politik menuju 2024 sudah terasa walaupun terhitung masih sekitar 2 tahun lagi. Tak terkecuali agenda Muktamar NU ke 34 yang akan digelar di Lampung pada tanggal 22-23 Desember 2021 sudah ramai bahkan menjadi topik yang menjadi perbincangan elit dalam memandang pengaruh NU dalam pusaran pemilu 2024. Tidak hanya kalangan tokoh agama yang mulai muncul dipermukaan dalam membahas muktamar Nahdlatul Ulama tetapi isu desas-desus yang ramai terdengar para elit istana dan pemerintahan disinyalir keterlibatan dalam isu muktamar NU ke 34 yang ada di Lampung.
GejolakSejauh ini ada dua kandidat yang santer terdengar ke permukaan saat ini dua tokoh petahana yaitu KH Said Aqil Siradj dan Katib A'am PBNU KH Yahya Cholil Staquf. Dua nama besar yang digadang-gadang maju dalam gelanggang muktamar ini cukup heroik, karena masing-masing mengklaim sudah mengantongi suara lebih dari mayoritas pemilik suara. Pegelaran muktamar NU yang akan diselenggarakan di Lampung ini cukup menyita perhatian publik se-nusantara karena dalam hegemoni NU selalu dikaitkan dalam elektoral politik pada 2024. Lumbung suara yang cukup besar di tubuh NU sendiri sangat seksi dan dilirik berbagai kalangan. Meskipun NU bukan Partai Politik tetapi setiap kali Pemilu Nahdlatul Ulama menjadi suara elektoral yang sangat menggiurkan bagi para elit politik.
Isu di tubuh NU saat menjelang Muktamar pun banyak bertebaran ada yang menganggap bahwa Nahdlatul Ulama Butuh Keberlanjutan atau Regenerasi. Hal ini sempat menjadi perbincangan tokoh internal maupun diluar tubuh NU. Keterlibatan di lingkaran Istana dan pejabat kementerian juga semakin menguak bahwa muktamar kali ini cukup sengit dan panas.
Perhelatan pesta demokrasi 2024 muncul ke permukaan terkait siapa calon yang akan menduduki kursi ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Korelasi dengan perhelatan politik 2024 selalu dikaitkan dengan kondisi peta muktamar Nu ke  34 kali ini yang menjadi sesuatu yang memiliki pengaruh terkait kekuatan elektoral. Hal ini seperti yang kita ketahui Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan terbesar di dunia pastinya kekuatan politik NU juga menjadi pertimbangan para elit.
Kekuatan politik menurut Prof. Dr. Bahtiar Effendy merupakan segala organisasi non politik yang memiliki peran dan memiliki pengaruh serta terlibat secara aktif didalam dunia politik. Kekuatan politik ini juga dibagi menjadi dua sub yaitu kekuatan politik formal dan non formal. Kekuatan politik formal yang jelas pasti yakni partai politik sebagai kendaraan resmi dari kandidat politik di pemilu. Sedangkan kekuatan politik non formal adalah ruang civil society, misalnya kelompok professional, kelas mengeah, pemimpin agama, intelektual dan lembaga-lembaga serta media massa. Jelas sekali bahwasannya kekuatan Nahdlatul Ulama sebagai kekuatan politik islam terbesar yang ada di Indonesia yang mampu mempengaruhi kebijakan pemerintahan dengan jumlah anggota ataupun massa yang sangat banyak. Hal inilah yang menjadi gejolak panasnya muktamar NU ke 34 di Lampung yang didalam pusaran menuju 2024 karena Nahdlatul Ulama menjadi hal yang sangat ditarik-menarik oleh calon kandidat yang berkontestasi meski pesta politik 2024 terbilang masih lama. Ancang-ancang kearah sana sudah mulai terendus dan menarik untuk diikuti.
Inilah yang menjadi bargaining Nahdlatul Ulama yang memiliki potensi keberlagsungan organisasi dan pastinya harus melihat kebermanfaaatan dan kemaslahatan umat. Sebab sebagai organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama harus tetap dalam khittah dan koridor agar tetap membersamai umat serta terus menebar kebermanfaatan umat islam khususnya dan umat bangsa sesama manusia pada umumnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H