Dewasa ini pemahaman masyarakat Imdonesia terhadap literasi keuangan masih sangatlah rendah, masih banyak rakyat di negeri ini yang tidak terjangkau oleh lembaga jasa keuangan. Hasilnya pun terlihat dari masih banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang tidak paham terhadap produk industri keuangan, Ini juga menjadi bukti ketidak berhasilan perbankan nasional memberikan pemahaman produk keuangan terhadap masyarakat. Hal ini sangat dikhawatirkan, mengingat 2015 Indonesia akan memasuki fase Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), jika ini dibiarkan maka jangan berharap apalagi bermimpi bahwa kedepanya perbankan nasional akan mampu berkompetisi di tingkat ASEAN.
Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umum IBI (Ikatan Bankir Indonesia), Zulkifli Zaini di harian Bisnis, Kamis 8 Mei 2014, bahwa “Setengah dari penduduk Indonesia belum mendapatkan pelayanan sektor keuangan. Inilah membuat literasi keuangan Indonesia sangat tertinggal jauh dibanding negara tetangga seperti Malaysia. Sedangkan, literasi keuangan baru mencapai sekitar 21,8% dari total penduduk Indonesia. Nasabah perbankan saja baru 25% yang paham tentang literasi keuangan. Karena tingkat pemahaman nasabah di Indonesia tentang produk perbankan relatif rendah. Maka dari itu, rendahnya keterjangkauan dan literasi menjadi perhatian banyak negara, termasuk negara maju “
Hal inilah yang akan menjadi pe-er berat bagi pemerintah periode selanjutnya, dimana pemerintah harus segera “merevolusi mental” masyarakat Indonesia agar lebih memahami sektor keuangan yang ada di Indonesia untuk mengurangi saving gap atau rasio bankable masyarakat kita yang sangat rendah. Padahal Indonesia sebagai negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi dengan indeks tahunan yang cukup baik, iklim investasi di Indonesia juga turut mengalami tren yang positif. Pangsa pasar domestik dan internasional pun ikut merealisasikan investasinya di Indonesia. Investasi ini memegang peranan yang penting dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena investasi secara langsung akan berdampak bagi perekonomian nasional, investasi juga dapat mendorong peningkatan baik di sisi produksi maupun sisi konsumsi.
Namun sayangnya, 70% dari dana investasi itu adalah dana asing bukan dana lokal masyarakat Indonesia sendiri, semantara kisaran 60 juta-70 juta penduduk Indonesia masih bankable atau tidak tahu-menahu mengenai investasi. Padahal, saat ini Indonesia sudah mendapatkan peringkat Investment Grade atau layak investasi dari berbagai lembaga pemeringkat utang seperti Moody’s, Fitch Ratings dan S&P. Tetapi masih banyak masyarakat Indonesia yang belum sadar akan konsep Wealth Management dan pentingnya mengelola keuangan serta keuntungan yang dapat diperoleh dari investasi ini.
Kita bisa melihat China, bagaimana pemerintah mereka mengedukasi masyarakatnya untuk lebih mengenal dunia keuangan, hampir lebih dari 50% penduduk China sudah banyak yang mengalokasikan dananya ke produk-produk keuangan (investasi), mulai dari saham, obligasi, dingga reksadana. Lihat juga bagaimana Amerika, dimana hampir seluruh masyarakatnya yang telah mengerti berinvestasi di Pasar Modal. Sedangkan penduduk Indonesia sendiri hanya kisaran 0,2% yang memahami pasar modal dan saham.
Budaya masyarakat Indonesia dewasa ini lebih cenderung memiliki jiwa yang konsumtif daripada yang memiliki jiwa investasi. Hal ini terlihat sangat jelas, seperti contoh mudahnya di keadaan sehari hari dapat kita lihat dari fenomena-fenomena di sekitar kita,seperti kita lebih suka untuk up to date terhadap gadget baru semisal BB/Iphone, dll, dengan harga lebih dari 5 juta rupiah,dan itu hampir menjadi trend atau gaya hidup seluruh lapisan masyarakat kita, tidak peduli dari golongan menengah atau bawah, mereka akan buru-buru membeli produk baru tersebut tanpa memikirkan berapa uang yang harus dikeluarkan, ataupun berapa jumlah uang yang harus di kredit. Padahal kita semua memahami bahwa barang-barang tersebut 3 atau 4 bulan kemudian harga jualnya pasti akan turun jauh dari harga belinya.
Tetapi hal berbeda akan terjadi ketika kita ditawari investasi, mayoritas dari kita (masyarakat Indonesia tersebut) akan berfikir puluhan kali dan bahkan menolak jika ditawarkan produk-produk investasi tersebut. Padahal dengan jumlah uang yang kita keluarkan untuk hanya sekedar mengikuti trend, seperti membeli gadget lebih dari 5 juta tadi, kita sudah bisa kita gunakan untuk berinvestasi, sehingga 2 atau 3 bulan kemudian nilai uang kita bisa lebih dari 5jt.
Sekali lagi kita bisa melihat “trend” di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang bahkan Eropa, penjualan gadget disana sangat minim, padahal mereka merupakan negara pembuat produk gadget tersebut. Sedangkan kita malah hanya menjadi negara konsumen terbesar dari barang-barang tersebut, parahnya kita memperoleh barang-barang tersebut juga dari impor. Hal itu terjadi karena masyarakat di negara-negara Eropa, Jepang dan Amerika tidak begitu memiliki jiwa konsumtif, tetapi mereka lebih mengutamakan Investasi atau menabung untuk masa depan mereka.
Kebudayaan dan paradigma seperti inilah yang membuat orang kaya di Indonesia akan semakin kaya dan yang miskin tetap dalam kondisinya yang miskin. Karena mereka yang kaya dan memahami investasi akan mendidik anak-anak nya sejak dini untuk berinvestasi, tetapi masyarakat menengah kebawah akan lebih cenderung konsumtif. Terkadang kita selalu bertanya tanpa mau menyadari lebih, mengapa orang kaya semakin kaya padahal apa sih pekerjaan mereka ? mereka hanya nongkrong nongkrong di cafe, mall, mail golf, berlibur keliling dunia tetapi mengapa mereka bisa kaya ? jawabannya hanya satu , ya karena memang mereka sadar dan paham terhadap Investasi tersebut.
Indonesia ini sudah masuk fase investasi, faktanya banyak sekali orang yang baru kaya di Indonesia tetapi belum mau dan mengenal dunia keuangan secara jelas. Pemerintah bisa mulai “menggalakan” edukasi investasi di masyarakat, dan mulai mengkaji kembali aturan regulasi pasar keuangan, seperti ‘fine tuning‘ jangan terlalu ketat yang membuat industri keuangan tidak bekerja, akan tetapi juga jangan terlalu longgar yang membuat industri keuangan menjadi liar, Fine Tuning ini bisa diatur dan dimulai dengan tingkat edukasi di sisi konsumen dan etika di sisi produsen. Edukasi investasi ini adalah tugas utama otoritas negara, etika itu tidak sepenuhnya dikembalikan ke asosiasinya (etik) tapi ada batasan fungsi antara analisa, sales, trading, dan pengelolaan, yang terkenal dengan istilah ‘chinesse firewall‘ , jadi disitu memperjelas fungsi yang berjalan dan pemerintah bisa memberi rasa aman terhadap investasi atau dunia keuangan.
Di sinilah letak permasalahan sebenarnya, ketika pemerintah bisa mengarahkan masyarakat Indonesia untuk lebih mengenal dunia investasi, maka paradigma “untuk tumbuh kita memerlukan dana asing” itu akan berkurang dan bahkan akan hilang dengan sendirinya. Seperti dalam teori ilmu strategi bahwa, Dunia itu akan berubah secara dinamis (Competitive Dynamics), sedangkan perubahan yang dinamis itu terjadi karena ada pihak yang mau berstrategi, yaitu mau melakukan aksi dan reaksi, Negara yang aktif berinisiatif mengambil aksi akan berpeluang besar merubah keadaan menjadi dinamis ke arah yang dia mau, akan tetapi ada juga yang menempuh strategi yang reaktif atas aksi dari lawannya, sehingga negara tersebut pada kenyataanya tidak akan pernah menjadi dinamis.