COP 29 resmi dibuka hari ini di Baku, Azerbaijan. Dengan lebih dari 100 pemimpin dunia hadir, konferensi ini bertujuan mempercepat implementasi Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5C. Namun, berita besar dunia turut membayangi konferensi ini: Donald Trump terpilih kembali sebagai Presiden AS. Langkah ini membawa dampak besar pada dinamika global, termasuk di Indonesia, yang menjadi salah satu negara paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Selama masa jabatan pertamanya (2017-2021), Trump menarik AS keluar dari Perjanjian Paris, membatalkan lebih dari 100 peraturan lingkungan, dan memprioritaskan eksploitasi bahan bakar fosil. Ia menyebut perubahan iklim sebagai "hoaks" dan berkomitmen untuk menghapus subsidi energi terbarukan serta membatalkan kebijakan hijau seperti Inflation Reduction Act (IRA) yang diberlakukan Presiden Biden. Dalam kampanye terbarunya, Trump menegaskan akan memprioritaskan pengeboran minyak di wilayah sensitif seperti Alaska dan mempercepat ekspor gas alam cair.
Langkah ini memperkuat posisi AS sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar, yakni sekitar 15% dari emisi global. Kebijakan semacam ini tidak hanya menghambat transisi energi domestik tetapi juga menurunkan tekanan diplomatik kepada negara-negara lain untuk memenuhi target iklim mereka.
Trump kembali memimpin di saat dunia masih berjuang memenuhi komitmen Perjanjian Paris. Indonesia, yang memiliki target mengurangi emisi hingga 43,2% dengan bantuan internasional pada 2030, sangat bergantung pada kemitraan global. Kebijakan Trump yang anti-pendanaan hijau dapat merusak mekanisme climate finance global yang esensial bagi negara berkembang seperti Indonesia.
Ketidakpastian ini mengancam kolaborasi internasional. Seperti disampaikan oleh Michai Robertson dari AOSIS (Aliansi Negara-negara Pulau Kecil), "Tanpa dukungan AS, kesenjangan pendanaan akan membesar, mempersulit negara-negara rentan untuk bertahan hidup di tengah krisis iklim"
Sebagai salah satu penghasil emisi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia menghadapi dilema besar. Di satu sisi, negara ini perlu menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan transisi energi hijau. Namun, realitasnya, sektor energi di Indonesia masih sangat tergantung pada batu bara, yang menyumbang sekitar 60% dari bauran energi nasional. Hal ini bertolak belakang dengan komitmen iklim global.
Trump yang anti-energi hijau berpotensi mengurangi tekanan internasional terhadap negara-negara seperti Indonesia untuk meninggalkan batu bara. Ini dapat memberikan ruang bagi Indonesia untuk menunda implementasi kebijakan transisi energi. Padahal, perubahan iklim sudah membawa dampak nyata: naiknya permukaan laut mengancam jutaan penduduk pesisir, termasuk di Jakarta yang diproyeksikan bisa tenggelam pada 2050.
Namun, ada harapan dalam inovasi domestik. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan program transisi energi yang ambisius, seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), yang dijanjikan akan membantu transisi dari batu bara ke energi terbarukan dengan dukungan dana hingga USD 20 miliar. Tapi, tanpa kepemimpinan global yang konsisten, implementasi inisiatif ini menjadi lebih sulit.
Pemilihan Trump mencerminkan tantangan yang lebih besar dalam politik iklim internasional. Ketergantungan dunia pada kepemimpinan AS menimbulkan kerentanan saat negara tersebut mundur dari komitmen global. Hal ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi negara-negara seperti Indonesia untuk lebih mandiri dalam menghadapi perubahan iklim.
Meskipun demikian, pemilihan Trump juga dapat dilihat sebagai peluang bagi negara-negara seperti Indonesia untuk memimpin inisiatif hijau di tingkat regional. ASEAN, misalnya, dapat menjadi platform bagi negara-negara anggota untuk berbagi teknologi, pendanaan, dan pengalaman dalam transisi energi.