Rintih ku, meniti takdir tanpamu.
Bukannya tak ikhlas,
Aku hanya tak lagi bisa menahan,
Entah air mata yang mengalir dengan deras,
Atau gejolak dada yang semakin menyesakkan.
Seiring berjalannya waktu,
Aku mencoba merelakan kepergianmu,
Berdamai dengan keadaan,
Mencoba menerima kenyataan,
Bahwa kamu tak lagi ada disisi,
Untuk sekedar menemani,
Berbagi cerita,
Entah tangis maupun tawa.
Rindu, iya,Itu yang setiap hari ku rasakan,
Bayangmu seolah melekat kuat dalam ingatan,
Bagaimana caramu tertawa,
Kamu yang khawatir saat aku terluka,
Dan semuanya tentang kamu, seolah masih hidup dalam rumah ini.
Bukannya aku tak menerima,
Aku mencoba menenangkan hatiku,
Ini adalah bagian dari skenario Tuhan untukku, dan dirimu.
Aku tau, Tuhan terlalu menyayangimu,
Sampai Tuhan memintamu menemuinya lebih dulu,
Karena Tuhan tak mau, kamu merasakan sakit lagi.
Raga mu terlalu tinggi untuk ku rengkuh,
Jarak yang memisahkan kita teramatlah jauh,
Kini, dimensi kita berbeda,
Kamu bisa melihat ku, namun aku tak bisa melakukannya,
Hanya bisa sekedar merasakannya.
Rindu ini seakan membunuh,
Terus hidup dan tumbuh semakin angkuh,
Sialnya, hanya air mata yang ku pilih jadi penawarnya,
Meski tak berasa, sekalipun sama saja.
Aku hanya bisa sebatas mendo'akanmu,
Dengan linangan air mata yang menjadi-jadi,
Rasa pengap yang berapi-api,
Aku berharap saat ini kamu tengah mengawasi ku,Bersama Tuhan, disisi-Nya, ditempat yang paling terbaik.
Aku rindu,
Hadirmu masih ku nanti, meski hanya sekelebat hadir dalam mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H