[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi - Contoh barang plastik berbahan dasar polipropilena. Kebutuhan nasional mencapai satu juta metrik ton per tahun. Dari jumlah itu, Indonesia masih harus mengimpor 200.000 metrik ton dari kebutuhan tersebut. (Wikipedia)"][/caption] Dewasa ini kebutuhan komoditi plastik di Indonesia sangatlah tinggi sekali, hampir seluruh Industri dalam negeri membutuhkan bahan baku plastik ini. Pengguna terbesarnya adalah Industri makanan dan FMCG (fast moving consumer goods) yang mencapai 60%. Tercatat tahun 2013 kemarin kebutuhan plastik dalam negeri sebesar 1,9 juta ton, meningkat 22,58% dari 2012, yaitu 1,55 juta ton, dan kebutuhan tersebut diprediksi tiap tahunnya akan meningkat secara terus-menerus. Sedangkan dari total kebutuhan dalam negeri tersebut, 794 ribu ton masih harus diimpor dari luar, dan semakin naiknya kebutuhan plastik tiap tahun tersebut membuat angka impor juga semakin naik. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, importasi plastik dan barang dari plastik selama 2013 naik 11,7% secara year on year menjadi 2,48 miliar US Dollar. Adapun impor di periode sebelumnya tahun 2012 sebesar 2,22 miliar US Dollar. Di Industri Hilir, produksi biji plastik dalam negeri bergantung pada trio produsen, yaitu PT. Chandra Asri, PT. Polytama Propindo, dan Pertamina, tetapi dalam operasionalnya mereka juga kesulitan masalah bahan baku pembuatan resin (biji) plastiknya, yaitu nafta dan kondensat. Dalam masalah ini sebenarnya Indonesia mempunyai bahan baku nafta dan kondensat tersebut dari sumber daya alamnya, sayangnya orientasi kondensat dan nafta tersebut masih cenderung diekspor. Imbasnya kebutuhan bahan baku industri petrokimia dalam negeri pun tak terpenuhi, yang akhirnya untuk bahan baku saja industri petrokimia masih harus impor, jumlah impor tersebut jika dirata-rata per tahun mencapai 8 miliar US Dollar (Jaring News.11/4/14). Dalam sektor hilir tersebut seharusnya pemerintah memberikan solusi terhadap permasalahan bahan baku ini, supaya Industri Petrokimia nasional bisa lebih mandiri dan lebih bisa mencukupi kebutuhan plastik dalam negeri. Di sini harapannya pemerintah menerapkan Domestic Market Obligation (DMO) untuk komoditi nafta dan kondensat tersebut, supaya lebih fokus untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri kimia dalam negeri. Di Industri Hulu, prosentase terbesar biji plastik tersebut masuk ke industri Film making (produksi plastik lembaran) dan Industri botol plastik, sekitar 60%, di mana dua Industri tersebut akan mengarah ke Industri flexible packaging (kemasan). Dalam Industri kemasan, ada beberapa jenis plastik juga yang masih harus diimpor, seperti Alu-Foil (film-metalizt) yang diekspor dari China, yaitu Dong-Il, resin atau bahan baku plastik Polyethylene Terephthalate (PET), dan resin Oriented Polypropylene (OPP), ini dikarenakan Indonesia masih belum bisa memproduksi jenis tersebut. Tetapi Indonesia masih bisa berbangga dalam sektor Produsen plastik lembaran (film making) ini, karena di beberapa produk lain kita mempunyai perusahaan multinasional sekelas PT. Trias Sentosa Tbk, PT. Panverta Cakrakencana (anak perusahaan Gudang Garam Tbk.) dll yang mampu mempelopori kebutuhan produksi plastik lembaran dalam negeri dan bisa mengekspor komoditas tersebut. PT. Trias Sentosa yang berpusat di Sidoarjo, Jawa Timur, memproduksi plastik lembaran jenis PET, PET-Metalizt, OPP dan CHS (campuran jenis PE,PP, dan HD), di mana PET dan OPP dibutuhkan di industri kemasan sebagai bahan baku material printing (Cetakan), sedangkan CHS dan PET-Metalizt sebagai bahan baku material laminating (lapisan) Jadi secara mudahnya dapat dianalogikan seperti ini, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri kita masih harus impor 40%, dari total jumlah plastik tersebut untuk mencukupi kebutuhan kemasan Industri makanan dan FMCG (fast moving consumer goods) sebesar 60%, seperti contohnya kemasannya Ekstra Joss, kemasan-nya shampoo sachet, kemasan makanan,dll. Nah dari Ekstra Joss yang harganya 1000 rupiah per sachet tersebut, apa Anda menyadari bahwa sebenarnya harga kemasannya lebih mahal dari harga serbuk Ekstra Joss-nya sendiri. Bisa jadi dari harga 1000 tersebut, harga kemasannya 700 rupiah sendiri. Dalam kemasan seharga 700 rupiah tersebut, ada tiga lapisan yang dibutuhkan, 1. PET sebagai material yang di-print (dicetak) dan Indonesia untuk material ini bahan bakunya masih impor. 2. Alu-Foil (lapisan metalizt) sebagai lapisan laminasi pertama yang harganya paling mahal, dan Indonesia juga impor dari China untuk material ini. 3. lapisan laminasi paling luar CHS B/C 120 micron, Ini produksi dalam negri Indonesia. Kesimpulanya dari harga 700 rupiah tersebut bisa dikatakan dengan hitungan sederhana bahwa 500 rupiah kita dapat dari impor. Jadi dari 1000 rupiah harga Ekstra Joss per sachet tersebut, lebih dari separuh harga barangnya kita impor. Sedangkan kalau kita mau mengamati, hampir semua barang yang kita konsumsi setiap hari selalu menggunakan kemasan plastik, dengan itu bisa dikatakan bahwa barang yang kita konsumsi setiap hari mayoritasnya adalah bahan impor, coba anda bayangkan keadaan ini? Dan inilah wajah Industri plastik Indonesia saat ini. Indonesia masih sangat berpeluang dalam sektor Industri plastik ini, di mana di tiap tahunnya angka kebutuhan terus meningkat tajam, ini disebabkan kebutuhan plastik Indonesia per kapita masih rendah, yaitu 10 kg, masih kalah jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand yang mencapai angka 40 kilogram per kapita. Nah dengan selisih sebesar itu, potensi semakin meningkatnya kebutuhan plastik akan semakin tinggi di masa yang akan datang, Dalam permasalahan ini akan sangatlah elok jika BUMN Indonesia mampu mengolah sendiri Industri hilirnya, Hal itu sudah ditunjukkan Pertamina di tahun kemarin, dengan mencoba mengakuisisi saham dari PT Polytama Propindo. Tetapi tidak cukup di situ masih dibutuhkan banyak terobosan lagi untuk menghadapi PR dalam mengatasi permasalahan ini. Pemerintah harusnya juga menyadari bahwa sudah ada perusahaan PMA (modal asing) di Indonesia yang bisa memproduksi resin Polyethylene Terephthalate (PET), salah satu contohnya seperti yang lagi naik daun PT A Schulman Plastic, Pandaan. kab. Pasuruan, nah ini seharusnya menjadi acuan bagi inplas (asosiasi pengusaha plastik Indonesia) dan pemerintah secara khususnya untuk berbenah, agar tidak ketinggalan kompetisi dengan permodalan asing tersebut. Apakah Indonesia bisa? Silahkan Anda masuk ke PT A Schulman Plastik tersebut, Product Development mereka alias pemegang resep produk mereka adalah orang Indonesia sendiri, anak bangsa lulusan Teknik Industri Ubaya dan UK Petra Surabaya, kenapa pemerintah tidak memodali mereka? Masih banyak sekali anak bangsa di negeri ini yang cerdas lulusan Teknik Kimia Industri fakultas ternama Indonesia, kenapa tidak memberi kesempatan mereka untuk mengabdi. Ini adalah tantangan ke depannya, di era globalisasi yang semakin lebar ini akankah satu sektor lagi kita akan menjadi bulan-bulanan oleh kekuatan asing? Akankah mayoritas barang yang kita konsumsi selalu dari impor? Choose your battles and Choose the battles that we can win! Yups pilihlah perang yang dapat kita menangkan.... dan di sektor Industri plastik ini seharusnya kita optimis bisa memenangkannya. Dhita Arinanda Pm 30 maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H