Perubahan iklim adalah tantangan global yang mendesak, memengaruhi ekosistem, ekonomi, dan kehidupan manusia di seluruh dunia. Setiap tahun, negara-negara berkumpul dalam konferensi tahunan Conference of the Parties (COP) untuk membahas strategi mengatasi krisis iklim.
COP28, yang diadakan di Dubai pada tahun 2023, adalah momen penting bagi negara-negara untuk menegaskan komitmen mereka dalam mengurangi emisi karbon dan menangani dampak perubahan iklim.
Namun, bagi Indonesia, pertanyaan yang penting adalah: apa yang bisa kita pelajari dari COP28, dan bagaimana kita harus melangkah ke depan?
1. Komitmen Global terhadap Emisi Nol Bersih
Salah satu topik utama di COP28 adalah komitmen global untuk mencapai net-zero emissions atau emisi nol bersih. Di Dubai, banyak negara menegaskan kembali target mereka untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.
Namun, Indonesia, sebagai salah satu negara dengan tingkat emisi yang signifikan, baru menetapkan target mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060. Menurut laporan Climate Action Tracker, Indonesia masih dikategorikan sebagai negara dengan target "sangat tidak memadai" dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca.
Target ini menjadi kritis karena Indonesia adalah salah satu negara penyumbang emisi karbon terbesar di dunia, dengan emisi tahunan sebesar 2,2 gigaton CO2 pada 2021, sebagaimana dilaporkan oleh World Bank. Angka ini menempatkan Indonesia di peringkat 8 dalam daftar negara dengan emisi karbon tertinggi. Salah satu kontributor utama adalah deforestasi, kebakaran hutan, dan penggunaan bahan bakar fosil yang masif.
Di COP28, tekanan bagi Indonesia untuk mempercepat transisi ke energi bersih semakin kuat. Jika Indonesia ingin berperan dalam menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5C, sebagaimana yang disepakati dalam Paris Agreement, kita harus mempertimbangkan mempercepat target emisi nol bersih. Berdasarkan penelitian UNEP, dunia akan mengalami kenaikan suhu 2,7C pada akhir abad ini jika tidak ada aksi yang lebih ambisius.
2. Transisi Energi: Mengikuti Jejak Dubai
Dubai, sebagai tuan rumah COP28, memberikan contoh yang menarik dalam hal transisi energi. Meski negara ini adalah penghasil minyak besar, mereka telah berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan energi terbarukan.
Dubai Clean Energy Strategy menargetkan 75% energi mereka berasal dari sumber terbarukan pada 2050. Ini memberikan pesan bahwa bahkan negara yang bergantung pada bahan bakar fosil bisa beralih ke energi hijau tanpa merugikan ekonomi.
Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah menargetkan bahwa 23% energi Indonesia harus berasal dari energi terbarukan pada 2025. Namun, hingga tahun 2022, baru sekitar 14% energi kita berasal dari sumber terbarukan, menurut data Kementerian ESDM. Tantangan ini diperparah dengan ketergantungan Indonesia pada batu bara, yang menyumbang 60% dari total pembangkitan listrik nasional.
Salah satu langkah penting yang bisa diambil adalah meningkatkan investasi pada tenaga surya dan panas bumi. Potensi tenaga surya di Indonesia sangat besar, sekitar 207,8 gigawatt, menurut data Institute for Essential Services Reform (IESR).