Indonesia sendiri yang bermahzab social capitalism yang didalamnya terdapat unsur emphatetic capitalism (kapitalisme peduli) dan humanistic capitalism (kapitalisme kemanusiaan) seharusnya bisa menerapkan dengan baik ide dari Gates ini tentang Kapitalisme kreatif. Seperti yang diramalkan oleh Milton Friedman sang bapak kapitalis sejati, bahwa negara welfare state seperti Indonesia ini akan kesulitan dalam memeratakan kesejahteraan penduduknya, trickle down effect itu memang bisa terjadi, tetapi memang lama sekali prosesnya. Nah dengan Kapitalisme kreatif inilah Indonesia bisa menggerakan kaum menengah kebawahnya untuk bisa berkembang, sehingga kesenjangan sosial pun akan menurun.
Menurut Badan Pusat Statistik, penduduk miskin di Indonesia masih ada di angka sekitar 35 juta jiwa orang atau 15,4 persen, di sisi lain mayoritas porsentase penduduk Indonesia di isi oleh kaum menengah, sedangkan kaum kelas atas di Indonesia adalah minoritas. Dalam data terbaru BPS juga menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan jumlah penduduk jutawan di Indonesia rata-rata sebesar 15 persen per tahun, hal ini sudah melebihi tingkat pertumbuhan jumlah jutawan Singapura yang hanya di kisaran angka 7 persen. Nah dari hal tersebut akhirnya timbul pertanyaan, Kenapa meningkatnya jumlah jutawan tersebut tidak sebanding lurus dengan berkurangnya kaum bawah atau miskin ? Di sini jawabnya sudah jelas, seperti tulisan diawal tadi, bahwa Kapitalisme yang terjadi di Indonesia "hanya" membuat masyarakat-masyarakat miskin ini tersingkir akibat dari pergerakan kapitalisme sendiri.
Hal ini terjadi salah satu faktornya karena kaum menengah-kebawah Indonesia sangatlah konsumtif, mereka akan cenderung memaki uangnya untuk dibelanjakan dengan pola pengeluaran yang sangat fantastis, yaitu untuk membangun rumah mewah, membeli kendaraan dan perabot rumah tangga yang mahal, pembelian barang-barang yang sebenarnya tidak bersifat pokok, dll. Lihat saja angka dari penduduk Indonesia yang "doyan" berbelanja di Singapura, sehingga ada celetukan bahwa penduduk Indonesia adalah konsumen terbesar di pusat-pusat perbelanjaan terbesar mereka, seperti Mall dan toko-toko di negeri tersebut, yang membuat warga Singapura sendiri sangat terkesima, betapa tidak jika melihat sebuah bangsa yang sebagian besar rakyatnya masih miskin seperti Indonesia ini, begitu royal dalam kesempatan menghamburkan uang.
Mungkin sangat tepat seperti keadaan yang diamati oleh Richard Heillbroner dalam bukunya yang berjudul The Making of Economic Society, bahwa "kebudayaan" di Eropa 200 tahun yang lalu yang menunjukan pola-pola penggunaan uang hanya sekadar pemuas nafsu kebendaan semata. Fenomena inilah yang sekarang ini terjadi di Indonesia, sedangkan di negara-negara Eropa sendiri lebih merealisasikan kepemilikan uangnya dalam wujud kastil atau bangunan-bangunan, menabung dan mengelola keuanganya dengan cara investasi.
Padahal pasar kelas menengah ke bawah Indonesia sangatlah potensial, dan sangat sayang sekali jika hanya harus "menguap" untuk barang-barang yang kurang bernilai yang notabene mayoritas mereka dapatkan dari impor. Dalam hal ini Indonesia hanya perlu meningkatkan kreativitas untuk menerapkan kapitalisme kreatif di Indonesia ini.
Seperti pola kreativitas yang dilakukan oleh Kenya, Seperti yang dilansir oleh Majalah Time, dimana ada kebijakan CSR yang dijalankan sebuah perusahaan telepon seluler di Kenya, Safaricom, perusahaan telepon seluler terbesar yang sebagian besar sahamnya dimiliki Vodafone sejak 2000, saat itu Safaricom memiliki 400.000 pelanggan, dan sekarang jumlah pelangganya sudah mencapai 10 juta pelanggan
Perusahaan ini diawalnya mau mengikuti kebijakan pemerintah Kenya untuk investasi (memberikan insentif), dengan melayani penduduk miskin di Kenya untuk bisa menggunakan telepon genggam. Hal inilah yang membuat ekonomi masyarakat miskin tersebut bergerak, karena dengan layanan telepon genggam tersebut aktivitas bisnis mereka pun meningkat, sedangkan harga atau tarif dari layanan tersebut harganya "normal" (disinsentif), tetapi daya beli masyarakat meningkat. Sedangkan korporasi telepon genggamnya atau Safaricom tadi, diawal keuntunganya memang sedikit, tetapi selanjutnya korporasi tersebut sudah membuka market yang lebih besar lagi.
Contoh lain seperti revolusi Industri yang dilakukan oleh Korea selatan, yang dimulai dari "pergerakan" Samsung Coorporation. Sebagaimana yang dituangkan dalam Frankurt Declaration, dimana samsung "berani" menghilangkan rezim upah buruh yang murah (kapitalisme insentif) untuk meningkatkan talenta dan inovasi, hal itu mulai diikuti oleh korporasi-korporasi yang lain, sehingga produktivitas kelas menengah kebawah korea Selatan pun mulai bergerak, dan daya beli atau kesejahteraan mayarakat Korsel pun meningkat (kapitalisme disinsentif).
Memang semua itu butuh waktu dan proses, tetapi bisa dipastikan siapa yang mau untuk "move on" di saat sekarang, maka dialah yang akan menikmati kebaikan di masa yang akan datang, Indonesia bisa mencontoh hal-hal diatas dan juga mempraktekan Kapitalisme kreatif ala Bill Gates tersebut, dengan memulai mendorong investasi di sisi fundamental yang lebih riil.
Semoga pemerintah dan pengusaha-pengusaha Indonesia lebih "terinspirasi" oleh hal-hal tersebut, dimana ketika pengusaha mau untuk lebih melihat sisi "sosial" nya untuk pertimbangan meningkatnya kreativitas, meskipun itu akan mengurangi pendapatan keuntungan mereka, tetapi di masa yang akan datang itu sudah menjadi "investasi" bagi para pengusaha tersebut untuk memperluas marketnya. Yups dengan kapitalisme kreatif yang basic-nya adalah keseimbangan antara insentif dan disinsentif.
Dhita A