alessandro menerangkan fakta-fakta soal stadion kepada turis.

“Stadion ini memiliki kapasitas 80. 018 penonton,” katanya. Kami semua dibawanya duduk di kursi berwarna merah. “Untuk menonton pertandingan di kursi merah ini, Anda harus membayar 200 Euro,” tambahnya. Dalam rupiah kita harus membayar sekitar 2,5 juta rupiah. Mahal memang, tapi apa yang terjadi di lapangan hijau tampak jelas sekali dari kursi itu.

Di tribun yang tinggi ada kursi dengan warna-warna lain. Ada ketentuan tribun tempat pendukung AC Milan dan Inter Milan harus duduk saat derby berlangsung.

Alessandro juga menerangkan perawatan rumput lapangan hijau yang saat itu ditutup plastik. Dengan disain bangunan yang nyaris menutup stadion dibutuhkan biaya yang besar demi merawat rumput di stadion yang dibuka sejak tahun 1926 itu. Mereka membutuhkan pencahayaan dan penghangat khusus untuk merawat rumput di lapangan.

Setelah puas berfoto-foto di kursi merah, Alessandro membawa kami masuk ke ruang ganti pemain. Pertama ia membawa kami ke ruang ganti Inter Milan. Nuansa biru terasa kental di ruang ganti ini. Suasana ruang ganti pemain ini tidak beda dengan ruang ganti biasa yang ada di gym.

Nuansa merah dan mewah lebih terasa di ruang ganti AC Milan. “Sesuai dengan selera Berlusconi,” kata Alessandro tertawa.

Setiap pemain AC Milan punya singgasana tersendiri. Alessandro menunjuk kursi-kursi yang pernah diduduki pemain bintang. “Kaka dan Beckham pernah duduk di sini,” katanya. Lalu kami pun berebut duduk di kursi yang pernah diduduki “dewa-dewa” sepakbola itu dan buru-buru minta difoto.

Tur sepakbola diakhiri dengan belanja di suvenir yang ada di dekat museum. Syal, jaket, jersey, sepatu, bola hingga keperluan anak bayi dan balita dengan emblem tim kesayangan dijual di tempat ini. Karena sarung tangan hilang, saya membeli sarung tangan dengan emblem AC Milan.

Ucapan Permohonan

Perjalanan tur dilanjutkan dengan mengunjungi katedral Duomo. Dari San Siro kami naik trem sambil terkantuk-kantuk. Duomo adalah gereja katedral bergaya gotik di Milan, keempat terbesar di dunia dan terbesar di Italia.

Kami melihat kebesaran katedral ini dari piazza yang ada di depannya. Manusia dari segala penjuru kota seolah tumpah ruah di piazza ini. Ada yang memberi makan burung merpati. Orang-orang kulit hitam menawarkan gelang gratis dan kemudian minta sumbangan dari gelang itu.

Ketika didekati, katedral berwarna putih marmer ini menunjukkan detil yang mengagumkan. Ada relief kisah-kisah kitab suci di dinding mukanya. Di pintu masuk yang sangat besar penjaga memeriksa tas milik pengunjung dengan seksama.

Uskup Agung Milan berkedudukan di katedral ini. Carolus Borromeus (1538–1584) pernah menduduki tahta Uskup Agung Milan. Buat alumnus sekolah Tarakanita, Carolus Borromeus ini sangat penting karena Tarakanita dikelola oleh suster-suster dari Kongregasi Carolus Borromeus. Carolus Borromeus dimakamkan di Katedral Duomo tahun 1584 dan diangkat menjadi santo tahun 1610.

Tak jauh dari katedral ada pusat perbelanjaan mewah. Merek-merek terkenal dunia berjajar dengan anggun di sepanjang pertokoan. Di tengah atrium orang bergerombol menatap lantai dengan lukisan banteng. Satu demi satu orang menginjakkan tumit kaki di kemaluan banteng lalu memutar badan. Ini mengingatkan saya pada elusan payudara kanan Juliet saat di Verona untuk membuat sebuah permohonan.

Saya pun melakukan hal yang sama sambil menguncapkan sebuah permohonan. Psst…permohonan saya adalah bisa kembali lagi ke Milan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun