Mohon tunggu...
Muhammad DhiyaurRachman
Muhammad DhiyaurRachman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Biologi IPB University

biologi dan sains

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelusuri Persebaran Burung di Masa Lalu: Studi Filogeografi di Paparan Sunda

29 November 2023   17:07 Diperbarui: 29 November 2023   17:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahukah anda dahulu Pulau Sumatra, Kalimantan, dan Jawa pernah menjadi satu dataran yang lebih luas? Saat itu masyarakat mengenalnya dengan istilah Sundaland atau Paparan Sunda yang pernah ada selama periode glasial 2 juta tahun yang lalu. Paparan Sunda adalah wilayah di Asia Tenggara yang terdiri dari Semenanjung Malaka, Sumatra, Borneo, Jawa, dan pulau-pulau kecil yang semuanya terletak di Paparan Sunda perairan dangkal (kurang dari 200 m) dan kemudian tersingkap ketika periode permukaan laut rendah di zaman Pleistosen. 

Paparan Sunda juga memiliki sistem sungai purba era Pleistosen memiliki tiga sistem sungai yang luas mengaliri Paparan Sunda dan menghubungkan Sumatra, Borneo, dan Jawa pada puncak masa akhir zaman es sekitar 18.000 sampai 20.000 tahun lalu. Namun naiknya permukaan air laut pada saat gelombang es di kutub mencair, menaikan permukaan laut setinggi 16 meter dalam jangka waktu 300 tahun dan menenggelamkan sistem sungai purba tersebut dan sekaligus memisahkan wilayah Paparan sunda menjadi pulau-pulau.

Selama beberapa tahun terakhir penelitian Filogenik, Filogeografi, Paleontologi, Geologi, dan permodelan habitat terkait biogeogarfi Paparan Sunda telah meningkatkan pengetahuan kita secara lebih luas. Berdasarkan informasi tersebut saat ini kita dapat menganalisis bagaimana asal usul spesies di Paparan Sunda, penyebab endemisitasnya, dan pengaruh perubahan ilkim periode plestosen terhadap diversifikasi mereka. 

Paparan Sunda telah lama digambarkan sebagai hotspot biodiversity oleh seorang naturalis terkemuka yaitu Alfred Russel Wallace. Hutan di Paparan Sunda saat ini terbagi oleh laut. Tiga dataran terluas adalah Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Kalimantan, namun terdapat juga banyak pulau lain dengan berbagai ukuran termasuk Jawa. Fluktuasi iklim periode Pleistosen menyebabkan perubahan laut secara berulang-ulang yang mengakibatkan terjadinya koneksi periodik dataran melintasi dataran Paparan Sunda (Gambar 1). 

Selain terdapat banyak spesies endemik di hotspot biodiversity ini, banyak juga spesies yang tersebar luas di wilayah tersebut. Konektivitas Paparan Sunda yang terjadi selama masa Pleistosen menyebabkan adanya penyebaran spesies di berbagai wilayah Paparan Sunda. Penyebaran ini disertai adanya aliran genetik dari perkawinan yang mempengaruhi kedekatan hubungan kekerabatan tiap spesies. Kenaikan air laut secara masif yang terjadi kemudian menyebabkan adanya barrier geografi yang memisahkan populasi berbagai kelompok spesies pada beberapa pulau berbeda. Barrier yang membesar seiring waktu menyebabkan populasi antar pulau menjadi terisolasi satu sama lain. Akibatnya, perkawinan antar pulau tidak dapat terjadi. 

Selanjutnya, aliran gen dari masing-masing populasi antar pulau menjadi terhenti. Kondisi fisik dan habitat yang berbeda di tiap pulau menyebabkan terjadinya adaptasi oleh masing-masing populasi. Hal tersebut mungkin bukan hanya mempengaruhi variasi morfologi namun juga genetiknya. Akibatnya hubungan kekerabatan tiap populasi semakin bervariasi. Ilmu yang mempelajari terkait hubungan geografi serta kekerabatan spesies ini disebut Filogeografi.

Beberapa studi terkait filogegrafi spesies yang ada di Sundaland telah beberapa kali dilakukan. Salah satu contohnya pada aves atau burung. Terdapat beberapa pendapat mengenai pola keanekaragamannya saat ini. Pendapat pertama menunjukkan adanya sisa garis keturunan burung pada masa periode Eosen dengan kondisi iklim hangat dan basah. Keturunan tersebut selanjutnya berhasil bertahan melalui iklim ekstrem dingin dan kering pada periode Oligosen dan Pliosen di daerah hutan hujan Kalimantan Timur yang sudah ada selama 20-30 juta tahun terakhir. 

Pendapat kedua menunjukkan sebagian genus modern burung dari Asia Tenggara berkembang selama periode Miosen. Ketiga, hutan hujan Paparan Sunda dan burung-burung yang hidup di dalamnya terisolasi dari wilayah Asia Tenggara lainnya selama akhir periode Miosen dan Pliosen karena habitat musiman di Indocina selatan dan perbatasan laut, sehingga meningkatkan endemisme regional. Terakhir, munculnya glasiasi global pada periode Pleistosen menunjukan dinamika diversifikasi di Paparan Sunda. 

Peristiwa glasial awal menyebabkan Paparan Sunda bagian tengah daratan yang lebih rendah tenggelam sehingga membelah hutan dan  mendorong habitat burung berpindah ke bagian timur dan barat sekaligus memungkinkan spesies-spesies burung yang hidup pada habitat kering tersebar ke Jawa dari Indocina. Peristiwa glasial yang baru menghasilkan habitat yang lebih lembab di bagian tengah Paparan Sunda dan menyatukan kembali populasi hutan hujan yang sebelumnya terpisah. 

Dinamika periode glasial pada masa pleistosen ini kemungkinan bukan hanya terjadi dalam satu periode saja yang menghasilkan penyambungan dan pemisahan dataran Sunda, namun berlangsung lebih komoleks yang menghasilkan isolasi dan kolonisasi yang dipengaruhi oleh variasi ukuran populasi, perubahan tingkat aliran gen, dan perilaku spesies di dalamnya. Dalam semua periode peristiwa ini, Borneo memainkan peran penting dalam evolusi burung di wilayah hutan hujan dengan menyediakan habitat yang diperlukan untuk diversifikasi dan kelangsungan hidup yang panjang.  

Pegunungan dan dataran rendah di Borneo menjadi tempat perlindungan selama periode Oligosen, Pliosen, dan Pleistosen  dengan iklim yang kering dan lembab. Pegunungan Borneo mungkin juga merupakan pusat evolusi burung periode Miosen di Paparan Sunda. Pada periode Miosen, hutan hujan dataran rendah membentang luas di Asia Selatan. Sementara itu, kondisi geografi pegunungan Borneo berada di posisi yang lebih tinggi pada masa tersebut. Berbeda dengan Borneo, Sumatra atau Jawa tidak memiliki wilayah dataran yang luas hingga 10 atau 5 juta tahun yang lalu, ketika suhu hangat pada periode Miosen mulai berkurang. 

Sebagian besar populasi spesies di Semenanjung Malaya dan Sumatera menunjukkan hubungan kekerabatan yang dekat dengan populasi di Borneo. Meski begitu, laju terbentuknya variasi genetik antar spesies di Borneo sangat bervariasi. Populasi burung di Borneo memiliki banyak garis keturunan yang sangat berbeda dari banyak spesies dibandingkan keragaman di dalam spesiesnya. Sementara itu, populasi beberapa jenis burung di Jawa memiliki perbedaan yang paling besar jika dibandingkan dengan populasi burung di Paparan Sunda.  

Penulis :

1. Syahraz Fathin Aminuddin

2. Muhammad Dhiya'ur Rachman

Reference:

Sheldon FH, Lim HC, Moyle RG. Return to the Malay Archipelago: the biogeography of Sundaic rainforest birds. J Ornithol 156 (Suppl 1). 91-113 (2015). https://doi.org/10.1007/s10336-015-1188-3

Leonard JA, Robert-Jan DT, Melissa TRH, Violeta MF, Richard T, Jesus EM. 2015. Phylogeography of vertebrates on the Sunda Shelf: a multi-species comparison. Journal of Biogeography. 42, 871-879.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun