Mohon tunggu...
Dhita Arinanda
Dhita Arinanda Mohon Tunggu... wiraswasta -

I find inspiration from hearing a song 'Time' by 'Chantal Kreviazuk'

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Arus Modal yang Hanya Menjadi Penggembira Sesaat

7 Mei 2014   12:02 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:46 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapapun Pemimpin baru yang akan dipilih di pilpres juli mendatang, akan menghadapi permasalahan ekonomi Indonesia yang semakin komplek dewasa ini, karena pemimpin baru tersebut akan menerima warisan permasalahan dari rezim pemerintah sebelumnya, terutama dalam permasalahan ekonomi internal (dalam negri) dan eksternal (global), terlebih Indonesia di 2015 juga akan memulai CAFTA .

Seperti kondisi yang sudah kita ketahui bersama dewasa ini, Investasi fiskal ekonomi Indonesia masih belum berjalan dengan maksimal, sehingga komoditi modal, komoditi bahan baku dan komoditi konsumsi masih saja mayoritas di dapat dari impor. Dengan keadaan defisit balance of payment seperti ini, fluktuatifnya kurs rupiah sangat berbahaya sekali bagi perekonomian Indonesia. Dalam hal ini terlihat sekali pemerintah tidak bisa maksimal menancapkan investasi di sektor riil negara ini (investasi fiskal), sehingga uang tersebut hanya menjadi keseimbangan fiskal yang malah akan melemahkan ekonomi Indonesia sendiri.

Perlu kita ketahui di awal, bahwa 70% lebih investor di pasar modal Indonesia adalah permodalan asing, jadi ketika investasi tersebut tidak menjadi investasi fiskal yang menguatkan fundamental ekonomi, maka kita "hanya" akan bergantung kepada keputusan "bandar" pemilik modal besar tersebut. Padahal dana asing yang masuk ke Indonesia tersebut sudah jelas dari aliran hot money (money printing) yang diciptakan dengan "tujuan" mengambil untung di pengolahan devisa negara-negara emerging market. Nah dengan inilah fokus kita sekarang hanya menjadi bertahan dari keputusan-keputusan Bank Central negara lain.

Dalam hal ini terutama The Fed dengan isu tappering off-nya yang akan menjadi patokan mata seluruh dunia, di akhir 2013 kemarin FMOC The Fed memutuskan bahwa baru akan menaikan suku bunganya di 2015 nanti, nah dari hal tersebut jelas sekali bisa di baca bahwa aliran QE tersebut tidak akan melakukan capital outflow (arus keluar) di sepanjang 2014 ini, jadi dana tersebut akan melakukan volatilitas atau bergerak untuk mencari keuntungan dari instrumen keuangan yang di pegang saja, maka Indonesia akan mengalami tekanan biaya bunga efektif (modal kerja dan ekonomi rill) sehingga orang pun akan condong menyimpan US Dollar dan kurs rupiah akan cenderung melemah terhadap US Dollar (tekanan komoditi impor)

Trend seperti ini harus dihadapi Indonesia di sela menyongsong dua hajat besar Indonesia sendiri, yaitu pemilihan umum di Juli mendatang dan persiapan menghadapi CAFTA 2015, sedangkan aliran dana tersebut sudah pasti akan keluar (capital outflow) dari Indonesia di tahun 2015, mengingat 2015 The Fed sudah memastikan akan menaikan suku bunganya, dan hal itu pasti akan diikuti kenaikan harga minyak dunia serta komoditi dunia lainya, jika kita mau melihat lagi data terdahulu tentang trend kenaikan suku bunga global yang selalu diikuti kenaikan komoditi tersebut.

Keadaan ini sebenarnya berawal dari Krisis Amerika 2008 lalu, dimana saat itu banyak negara yang menganggap Amerika sudah mulai bangkrut, karena banyak melakukan bailout perusahan-perusahaan keuanganya, saat itulah china memanfaatkan peluang itu untuk mengusulkan perubahan mata uang Internasional di pertemuan G20 Jenewa dengan mengkalkulasi ulang cadangan emas dalam rasio devisa inti, dimana negara yang mempunyai rasio cadangan emas terbesarlah yang harus di gunakan mata uangnya sebagai Internasional currency. Meskipun saat itu China di dukung oleh Rusia, tetapi hal tersebut ternayata ditolak oleh negara-negara lain termasuk Indonesia yang masuk dalam anggota G20 tersebut.

Disinilah terbaca bahwa sebenarnya Amerika hanya berusaha untuk "membeli waktu" menjaga kepercayaan-kepercayaan negara lain tersebut. Maka lahirlah Quantitive easing sebagai upaya memulihkan ekonomi Amerika tersebut, program cetak uang modern dengan menurunkan suku bunga inilah yang kemudian menjadi alat untuk mencari keuntungan di seluruh pasar keuangan dunia terutama negara Emerging Market seperti Indonesia ini. Dalam perjalananya aliran uang QE tersebut banyak sekali di serap oleh SUN (surat hutang) Indonesia, sehingga ketika masa-masa injury penarikan dana tersebut, akan kelihatan sekali kecenderungan melemahnya rupiah terhadap US Dollar, itu terjadi karena mereka lah ang memegang"barang" sehingga mereka pun yang menggerakan harga.

Inilah faktor yang membuat Amerika ini terlihat sangat luar biasa sekali kehebatanya. Walaupun terhantam badai krisis yang berat sejak tahun 2008 dengan hancurnya Wall Street, pengaruh mereka masih demikian kuat terhadap perekonomian Indonesia. Setelah dikatakan secara terus menerus bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat danIndonesia menjadi darling-nya investor asing, US Dollar masuk dengan deras, IHSG meningkat dan rupiah menguat, hal itu berbalik 180 derajat ketika "hanya" seorang Bernanke mengumukan tappering off.

Dalam permasalahan ini terlihat sekali betapa kita “dipaksa” menerima saja begitu fluktuasinya nilai tukar mata uang "kita sendiri" dan terus terkurasnya cadangan devisa hasil dari game theory yang dilakukan negara maju untuk membiayai krisis-nya, dengan jalan "tanam paksa" portopolio di negara dengan literasi finansial rendah seperti di Indonesia ini, yang hanya mempunyai 0,27% penduduk ada di pasar keuangan, sedangkan sisanya tidak "menikmati" hasil nyata dari investasi fiskal tersebut. Ini semua hanya terlihat semu kalau kita mau lebih jujur, karena kita "tidak pernah mau belajar" dari pengalaman, dengan meregulasi yang lebih baik lagi UU pasar modal atas nama demi “stabilitas sistem keuangan” Indonesia sendiri.

Setelah semuanya ini terjadi, pemerintah memang sudah melihat ancaman-ancaman tersebut dan melakukan berbagai upaya untuk menghadapinya, salah satunya dengan melakukan swap dengan BOJ Jepang yang bisa diartikan meminimalisasikan gejolak rupiah di tahun depan. Tetapi itu masih akan menjadi pe-er berat bagi rezim pemerintah di periode selanjutnya, dimana ada "tantangan" tersendiri di dunia keuangan Indonesia, yaitu "berani" untuk lebih menasionalisasikan market.

Karena di sektor inilah pintu sebenarnya dari yang namanya aliran modal Investasi, tinggal Indonesia sendiri mau mengambil itu dan menancapkan untuk sektor rill (insfratuktur, dll) atau hanya "terlarut" dengan uang murah sesaat yang "nyatanya" tidak memberi efek yang banyak bagi sektor riil Indonesia sendiri. Semua sudah terjadi dan seharusnya menjadi satu lagi pelajaran penting bagi pemerintah dan otoritas finansial selanjutnya, tentang bagaimana berfikir agar terjadi keseimbangan atau intermediasi keuntungan dari pasar finansial kepada pembangunan ekonomi sektor riil yang lebih produktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun