Menurut World Health Organization (WHO), kekerasan seksual adalah segala tindakan yang dilakukan atas tujuan untuk mendapatkan tindakan seksual atau tindakan lainnya yang mengarah kepada seksualitas seseorang dengan paksaan tanpa memandang status hubungannya dengan korban. Dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 4 Ayat 1, terdapat sembilan jenis tindakan kekerasan seksual, yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual elektronik.
Melansir data dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa), terdapat 29.883 kasus kekerasan seksual yang terjadi sepanjang tahun 2023 dan 1.112 kasus kekerasan seksual telah terjadi per Januari 2024. Korbannya didominasi oleh perempuan dan pelaku didominasi oleh laki-laki. Bahkan sepanjang tahun 2023, 85% korban kekerasan seksual adalah perempuan dan 88% pelakunya adalah laki-laki. Korban berasal dari beragam jenjang pendidikan, mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi dan lansia juga ikut menjadi korban dalam aksi kekerasan seksual ini.
Lantas mengapa perempuan bahkan anak-anak rentan menjadi korban kekerasan seksual?
Ada beberapa hal yang mungkin menjadi alasan utama mengapa perempuan dan anak-anak sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual, yaitu diskriminasi gender, minimnya sex education sejak dini, dan yang paling utama adalah budaya patriarki sehingga perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah bahkan hanya dipandang sebagai objek seksual semata. Kesetaraan gender yang diseru-serukan sepertinya hanya menjadi sebuah omong kosong belaka karena nyatanya masih banyak kasus diskriminasi terhadap perempuan yang kita temukan di Indonesia.
Hal yang demikian itu membuat para korban memilih bungkam karena merasa bahwa orang lain menganggap kejadian yang dialami merupakan kesalahannya. Korban menjadi merasa tak berdaya dan enggan bercerita atas apa yang dialami sehingga pelaku masih bebas berkeliaran. Seharusnya, kita memberikan pelukan dan dukungan untuk para korban karena 95% korban mengalami PTSD (Post Traumatic Disorder). Dukungan yang kita berikan diharapkan dapat memberikan dampak besar terhadap pemulihan kondisi fisik, psikis, dan mental korban untuk melewati masa traumatiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H