Step by Step China mulai mengungguli Amerika di sektor ekonomi yang lain, setelah kalah dalam perdagangan dan mengalami defisit perdagangan dengan China yang lebar, sekarang Amerika harus menerima kenyataan bahwa sektor keuangan dunia mulai dikuasai mayoritas oleh China, setelah konglomerasi-konglomerasi keuangan besar Amerika rontok pasca krisis 2008 kemarin.
Berdasarkan data OJK (ototritas jasa keuangan) dalam Finansial bisnis.com April 2014, Perusahaan keuangan asal Amerika yang mengalami keruntuhan adalah Citigrup, Bear Strean, Lehman Brothers, Freddy Mac, dan Fanny Mae, dan kerugian yang dialami Amerika ditaksir sebeasr 43% dari jumlah PDB (product domestic bruto) mereka. Sedangkan perusahaan keuangan Ingrris yang mengalami keruntuhan adalah Nothern Rocks, Lloyds TSB, HBOS Royal Bank of Scotland, dll.
Sekarang ini peringkat tiga besar dikuasai semua oleh China, dimulai dari peringkat pertama ICBC, China Contruction Bank, dan Bank of China, sedangkan diperingkat empat ditempati korporasi keuangan asal Inggris HSBC, dan diperingkat teralhir di tempati korporasi lama  JP Morgan Chase Amerika.
Industrial and Commercial Bank of China (ICBC) sebagai peringkat pertama konglomerasi keuangan terbesar dunia, notabene sudah melampui Amerika sejak juli 2013 kemarin, seperti yang dilansir oleh harian The Telegraph, Jumat 5/7 2013, " China yang pertama kalinya menjadi bank terkaya di dunia ini juga berhasil menyingkirkan bank-bank Prancis yang diketahui sangat menguntungkan".
Dalam daftar Forbes perusahaan public terbesar pun ICBC masih berada di peringkat pertama, disusul China Contruction Bank, JP Morgan, Exxon mobile, dan General Electric. Peringkat tersebut berdasarkan dari perhitungan total penjualan, keuntungan, jumlah aset, dan market value.
Krisis Subrime Mortage Amerika yang menyebabkan lembaga-lembaga keuangan besar merak ahancur itu dumulai dari kebijakan pemerintah Amerika untuk menyediakan rumah sederhana, yang melatar belakangi berdirinya lembaga keuangan Fannie Mae dan Freddie Mac, selanjutnya suku bunga di Amerika pun dibuat rendah terus menerus. Itulah yang menyebabkan harga meningkat dan orang cenderung ingin berspekulasi, meningkatnya spekulan secara drastis tersebut sekanjutnya meningkatkan permintaan sehingga mendorong Bank-Bank di Amerika berusaha menciptakan berbagai macam produk investasi, akhirnya meningkatlah juga angka NPL (non performin loan/kredit macet) lembaga keuangan Amerika, sehingga banyak agunan kredit yang dilelang sehingga harga pun menjadi turun, diikuti Bank mulai merugi dan mulai hilangnya kepercayaan nasabah, spekulan pun terpukul dan terjadilah bubble ekonomi yang menghancurkan lembaga-lembaga keuangan di Amerika tersebut.
Kembali seperti saya kutip dari perkataan Paul Krugman dalam bukunya yang berjudul ‘The Return of Depression Economics and The Crisis of 2008‘ yang mengatakan hukum business cycle itu masih berlaku tentang adanya gelombang pasang-surut dalam ekonomi akan tetap terjadi dalam sistem ekonomi mekanime pasar.
Sebenarnya saat saat terjadi crash subprime mortage tersebut, sudah terjadi baku hantam moneter antar Bank besar dunia, terlihat dari artikel yang dimuat dalam Portal CBN , Rabu, 19/09/2007, yang mengatakan  " Bursa saham regional pagi ini dibuka langsung melejit setelah The Fed memutuskan menurunkan Fed Fund Rate 50 basis poin menjadi 4,75%. Penurunan suku bunga ini membahagiakan pelaku pasar karena semula Federal Open Market Committee (FOMC) diprediksi hanya menurunkan bunga secara moderat 0,25 persen ".
Aksi The Fed tersebut langsung direspon Bank of China dengan menaikan suku bunga-nya menjadi 5,56% (Bestprofit Future 2007) dan melakukan perjanjian "PBC and BOJ Signed the Renewed Currency Swap Agreement' dengan jepang (The People Bank of China, 2007), ini dilakukan untuk perjanjian penggunaan mata uang masing-masing dalam perdagangan mereka, yang tentu saja itu akan membari tekanan US Dollar sendiri, sedangkan suku bunga tinggi tersebut untuk menarik US Dollar masuk ke China. China cermat dan cerdik menghadapi itu, mereka tahu kalau krisis yang dihadapi amerika adalah masalah fundamental (jangka panjang) bukan  financial netting (jangka pendek) seperti yang digembar-gemborkan Amerika saat itu.
Amerika menyadari bahwa China menjebak mereka dalam pasar finansial, dengan menurunkan lagi suku bunga-nya sampai 4,25%, tetapi mereka masih menjaga US Dollar agar kembali ke negaranya dengan mengadakan lelang  Bond Auction (lelang surat hutang) dengan bunga yang rendah (US. Securitites and Exchange Comission, 2007), selanjutnya Amerika menggunakan senjata lamanya yaitu menghembuskan rumor gejolak harga minyak untuk menjebak China di sisi yang lain.
Ternyata itu tidak berpengaruh, terbukti dari laporan akhir tahun 2007 dimana Amerika ternyata kehilangan cadangan devisanya sebesar 5,7 milliar US Dollar diobandingkan tahun 2006, dan dapat dibuktikan dengan naiknya secara drastis cadangan devisa China menjadi 2 trilliun US Dollar, Jadi saat itu jika ada yang mengatakan bahwa ekonomi global sedang lesu, penulis condong malah mengatakan itu merupakan akibat dari faktor China bermain untuk mengambil kesempatan ketika Amerika sedang terpuruk.