Ilustrasi - Petugas mengganti filter separator di Stasiun Penerima dan Penyalur Gas Perusahaan Gas Negara Bojonegara, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (27/10). Stasiun ini menyalurkan gas dari Grissik, Palembang, ke sejumlah industri di Serang, Cilegon, Merak, dan di sekitar Banten. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)
TEMPO.CO, Jakarta, MINGGU, 31 Agustus 2014. Wakil Ketua Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Harry Azhar Aziz sepakat dengan adanya wacana pelepasan kepemilikan saham pemerintah di PT Pertamina (Persero) dilanjutkan. Harry Azhar Aziz beralasan karena selama ini memang belum ada transparansi yang dilakukan oleh perusahaan pelat merah tersebut atas pengelolaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi.
Masih menurut Harry Azhar Aziz, dengan adanya pelepasan saham kepada publik, maka kontrol terhadap Pertamina bisa dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk publik. Akan ada pengawasan oleh para pemegang saham, apakah soal minyak itu benar-benar pada posisi yang menguasai hajat hidup orang banyak atau tidak. Harry juga mencontohkan beberapa badan usaha milik negara yang sudah go public seperti Garuda dan TVRI, dan sukses dalam perkembangannya. Oleh karena itu menurut Hary saat ini pemerintah perlu memikirkan, apakah Pertamina juga menjadi salah satu perusahaan pelat merah yang bisa dibagi kepemilikannya kepada publik. Dan dalam diskusi tersebut Harry Azhar Aziz mendapat dukungan dari anggota Komisi Energi DPR, Effendi Simbolon yang sependapat dengan gagasan tersebut.
Go public atau menjadikan perusahaan Tbk. Opsi ini sebenarnya sudah lama sekali dibicarakan dalam interen Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan dan Menko Ekuin. Tetapi kenapa opsi ini tidak segera saja dilakukan seperti BUMN yang lain, Telkom, Garuda Indonesia atau Krakatau Steel agar lebih transparan dan mendorong profesionalisme.
Hal ini sebenarnya dapat dibaca dengan mudah, alasan pertama tentu saja pemerintah akan berpikir dua kali untuk melakukan IPO Pertamina. Karena Pertamina adalah BUMN yang sangatlah strategis dan menjadi kepanjangan tangan Negara dalam menjalankan kebijakan Migas di Indonesia ini. Kita juga harus mengingat betul bahwa sektor Migas adalah State of business, jadi Negara apa pun di belahan bumi ini kalau sudah berbicara Migas, tentu saja pemerintahnya pasti akan melakukan intervensi/campur tangan yang aktif. Kita juga harusnya mengingat kembali permasalahan Negara Kiblat Liberal Amerika, yang beberapa waktu kemarin menjual Caltex dan hampir saja dibeli oleh CNOOC (Pertamina-nya China). Apa yang terjadi? Tentu saja pemerintah Amerika menganggap itu sebuah ancaman serius dari China, sehingga senat dan pemerintah Amerika langsung membatalkan proses transaksi jual-belinya, yang selanjutnya Caltex dimerger dengan Unocal dan berubah nama menjadi Chevron.
Alasan kedua tentu saja pertimbangan dari pasar modal sendiri. Perlu kita ketahui, seandainya Pertamina sudah melantai di pasar modal (IPO), tentu saja Pertamina wajib hukumnya untuk ikut aturan pasar modal (aturan Bapepam dan Bursa Efek). Salah satu dari peraturan pasar modal tersebut ada yang mewajibkan perusahaan yang sudah go public (Tbk) untuk menjalani keterbukaan informasi dan meminta persetujuan pemegang saham independen (public). Dari salah satu contoh peraturan tersebut kita bisa membayangkan, jika suatu saat Pertamina ingin menjalankan strategic business-nya atau mau menjalankan intruksi Negara dan ternyata dijegal oleh segelintir pemegang saham independen (public), yang bisa jadi dari pemegang saham ini adalah orang-orang dari partai oposisi atau pihak asing yang tidak ingin Pertamina menjadi semakin baik atau bahkan pemilik modal besar yang hanya berorientasi pada profit yang tinggi. Akan jadi apa nasib rakyat Indonesia saat itu?
Masih banyak lagi alasan-alasan penting yang seharusnya banyak menjadi pertimbangan pemerintah sebelum meneruskan program go public Pertamina. Belum lagi kalau Pertamina menjadi PT-Tbk, maka tentu saja Pertamina akan kehilangan hak-hak istimewanya sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Migas (UU Migas). Semisal kalau ada suatu blok Migas yang akan habis masa kontraknya maka Pertamina punya hak untuk ditawarkan terlebih dahulu untuk mengelolanya, tentu saja ini akan sangat merugikan Negara ini sendiri.
Memang sangat benar sekali, bahwa niat untuk transparansi perusahaan-perusahaan plat merah Indonesia adalah inisiatif yang bagus, untuk menghindari adanya mafia-mafia Migas dalam kinerja Pertamina tersebut. Tetapi kita tidak bisa membandingkan go public Pertamina dengan go public-nya BUMN-BUMN yang lain. Pertamina adalah pemegang subsidi terbesar negara bersama PLN, hal ini akan sangat riskan bagi kelanjutan nasib rakyat Indonesia sendiri. Selain itu Migas adalah senjata nomor satu bagi suatu Negara, karena Migas merupakan bargaining power dan political tools paling vital dalam suatu Negara.
Perusahaan terbuka untuk transparansi tidak harus selalu diartikan dengan IPO (go public), terbuka itu bisa berarti manajemen dan kinerja perusahaannya transparan. Bukankah itu sudah menjadi amanat Undang-undang bahwa BUMN dan instansi pemerintah harus menerapkan prinsip Good corporate Goverment untuk mencegah KKN. Pertamina ini sebenarnya sudah transparan, hal ini bisa kita lihat dari diterbitkannya laporan tahunan dan kinerja keuangan Pertamina yang telah diaudit oleh akuntan independen. Hal tersebut bisa dibuktikan juga masuknya Pertamina menjadi rangking 122 di fortune 500, yang berarti kinerja keuangan Pertamina sudah bisa diakses oleh siapa pun di belahan bumi ini.
Kita sering sekali membandingkan Petronas (Malaysia) dengan Pertamina, Apakah kita sadar bahwa skala perusahaan Petronas masih kalah jauh dengan Pertamina, karena Pertamina itu beroperasi dari hulu hingga hilir. Tetapi kenapa pendapatan Pertamina kalah jauh dengan Petronas, ya karena Pertamina masih saja banyak dibatasi dengan peraturan oleh pemerintah, selain itu equity Pertamina sebagai perusahaan gas yang menaungi konsumen sebanyak 240 juta jiwa di Negara ini juga belum maksimal. Lihat saja Petronas gencar sekali ekspan untuk investasi di ladang-ladang minyak, sedangkan Pertamina untuk dalam negeri saja mereka masih sangat kecil investasinya. Hal ini disebabkan karena Pertamina lebih banyak ‘investasi dalam APBN’, jadi sering ditolak karena investasi sektor Migas selalu padat modal.
Dalam permasalahan transparansi ini yang dilakukan adalah membuka kinerja dan manajemen perusahaannya saja, sehingga masyarakat bisa menilai apakah kinerja Pertamina bagus atau buruk. Karena seperti yang telah diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 33, bahwa sektor energi itu harus dikuasai sepenuhnya oleh negara dan BUMN yang menguasai hajat hidup orang banyak serta strategis harus sepenuhnya dimiliki negara. Jadi ke depannya kalau ingin Negara ini maju dan rakyat sejahtera, pemerintah harusnya mendukung Pertamina untuk lebih maju, memberi kesempatan yang lebih kepada Pertamina, bukanya malah ada wacana IPO (inisial public offering), bukankah keuntungan dari Pertamina itu 100% masuk Negara dan untuk rakyat Indonesia seluruhnya.