[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Rapat Paripurna DPR/ Admin (Kompas.com)"][/caption]
Saya masih ingat betul ketika tahun kemarin Wapres kita Prof. Boediono berkata : “Rupiah tidak melemah, tapi dolar yang menguat.”
Kata kata beliau ini betul-betul mengajari saya secara pribadi dan mungkin semua orang pada umumnya, bahwa jika kelak anda diberi kesempatan menjadi seorang Profesor memang habitatnya harusnya di ranah akademik, bukan di ranah praktisi. Bayangkan saja apa mesti kita memberi tau Prof. Boediono ini soal ekonomi, orang dulu kalau kuliah ekonomi kita belajar juga pakai bukunya beliau. Dari perkataan Beliau tersebut saya hanya bisa menyimpulkan bahwa : 1. Beliau saat itu sedang bercanda 2. Beliau tidak sengaja berkata demikian 3. Beliau sudah lupa ekonomi karena terlalu banyak belajar politik 4. Beliau sadar berkata demikian karena ada politik akhirnya berusaha membodohi rakyatnya Dari semua kemungkinan tersebut, tentu saja saya berharap beliau berkata demikian karena alasan no. 1 dan 2, karena beliau ini bisa di sebut salah satu Ilmuwan Ilmu Ekonomi yang dimiliki Indonesia. Itu hanya salah satu contoh dan masih banyak sekali permasalahan yang timbul ketka para para pesohor Akademisi ketika memasuki dunia birokrasi dan politik, yah seperti juga beberapa kasus yang barusan terjadi di Kementrian ESDM Dalam permasalahan ini saya sendiri kurang sependapat kalau Akademisi menjadi birokrat ataupun jadi politisi. memang pada umunya permasalahan birokrasi di Indonesia ini kekurangan tenaga SDM yang berkuailitas. Sehingga yang terjadi banyak sekali Tokoh Akademisi yang 'dibajak' menjadi politisi. dan yang sangat disayangkan para Akademisi ini selalu masuk ke ranah praktisi di usia produktif-nya, dampaknya penelitian mereka terhadap bidang mereka pun terhenti ketika mereka masuk dunia birokrasi tersebut. Lihat saja Pak Rubiandini, sangat disayangkan sekali kan di usia beliau yang tergolong 'Golden Age', beliau malah harus berurusan dengan hukum. Di luar Negri itu Profesor dengan usia 85 tahun masih melakukan penelitian terhadap bidangnya, sedangkan di Indonesia usia 45-50 sudah masuk dunia politik dan tidak berkarya lagi, ironis sekali kan. Memang sistem politik kita kurang baik karena menggunakan sistem proporsional terbuka, dengan memberi peluang bagi para caleg yang hanya mengandalkan popularitas untuk menjadi anggota Legislatif, sementara kader partai yang mempunyai kompetensi terabaikan karena kalah bersaing dalam meraih suara, sehingga yang seringkali muncul adalah para birokrat yang tidak berkompeten dibidangnya, Inilah yang kemudian menjadikan alasan Akademisi ini untuk turun gunung memikirkan dan bertindak untuk rakyat dalam pengertian yang sesungguhnya atau secara langsung, dan parahnya mereka ketika masuk ranah praktisi tersebut, mereka tidak mempunyai stabilitas politik sehingga bisa diibaratkan seperti layang-layang yang terombang-ambing oleh angin tidak jelas tujuanya, sehingga para kaum Intelektual ini tidak mampu bertahan pada idealismenya atau terlarut dengan realitas yang ada. Permasalahan ini sebenarnya ada di titik penyambung saja, Ketika seorang Akademisi hanya sebagai pengamat dan berkontribusi dalam mengajukan ide atau riset, dalam kenyataanya para Akademisi ini tidak mempunyai power dan tidak mempunyai media untuk mengimplementasikan karya intelektualnya, karena implementasi kebijakan ada di ranah birokrat. Nah di sisi lain banyak birokrat yang tidak berani membuat breakthrough, atau malah birokrat itu sendiri tidak berkompeten terhadap bidangnya itu. Bukankah ini hanyalah missing link antara kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan dengan dunia nyata yang seharusnya bisa dirubah, Akan sangat sayang sekali kalau hasil temuan riset hanya dipaparkan atau ditulis saja dalam lembaran karya ilmiah oleh para Akademisi, tetapi jarang sekali diaplikasikan dalam kebijakan untuk merubah kehidupan riil di masyarakat. Disini maksud saya adalah kita sadar bahwa para politisi dan birokrat ini hanya berbekal 'kekuasaan' yang cenderung memproteksi kepentingan mereka dengan mengorbankan kepentingan masyarakat. Mereka sering menggunakan pendekatan 'harus ini', bukan pada diskusi yang konstruktif. Dalam keadaan itu para Intelektual kampus bisa mendampingi para birokrat dalam tempo yg agak lama dan sifatnya continue untuk membantu menyusun dan mengeksekusi 1 atau 2 bidang kebijakan publik tertentu, mendampingi para birokrat untuk membuat policy research dan juga membangun sistem kerja yg baik. Tidak hanya yang di skala nasional, bisa diaplikasikan juga mulai di level daerah terkecil. Namun memang ada permasalahan disini, seperti setau saya budget pemda tidak terlalu besar dan cenderung kaku (please recall sistem budgeting).Tetapi kalau buat kebaikan kenapa tidak mereformasi birokrasi tersebut. Dari implementasi tersebut, birokrat bisa mendapatkan bantuan pemikiran dari riset para Akademsisi, sedangkan Para Akademsisi tidak perlu masuk ranah eksekusi dan bisa terus melakukan riset bidang pengetahuanya untuk kemajuan bangsa. Ini hanyalah sebuah harapan, dan semoga kedepanya semakin baik birokrasi di Indonesia ini. Dhita Arinanda PM 21 Maret 2014
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI