Dunia internasional---khususnya wilayah regional Asia Timur---tengah berada dalam kehawatiran dan tantangan yang serius. Pasalnya, Korea Utara terus melakukan peningkatan dan perluasan terhadap program nuklirnya. Serangkaian uji coba nuklir serta rudal balistik pun telah dilakukan oleh negara yang saat ini berada di bawah kepemimpinan Kim Jong Un. Segala bentuk agresi nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara tidak hanya mengancam stabilitas keamanan regional Asia Timur saja, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran dan kecaman dari masyarakat global.
Korea Selatan dan Jepang sebagai negara yang dekat dan berbatasan langsung dengan Korea Utara menjadi negara yang paling terdampak. Ancaman nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara membuat kedua negara perlu merespons ancaman tersebut dengan sigap. Peningkatan keamanan nasional, peningkatan strategi keamanan, serta peningkatan strategi yang bersifat diplomasi dilakukan oleh Korea Selatan dan Jepang agar stabilitas keamanan nasional bisa terlindungi.
Sejarah Program Nuklir Korea Utara Hingga Saat Ini
Sejak tahun 1950-an setelah Perang Korea terjadi, Korea Utara telah aktif dalam program penelitian nuklir karena kekhawatiran yang timbul dari majunya Korea Selatan pada saat itu (Adam, 2023). Uni Soviet menjadi negara yang membantu Korea Utara dalam pembangunan infrastruktur nuklir. Didirikannya reaktor nuklir di Yongbyong menjadi tanda dari bantuan yang diberikan oleh Uni Soviet serta adanya program perjanjian damai antara kedua negara (Adam, 2023). Pendirian infrastruktur nuklir ini juga menjadi sebuah peringatan bagi Amerika Serikat sebagai negara yang berkoalisi dengan Korea Selatan bahwa perkembangan nuklir di Semenanjung Korea bisa mengancam stabilitas keamanan di wilayah perbatasan.
Rencana penggunaan senjata nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara mulai berjalan di tahun 1970 ketika rudal Scud B-Soviet mulai dikerjakan dengan jangkauan 300 km (Iswara, 2022). Rudal ini pertama diluncurkan pada tahun 1984 dan menjadi awal dari program nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara. Sejak peluncuran rudal pertamanya, Korea Utara terus mengembangkan rudal jarak jauhnya dari tahun 1987-1992, termasuk rudal Taepdong-1 (jarak 2.500 km) dan Taepdong-2 (jarak 6.700 km) (Iswara, 2022).
Uji coba pertama dilakukan oleh Korea Utara pada rentang tahun 2006-2013. Pada 9 Oktober 2006, Korea Utara meluncurkan nuklir pertamanya setelah penangguhan mengenai uji coba nuklir berakhir di tahun 2005 (Iswara, 2022). Kemudian, di tahun 2009 dilakukan uji coba nuklir dari bawah tanah dan pada tahun 2013 kembali dilakukan pengawasan mengenai uji coba nuklir ketiga. Setelah itu, Januari 2016 menjadi tahun di mana uji coba nuklir bawah tanah keempat dilakukan oleh Korea Utara. Pada 3 Agustus 2016, Korea Utara berhasil meluncurkan rudal balistik bawah tanahnya hingga mencapai wilayah perairan di bawah kekuasaan Jepang (Iswara, 2022).
Uji coba kelima dilakukan oleh Korea Utara pada tanggal 9 September 2016. Setelah itu, dalam rentang waktu Februari hingga Mei 2017 Korea Utara banyak melakukan peluncuran rudal balistik yang jatuh ke Laut Jepang (Iswara, 2022). Banyaknya rudal yang diluncurkan oleh Korea Selatan menimbulkan kecaman dari pihak Amerika Serikat dan Jepang. Peluncuran rudal yang dilakukan oleh Korea Utara sendiri diklaim sebagai sebuah latihan untuk menghancurkan pangkalan militer Amerika Serikat di Jepang.
Tahun 2017---tepatnya 3 September 2017---menjadi tahun di mana Korea Utara kembali melakukan uji coba nuklir keenamnya dengan skala yang besar. Diperkirakan bobot nuklir tersebut melebihi nuklir yang dimiliki oleh Amerika Serikat yang pernah menghancurkan Hiroshima di tahun 1945 (Iswara, 2022). Pada 29 November 2017, Korea Utara juga meluncurkan ICBM Hwasong-5 baru yang diklaim bisa menyebabkan ledakan yang besar. Dua tahun setelah peluncuran rudal baru---tepatnya 2019---Korea Utara bersama dengan Amerika Serikat mengadakan KTT Hanoi pada bulan Februari, tetapi tidak menemukan solusi yang berarti. Hingga saat ini, Korea Utara terus berusaha memperkuat persenjataan nuklirnya dan menerapkan kebijakan Pembangunan kekuatan nuklir yang lebih luas.
Respon Korea Selatan
Sebagai negara yang letak geografisnya hanya terpisahkan oleh Semenanjung Korea dengan Korea Utara, Korea Selatan sangat khawatir akan ancaman nuklir yang masih berlangsung hingga saat ini. Keamanan regional Korea Selatan terancam akibat serangan-serangan serta uji coba yang dilakukan oleh Korea Utara. Hubungan antara kedua negara yang memang sudah tidak baik sejak Perang Korea tahun 1945 juga menjadi semakin memburuk.
Dalam merespon hal ini, Korea Selatan memperkuat kerja samanya dengan Amerika Serikat sebagai koalisinya dengan melakukan permintaan jaminan perlindungan dari nuklir (Adam, 2023). Kerja sama bilateral antara kedua negara diperkuat dengan dilakukannya pembaharuan kerja sama bilateral di bidang keamanan pada 13 November tahun 2023 dalam pertemuan The 55th Security Consultative Meeting (Indo-Pacific Defense Forum, 2023). Shin Wo Shik---perwakilan dari Korea Selatan---dan Lloyd Austin---perwakilan dari Amerika Serikat---menandatangani dokumen baru yang direvisi untuk pertama kalinya setelah melihat Korea Utara yang tak henti mengembangkan persenjataan nuklirnya. Dokumen itu menyatakan bahwa Amerika Serikat akan membantu dan membela Korea Selatan melalui kekuatan militernya---termasuk aset nuklir---secara menyeluruh jika sewaktu-waktu Korea Utara menyerang mereka (The Associated Press, 2023).