Memang masalah hutang ini banyak sekali perbedaan cara pandangnya, Bagi sebagian orang ada yang beranggapan hutang harus dihindari agar tidak repot melunasinya, Ada juga yang berhutang itu karena kepepet (terpaksa) dan tidak ada jalan lain, Tetapi ada juga yang mencintai hutang karena menurut mereka bisa bikin kaya.
Padahal logika secara umumnya hutang itu ya tentu saja berbunga, belum lagi kalau ada persyaratan khusus dari si pemberi hutang. Contohnya saja ketika kita pinjam uang dari bank untuk membangun sebuah usaha tentu saja kita harus menghitung dulu apa usaha kita nanti hasilnya mencukupi untuk membayar bunga dan angsuran bank tersebut, kalau hutang itu sendiri dipakai buat usaha dan berhasil, ya tentu saja kita bakal memperoleh keuntungan ketika hasil usaha tersebut lebih besar dari bunga dan angsuran Bank, Tetapi jangan sampai nih uang pinjaman dari bank tersebut tidak kita pakai usaha dan malah kita gunakan untuk menutupi anggaran kebutuhan sehari-hari yang minus, ya bahaya dong nanti ngangsurnya pakai apa ? saat menerima uang sih tidak masalah orang kita masih pegang uang dari pinjaman tadi, terus 3-5 tahun kedepan kalau uangnya sudah habis bagaimana ? sedangkan usaha tidak jadi terbentuk.
Nah disini tergantung kita mau ambil cara apa, apa hutang untuk membuat usaha, atau meminimalisasikan pengeluaran untuk menabung dan membangun usaha tersebut, semuanya kembali lagi kepada si pengambil kebijakan.
Pemerintah kan akhir-akhir ini juga mengatakan selain ekonomi tumbuh, bahwa angka pengangguran dan kemiskinan berkurang, sebenarnya itu juga tergantung alat ukur apa yang digunakan, disini yang berwenang melakukan itu adalah BPS, tetapi secara garis besar kita dapat  melihatnya dari aliran uang unsur pembentuk PDB sendiri, lihat saja lebih banyak mana yang dihasilkan antara sektor yang melibatkan masyarakat Indonesia, dengan sektor yang tidak melibatkan kebanyakan masyarakat Indonesia, kalau lebih banyak dari sektor yang tidak melibatkan kebanyakan masyarakat Indonesia, ya tentu saja dapat dibilang mayoritas rakyat kita masih kecil tingkat daya belinya.
Saya pribadi kadang terheran juga melihatnya, itukan masih di ukur dengan kertas yang namanya uang, coba sekali-kali diukur dengan yang namanya nilai Emas (gold), barangkali saja penduduk Indonesia ini yang miskin malah lebih dari 75% alias mayoritas bukan minoritas lagi... hehe...
Dia akhir sebagai rakyat yang mencintai negri ini tentu saja akan mendukung siapapun rezim pemerintahan yang akan menjalankanya, dengan harapan untuk bisa lebih memperbaiki kesejahteraan ekonomi rakyat Indonesia ini.
Namun disini yang diharapkan bukan untuk memperbaiki 'kesan' yang tergambar pada angka-angka saja, ya karena buat apa kalau hanya sekedar ngoprek angka saja ? karena rakyat itu tidak butuh angka-angka saja, tetapi mereka butuh pemenuhan kebutuhan terutama yang pokok, butuh peningkatan kesejahteraan sehingga meningkatkan daya beli mereka, Oleh karena itu bagi rakyat kesan tidaklah penting sama sekali.
Coba lihat rekor impor mobil mewah kita seperti Ferrari, Bentley, dan kawan-kawanya, kita berada di urutan nomer 2 dunia loh di bawah cina, Dan itu terjadi ketika rasio gini (tingkat kesenjangan sosial) kita semakin tinggi.... Â Apa tidak malu kita melihatnya ?
Dhita Arinanda PM
22 Maret 2014