dyadanrasa.blogspot.com
Assa meyakinkanku, bahwa cinta bisa tumbuh sejalan dengan waktu. Beruntung bagi seseorang yang menggapai cinta karena menyadari bahwa cinta sesungguhnya adalah karena ia belajar untuk jatuh cinta.
>>>>>>
Pukul 1 dini hari, Assa masih sibuk dengan berlembar lembar kertas di sekelilingnya, ia biarkan kamarnya berhias dengan tumpukan buku literatur yang letaknya sama sekali tak teratur. Sesekali ia menggigit jari, sembari mengerutkan dahi. Otot leher semakin menegang. Ia hempaskan tubuhnya ke sandaran bangku berukir kayu jati, sambil menghela nafas panjang. Hmmmmm.....Terpejam.....belum ada rasa kantuk kala itu, tiba tiba muncul ide mengirim seuntai kalimat pada Rendra.
“Udah tidur cin? Balasanmu bak secangkir kopi untukku.”
Tak selang berapa lama, terlihat kerlap kerlip, lampu indikator hanfon Assa
“Udah tidur say, but I am awake for you”
Begitulah Rendra, ia selalu ada untuk Assa kapanpun Assa mengharapkannya.
“You need a rest, I am worry you will sick Dear” susul sms Rendra
“Nooo, I can’t. Its so urgent, I should finish it today”
“Sayang, dari pagi kamu belum beristirahat sama sekali, berbaringlah sejenak dan pejamkan mata, pukul setengah empat aku akan membangunkanmu, ok”
“Hhhmmmm...I will cin....”
>>>>>>
Assa begitu tergesa gesa, setengah berlari menuju motor maticnya di halaman depan.
“Buku, buku,,,,,ya buku” mulutnya berbicara tanpa lawan bicara, ia kembali membalikkan badan dan memasuki rumah mengambil buku yang ia letakkan di meja tengah.
“Hati- hati ya nak” pesan ibu untuk yang kedua kalinya
“Ya bu” sembari berlari dengan mata melirik jam yang melingkar di tangan kiri
Assa menstater motornya, “Hanfon, mana hanfon...”
Tubuh mungilnya kembali turun dari sepeda motor, kali ini lari Assa lebih cepat dari tadi.
“Assa pelan pelan ya nak” pesan ketiga ibu di pagi ini
“Ya bu, Assa berangkat”
Pagi ini jam 8 tepat, Assa harus sudah sampai di kampus. Duduk tenang dan konsentrasi, menghadapi ujian Kewirausahaan dikelilingi Bu Keksi, dosen tergalak di kampus ini. Telat satu menit saja, tak ada ampun untuk bisa mengikuti ujian. Bu Keksi akan duduk di depan dengan wajah sangarnya 10 menit sebelum jadwal ujian. Seperti anak SMP saja, tapi itulah gaya mengajar Bu Keksi. Target Assa adalah nilai A untuk mata kuliah ini. Tapi semua hanya akan menjadi angan angan bila pagi ini Assa terlambat datang.
Susana kendaraan begitu ramai, padat mengisi seluruh lebar jalan, seolah mereka tertata rapi dalam sebuah barisan. Assa mulai panik, berulang ia angkat tangan kirinya untuk mengetahui berapa waktu yang tersisa. Jalanan begitu rapat, semua kendaraan hanya bisa merayap. Taat tiit taat tiit, klakson pengemudi mulai menjadi irama hip hop pagi ini. Beberapa polisi terlihat sibuk di depan. Akhirnya Assa bisa lega, kendaraan di depannya terlihat mulai bergerak meski hanya dalam hitungan langkah kaki.
“Haaah, lima belas menit lagi...”
Kepanikan Assa tiba-tiba terlupakan sejenak, ketika mata Assa tertuju pada dua buah motor yang penyot. Cucuran darah segar masih utuh di jalan. Beberapa polisi masih di tempat kejadian. Akhirnya Assa mengerti, inilah penyebab kemacetan jalan di pagi ini.
Tanpa putus asa, Assa tancap gas motornya. Meski ia tahu butuh waktu 15 menit lagi untuk sampai di kampus. Berharap dosen senior berkonde, Bu Keksi juga ikut dalam kemacetan.
“Darrrrrr..”
Assa terkejut, tiba tiba motornya berhenti dengan hentakan, diiringi suara rem yang mendesis. Secara reflek ia tarik rem depan. Assa kemudian tersadar, ia menabrak sebuah mobil hitam. Jantung Assa berdetak kencang, kepanikan semakin menjadi. Kenapa ini bisa terjadi, apa karena terlalu konsentrasi, atau justru karena pikiran kacau Assa pagi ini. Entahlah.....
Assa tak segera turun dari motornya, ia masih saja duduk dengan badan gemetaran. Dua orang laki laki menghampiri, dan menanyakan keadaan Assa. Satu menuntunnya untuk duduk di pinggir jalan, satu orang lagi menuntun sepeda motor Assa. Tak selang berapa lama, pintu mobil depan kanan terbuka, seorang laki laki berdasi turun dan mendekati Assa, tanpa melihat dulu bagaimana keadaan mobil miliknya.
“Mbak, tidak apa-apa?” ia bertanya penuh kepanikan
Assa hanya terdiam dengan mulut membuka dan tatapan kosong. Jantungnya berdetak kencang, keringat mengucur deras, bibirnya pucat seolah lipstik maroon yang ia pulaskan tak tersisa sama sekali.
Laki laki itu kembali ke mobil, kali ini ia membawakan sebotol air minum.
“Minum dulu mbak. Istighfar ya...”
“Astaghfirullahhaladzim....” Assa baru mampu mengeluarkan suara, seolah ia telah sadar dengan semua yang terjadi.
“e e e e...maafkan saya pak, saya menabrak mobil bapak sampai rusak”
“Tidak apa apa mba, yang penting Mbaknya selamat”
Assa melihat jam tangannya, “lima menit lagi” , segera ia bangkit dari duduknya.
“Eemm, maaf saya harus segera ke kampus’
“Oh ya silahkan, hati hati mbak”
Assa hidupkan motor, sebelum menarik gas tiba tiba entahdari arah mana, ia meminta nomor hanfone laki laki berdasi itu.
>>>>>
Dengan nafas terengal, Assa berlari menuju ruang F1.
Sesuai dugaannya, suasana ruang itu begitu hening, hanya ada suara tak tok tak tok, high heell sepatu bu Keksi. Ujian tengah berlangsung, Assa berharap keberuntungan masih memihaknya. Bu Keksi memelas dirinya dan memberi kesempatan untuk mengikuti ujian.
“Apapun alasannya, tidak ada ujian bagi yang terlambat datang!!”
Kalimat tegas sekaligus judes Bu Keksi membuat tubuh Assa terpungkur, pagi ini betul betul pagi sial untuk Assa. Dengan tubuh gontai ia langkahkan kaki menuju lobi depan, angan angan meraih IP tinggi semester ini musnah sudah. Kegagalan di satu mata kuliah membuat target Assa lulus 8 semester tak bisa diwujudkan.
Duduk dan termenung di kursi dekat taman adalah satu satunya hal yang bisa Assa lakukan. Tak terasa, bulir bening mengalir di pipi Assa. Sesengguk isakan mewakili kekecewaan jiwanya. Teringat ketika ayah masih ada, Assa berjanji bisa menyelesaikan studi empat tahun saja. Tanpa terasa, hampir satu jam ia duduk sendiri. Tiba tiba, seserpih angin melintaskan kejadian pagi tadi. Assa mengambil hanfon disakunya. Jemari lentiknya mulai bergerak diatas keypad.
“Assalamualaikum pak, saya Assa yang menabrak mobil bapak tadi pagi. Posisi bapak sekarang dimana?”
Assa menghela nafas panjang, sambil berkata “Astaghfirullahhaladzim, terima kasih Ya Rabb, dari kejadian tadi pagi Kau masih memberiku waktu untuk bisa menatap alammu”
Rasa bersyukur Assa mampu melumatkan sedikit kejadian di pagi ini. Meski raut kekecewaan masih terbias dari wajah manisnya.
“Waalaikumsalam, saya di bengkel Sudirman”
Balasan sms itu membawa Assa bangkit dan bergegas ke jalan Sudirman, posisi laki laki pemilik mobil itu berada saat ini.
...........
Di tepi pantai itu, mereka sering menghabiskan waktu berdua. Di bawah langit yang sama, mereka duduk dan menikmati sederet jingga. Pertemuan dengan canda, tatapan Rendra yang penuh cinta, bertukar cerita, hingga memecahkan masalah bersama. Sebelum malam benar-benar datang, mata mereka jauh menatap deru ombak yang saling mengejar, membawa bias bias senja hingga sang bayu kembali ke peraduan. Disanalah mereka berdua merangkai mimpi mimpi ke depan.
“Ibu, harapanmu adalah perintah untukku” ucap Assa sambil tersenyum, meski matanya terlihat berkaca. Sederet kata yang keluar dari mulut Assa, meski ia sangat berat mengucapkan kata kata itu untuk kali ini. Ia menyadari kalimat itu, adalah awal luka yang begitu dalam bagi pribadinya. Ia menyadari mimpi mimpi yang telah ia rajut akan musnah dalam sekejap. Namun kepatuhan Assa memberi sedikit kekuatan untuk meyakinkan Ibu apapun akan ia lakukan untuk dapat membahagiakannya.
Di senja itu......
“Rendra, maafkan aku...ternyata semua asa kita bagaikan mengukir di atas air” isakan Assa tak mampu disembunyikan. Assa tertunduk, tak mampu menatap wajah kekasih yang selama ini tatapannya selalu ia rindukan.
“Assa, aku sangat bahagia bisa mengenalmu. Dan aku teramat bahagia ternyata gadis yang sangat kucinta adalah seorang anak yang begitu patuh pada orang tuanya.”
“Aku ikhlas Assa.....” Rendra tak mampu lagi meneruskan kata katanya, ia dekap Assa.
>>>>>>>>
Seribu lima puluh undangan telah tersebar, mereka akan memenuhi gedung ini. Bunga lili putihmenjadi hiasan yang begitu indah mengelilingi area pelaminan. Gubug gubug mungil tertata rapi sebagai peneduh penganan tradisional tersaji. Perempuan-perempuan cantik berbaju bak petani akan menjadi pramusaji. Taman dan suasana pedesaan menjadi pilihan berlangsungnya stand party pesta pernikahan. Sebuah kemewahan berbalut kesederhanan....satu impian Assa yang ingin kuwujudkan.
“Dari mana kau tahu konsep ini?” Nada Assa penuh tanya
“Rendra menyampaikannya padaku....beberapa hari kami sempat bertemu. Maafkan aku”
Kulihat bulir bening jatuh dari sudut mata Assa. Sekeras apapun, ia tak mampu menyembunyikan pedih nya didepanku. Meski tanpa kata-kata.
Awalnya, aku bukanlah siapa siapa bagi Assa. Namaku bukanlah deretan huruf yang ia tata rapi di hatinya. Keberadaanku tak terdeteksi sama sekali olehnya. Namun, aku tahu kini Assa harus memaksa diri untuk mengukir namaku dalam jiwa cantiknya. Sempat aku tak percaya, bagaimana mungkin Assa akan menerimaku dan Melati, putri kecilku menjadi bagianhidupnya. Aku mengerti betapa Assa benar benar berjuang keras untuk menutupi kesedihannya di depan Ibu. Aku juga mengerti betapa berat usaha Assa untuk meyakinkanku bahwa ia bahagia bersamaku.
Tiga pekan sudah Assa lebih suka menyendiri. Aku memahami Assa begitu kehilangan sosok Rendra yang sudah selama 3 tahun menjadi belahan jiwa sekaligus pengganti ayah dalam hidupnya. Cintanya begitu besar pada Rendra, terlihat betapa ia syok ketika mendengar kabar di sore itu. Tubunya lemas dan akhirnya Assa terjatuh pingsan. Satu pekan setelah pernikahan kami, mobil Rendra tertabrak dari belakang. Bagian mobil yang sama tertabrak oleh Assa di awal pertemuan. Namun kali ini nyawa Rendra tak bisa diselamatkan.
.>>>>>>
Ini adalah hari ketiga aku mengantar Assa di awalsenja. Kali ini kuberanikan diri mendekati Assa yang hanya duduk terdiam. Matanya jauh menatap ke depan, menatap ombak yang saling berkejaran. Kilau jingga terlihat di tiap deburan. Kami hanya terdiam.
“Rendra, inilah skenario Tuhan, jawaban dari pertanyaanku kenapa aku tak bisa membantah ibu dan kenapa aku tak memperjuangkanmu”
“Rendra, kau beruntung Assa begitu tulus mencintaimu dan untuk kedua kalinya ia harus kehilanganmu”
..........
“Rendra, aku ikhlas melepasmu. Karena kini kau berada dalam lautan cintaNya yang jauh lebih indah dari cintaku”
“Rendra, sampai kapanpun cintamu akan terus hidup di hati Assa, berbahagialah kau disana”
...........
Kami memang hanya terdiam tapi ada dialog dalam hati kami. Seketika Assa menoleh kearahku, kulihat matanya berkaca. Kami saling menatap namun tetap diam.
“Rendra ijinkan aku belajar mencintainya”
“Rendra ijinkanku menyayangi Assa”
............
Assa sandarkan kepalanya di bahuku. Kugenggam erat tangannya. Kami hanya duduk terdiam menunggu langit benar benar menjadi malam.
>>>>> The End>>>>>>>
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H