Beberapa waktu kemarin saya mendapatkan kesempatan untuk berkenalan dengan beberapa mahasiswa yang sedang menempuh S2-nya di luar negeri, karena di jurusan tempat saya menempuh S2 sekarang ini ada kerjasama dengan Kampus Luar Negri tersebut dalam program double degree MBA maka seringkali kampus saya kedatangan Mahasiswa asing dari sana untuk Study Banding. Seperti biasanya kita mengadakan dialog-dialog, saat itu kita berdialog tentang sistem Akutansi yang dianut di negara kita masing-masing. Hingga salah satu dari Mahasiswa asing tersebut melontarkan pertanyaan kepada saya, kenapa Indonesia tidak membuat standar akuntansi berbasis Pancasila ? Bukankah dia ideologi NKRI ?
Karena mungkin saya kurang memahami filosofi ideologi Pancasila sendiri, saya menangguhkan pertanyaan itu untuk saya bawa pulang dan saya pelajari lagi. Setelah itu akhirnya saya mencoba mempelajarinya dan itu malah menimbulkan banyak pertanyaan sendiri. Apa PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) yang kita pakai sekarang ini ada yg bertentangan dengan Pancasila ? Terus terang saya kurang paham mungkin karena kurang memahami Pancasila kali ya , Terus bisnis atau usaha yang berbasis Pancasila itu yang bagaimana sih contohnya ? Apakah seperti Koperasi ? kalau memang seperti koperasi di Indonesia juga sudah banyak kan.
Pertanyaan yang dari teman saya tadi yang sangat simple tetapi justru luas pembahasanya ketika coba saya pelajari, akhirnya saya merenunginya mulai awal lagi. Pertanyaan ini sebenarnya baru saya dengar, di beberapa komunitas seperti IAI (ikatan Akuntan Indonesia) dan komunitas akademisi ekonomi, seingat saya belum ada permasalahan tentang ini. Nah andai PSAK yang sekarang ini bertentangan dengan pancasila  kenapa sampai 2014 ini belum atau tidak ada yg ramai bahas tentang itu, termasuk di beberapa komunitas yang saya ikuti tadi.
Saya coba mempelajari kenapa dalam pembuatan PSAK idenya mengadopsi IFRS (International Financial Reporting Standards) yang menggunakan ideologi- nya barat. Akhirnya saya mencoba mengutak-atik rumus PSAK yang ada dengan mencoba membuat rumus baru, harapan saya siapa tahu saja bisa ketemu (teori baru PSAK) dahulu yang orisinil atau asli indonesia, sebagai antitesa PSAK barat tersebut, saat itu saya berpikir pada dasarnya semua teori baru itu kan hasil korektif atau pembaharuan dari rumus yang lama.
Dan satu persatu pun mulai sedikit demi sedikit saya pahami, salah satunya seperti salah satu aturan IFRS dengan nilai wajarnya yang tergerus akibat Model MSV, itu ternyata tidak sesuai dengan konstitusi Indonesia yang mempromosikan sila ke 5 Pancasila tentang keadilan sosial. Jadi ketika saya mulai memahami itu, saya mengambil nilai seharusnya konteks Indonesia dengan latar belakang sosial budaya dan politik seperti ini, harus memiliki praktik akuntansi filosofis yang khas juga. Mengapa demikian ? karena jika tidak memiliki standar akuntansi dengan nilai-nilai Filosofis Pancasila (keadilan sosial), nilai akuntansi tidak akan mampu menghasilkan informasi kepada kelompok masyarakat tertentu untuk mempertahankan dominasi mereka dengan manusia secara keseluruhan. Pemahaman saya saat itu, Pancasila itu mirip dengan filosofi pemangku kepentingan yang mempromosikan posisi yang sama stakeholder, kadang-kadang kita butuh untuk harus membaca teks alternatif akuntansi keuangan seperti ini.
Dilapangan saya mencoba mengambil contoh Apakah TVRI atau RRI diperlukan untuk menyusun laporan keuangan sesuai dengan IFRS ? merka menggunakan standart akutansi pemerintahan karena memang merka BLU bukan BUMN, nah standart yang diapakai pemerintah sendiri mengadopsi IPSAS (International Public Sector Accounting Standards) bukankah itu melanggar Pancasila karena BLU institusi usaha milik rakyat bukan swasta.
Tetapi ada juga salah satu contoh PSAK yang pro Pancasila, menurut saya adalah PSAK 24, tentang Imbalan Kerja yg merupakan adopsi IFRS atau paham barat. Â Dulu sebelum adanya PSAK 24, banyak perusahaan di Indonesia yang seenaknya saja memberikan janji pada karyawan tentang manfaat pensiun tanpa membukukan liabilitas, tanpa memikirkan kemampuan keuangan perusahaan tersebut , bahkan saat akan memenuhi UU tenaga kerja kan harus dihitung kewajibannya, perusahaan tersebut mengambil standart minimumnya, sehingga jika suatu saat perusahaan pailit, hak-hak karyawan pasti tidak akan diberikan dan akhirnya demo lah. Tetapi Ketika PSAK 24 dilahirkan tahun 2004, keadaanya berbalik rakyat yang diuntungkan, dan sebaliknya banyak perusahaan yang tertekan atas kewajiban yang harusnya mereka akui. Nah sekarang ini karyawan dan serikat pekerja bisa menghitung jelas, apakah perusahaan dimana mereka bekerja punya aset yang cukup untuk menutupi kewajiban imbalan kerja apabila suatu saat perusahaan mereka gulung tikar. Karena itu sekarang jelas ada di catatan atas laporan keuangan mengenai perhitungan dana imbalan kerja. jadi PSAK 24 ini menurut saya spaham dengan Pancasila mengenai keadilan sosial yang mendukung hak hak para pekerja.
Memang sih bukan berarti dengan sepahamnya PSAK 24 terus kita tidak mempermasalahkan PSAK yang ada, karena di beberapa pasal masih banyak yang bertentangan dengan Pancasila, dan Akuntansi sendiri bukan hanya berhubungan dengan itu, tetapi mengatur korelasi yang lebih luas lagi daripada satu subyek yang difokuskan PSAK 24. IFRS saja dan yang seideologi dengannya itu kan sudah memiliki sejarah yg sangat panjang, harusnya untuk kontek indonesia juga mulai diciptakan sejajah yang sama sehingga mampu memiliki standard akuntansi sendiri seperti IFRS, yang lebih seidiologi dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Masalahnya dengan PSAK yang mengadopsi IFRS dalam penerapan Good Corporate Governance (CGC) tidak cocok di Indonesia. Kalau sistem di luar memang masih memungkinkan, saya ambil contoh Jerman misalnya, meskipun mereka menggunakan IFRS tetapi CGC mereka komisarisnya jumlahnya harus ganjil (lima) dan dua diantaranya adalah perwakilan serikat buruh, dengan cara ini perusahaan tidak bisa membuat kebijakan dengan mengabaikan kepentingan karyawannya begitu saja.
Sedangkan aplikasi di Indonesia, ketika kita bicara GCG, ternyata masih sering ada dan banyak kasus penyembunyian klausul yang tidak diimplementasikan, seperti kasus persamaan gaji antara expat (Tenaga Asing) dengan pegawai lokal harusnya punya kesamaan gaji. misalnya yang sering terjadi seorang Technical Advisor dari Philipina yang bekerja di Indonesia atau indihe atau spore di big four KAP, kenapa gajinya dibikin jomplang dengan Junior Partner yang posisinya lebih tinggi. Itu terjadi di bidang apapun industri kita, keuangan, manufaktur, dan pertambangan, kesenjangan gaji antara expat dengan orang lokal tersebut sangat terasa, selain itu fasilitas yang didapat mereka juga berbeda.
Dengan standart IFRS tersebut, pelaksanaan CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan di Indonesia juga selama ini tidak ada yang jelas dalam pelaksanaannya, sehingga bisa dikatakan praktek CSR di indonesia ini sebenarnya adalah suka suka perusahaan. Perusahaan condong membandingkan praktik CSR antara satu perusahaan dengan perusahaan sejenis yang lain, sehingga mereka hanya akan concern atau fokus di hal hal yang sangat kualitatif atau sekedar besaran angka yg dikeluarkan saja, sedangkan impact serta koherensi ke masyarakat atau lingkungan sekitarnya jadi tidak sesuai dengan standard setter yang ditetapkan, akhirnya bertentangan dengan nilai pancasila juga dalam hal ini.