[caption id="attachment_334000" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/ Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Berdasarkan data yang diambil dari Bloomberg, Hutang Luar Negri Indonesia dalam bulan Januari dan Februari 2014 sudah bertambah 7,2 miliar US Dolar atau sekitar Rp 82 triliun. Rincianya pemerintah dengan menerbitkan Global Bond sebesar 4 milliar US Dolar, dan hutang swasta sebesar 3,2 milliar US Dollar. Global Bond yang diterbitkan pemerintah dengan nomor seri R10144 dengan yield 5,95% (tenor 10 tahun) dan R10124 dengan yield 3,9 % (tenor 30 tahun).
Apa yang membuat pemerintah berhutang ? Dengan keadaan defisit current account seperti ini, maka dapat dikatakan pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah juga berasal dari hutang, Oleh karena itu penerbitan Gobal Bond tersebut bisa dibaca pemerintah mendapat tekanan budget, dan keadaan cadangan devisa yang tipis, sedangkan keadaan pasar finansial tidak kondusif. Tanpa kita sadari, Indonesia dari hari ke hari semakin mengandalakan hutang dalam kebijakanya, mungkin kalau dahulu hutang itu bia menjadi alat “stimulus fiskal” dimana dengan hutang tersebut akan digunakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Nah dewasa ini, hutang lebih berperan untuk menjaga “keseimbangan fiskal”, yang artinya kebijakan pemerintah tidak akan berkesinambungan jika tidak berhutang. Memang pada dasarnya defisit anggaran ini juga dipengaruhi oleh situasi ekonomi Global yang sedang lesu seperti ini dan berimbas terhadap perekonomian Indonesia, tetapi sebelum ini semua terjadi dan ketika keadaan ekonomi Indonesia masih “normal”, terlihat seperti tidak ada upaya yang jelas untuk lepas dari ketergantungan “hutang” ini.
Akibatnya, beban hutang Indonesia pun semakin besar dari tahun ke tahun, Hutang luar negri Indonesia mencapi 28% dari total PDB (produk domestik bruto) per tahun 2014 ini, atau sekitar Rp 2.400 triliun (plus bunga). Pengertian hutang ini mau diperluas akan panjang urusanya, dalam beberapa tahun mendatang ketika surat-surat hutang tersebut mulai jatuh tempo, maka beban tersebut akan menjadi tanggung jawab dari periode pemerintah selanjutnya untuk menyelesaikan itu, dan itu akan terjadi secara terus menerus selama kebijakan dan pola tidak dirubah dari lapisan yang paling dasar.
Hampir tidak ada yang mempertanyakan secara terbuka tentang permasalahan “budaya” Indonesia yang terus berhutang seperti ini, banyak yang memilih untuk diam dan menerima begitu saja apa yang terjadi serta sistem apa yang diterapkan sekarang ini. Sejumlah pengamat dan Ekonom kritis dalam kenyataanya malah cenderung mempersalahkan World Bank dan IMF, yang meskipun tidak memberikan hutang dengan bunga yang tinggi tetapi condong untuk ikut campur dalam perekonomian Indonesia, dengan persyaratan-persyaratan yang seolah-olah hanya menguntungkan para Investor dan jaringan permodalan besar dari luar negri.
Hal itu memang benar adanya, akan tetapi tidak ada yang pernah berkata sekeras-kerasnya mempertanyakan “sistem moneter” yang dipakai negara ini. Perlu kita ketahui, bahwa sistem moneter yang kita pakai sekarang ini adalah adopsi “mentah-mentah” dari yang dikembangkan oleh kiblat ekonomi Amerika Serikat dan negara-negara maju lainya melalui Bank Central masing masing yaitu Bank of International Settlement (BIS).
Inilah irrasional-nya, yang malah membuat Indonesia “jauh lebih neolib” dari kiblat neolib itu sendiri, karena konsep Bank Central Independen yang tertuang dalam Kesepakatan Bassel 2 yang sudah mulai banyak diadopsi Indonesia ini, memberikan konsekuensi yang berat bagi Indonesia sendiri, yaitu adanya persyaratan tentang modal, aset, dll, yang malah memberikan kesempatan kepada Bank-Bank luar negri (asing) bisa menjadi “tuan” di Indonesia, Hal itu banyak sekali dibuktikan dengan semakin banyaknya komposisi kepemilikan saham perbankan kita yang dimiliki oleh asing, yang seolah-olah melengkapi keadaan dominasi permodalan asing di perekonomian negara ini.
Faktor lainya yang sangat lucu adalah sistem Debt Based Money System yang dipakai oleh Indonesia, ini juga salah satu alasan Indonesia sulit untuk lepas dari kata hutang tersebut. Proses pencetakan uang di Indonesia ini diawali dengan pemerintah menerbitkan surat hutang yang kelak “harus dibayar” dengan bunga, yang selanjutnya surat tersebut diambil Oleh Bank Central, yang selanjutnya keluarlah uang hasil “cetakan modern” tersebut. Jadi mudahnya, kalau pemerintah mengeluarkan surat utang sebesar Rp 2 Trilliun, maka bisa diartikan Bank Central sudah mencetak uang sebesar Rp 2 Trilliun juga, nah selanjutnya karena hutang tersebut mempunyai bunga (anggap 5%), maka kelak saat pembayaran hutang yang harus dibayarkan adalah Rp 2,1 Trilliun.
Pertanyaan selanjutnya adalah, terus bagaimana cara pemerintah membayar bunga tersebut, karena Bank Central tadi kan “hanya mencetak” Rp 2 Trilliun ? Jawabanya ya terbitin surat hutang lagi, dan itu akan terus menerus terjadi membuat hutang jadi menumpuk, inilah kekonyolan sistem moneter kita yang mengadopsi “mentah-mentah” sistem BIS tersebut, Iya kalau US Dollar nerapin itu bisa, mau cetak banyak juga tidak ada masalah, karena US Dollar masih digunakan 70% dari transaksi dunia, jadi meskipun cetak uang sebanyak-banyaknya juga tidak bakalan mendepresiasi nilai US Dollarnya, Lah kalau rupiah ? kalau mau cetak-cetak uang seenaknya sendiri buat nutup hutang, ya jadinya mau beli beras 1 kg saja mungkin bisa bawa uang satu ember seperti yang terjadi di Zimbabwe, karena nilainya uangnya pasti akan menjadi hancur.
Bukankah sistem tersebut sudah sesuai dengan prinsip Time Value of Money ? Disinilah letak permasalahanya, Time Value of Money dalam perhitunganya kan selalu berdasar pada nilai bunga tersebut, jadi kalau bunga dihilangkan ya otomatis hilang juga perhitungan matematisnya. Sebenarnya semua kembali kepada prinsip dan konsep apa yang diambil terhadap penggunaan mata uang tersebut, jika menganggap uang hanya sebagai komoditi untuk pertukaran barang dan jasa saja seperti yang dikatakan Benjamin Franklin maka tidak boleh uang itu dikenakan bunga. Karena dengan bunga tersebutlah disparitas ekonomi (kesenjangan sosial) akan semakin lebar, orang yang modalnya kuat akan semakin kaya, sedangkan yang modalnya lemah akan sangat sulit untuk bangkit dari kemiskinan.