Jika bobroknya penegakan hukum di Indonesia dicarikan sebabnya, biasanya sering dibahas kesalahan pada praktiknya.
Hakim menerima suap: praktik hukum
Pengacara menyogok: praktik hukum
Polisi minta disuap: praktik hukum
Namun, terkadang saya bertanya, apakah sistem hukum yang kita pakai sudah benar? Walaupun tidak belajar hukum di pendidikan formal, terkadang di dalam hati  muncul pertanyaan mendasar di bidang hukum. Misalnya:
Mengapa ada pengacara mahal dan pengacara murah?
Apakah pintar tidaknya jaksa dan pengacara berpengaruh kepada keadilan? Bagaimana seharusnya?
Jika pintar dan tidaknya  jaksa dan pengacara tidak berpengaruh kepada keadilan, mengapa mereka ada?
A dan B adalah kasus yang sama, namun di kasus A ada pengacara cerdas, dan di kasus B ada pengacara "biasa", apakah hakim bisa memberikan vonis yang  sama?
Lebih mudah mana, lulusan Sarjana Hukum, diseleksi menjadi hakim, kemudian disuruh bisa menjadi hakim yang bermoral, atau memilih orang bermoral, diseleksi menjadi hakim, kemudian dididik menjadi hakim dan belajar teori hukum?
Apakah cukup hanya ada hakim saja di dalam sidang pengadilan. Orang yang membutuhkan keadilan cukup datang, curhat dengan bahasanya (bahasa awam, bukan bahasa hukum), kemudian hakimlah yang mencarikan dan meneliti dengan logika hukum.